Greenpeace Ingatkan Dana Iklim Tak Boleh Untuk Solusi Palsu

Penulis : Aryo Bhawono

Iklim

Kamis, 21 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pendanaan iklim seharusnya sampai ke tangan masyarakat adat atau komunitas lokal yang melakukan perlindungan keanekaragaman hayati. Greenpeace Indonesia memperingatkan negara-negara di COP29 agar tak menggunakan pendanaan untuk membiayai proyek solusi iklim palsu seperti perdagangan karbon dan Carbon Capture Storage (CCS). 

Peringatan ini juga ditujukan kepada Indonesia untuk berhenti mempromosikan dan melanjutkan skema perdagangan karbon. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyatakan perdagangan karbon merupakan salah satu solusi iklim palsu yang memungkinkan para pencemar lingkungan terus merusak bumi dan mempercepat krisis iklim. Para pencemar ini harus membayar dampak dari kerusakan-kerusakan yang mereka timbulkan.

“Cara tercepat dan yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi karbon dari atmosfer adalah dengan melindungi dan memulihkan hutan-hutan primer. Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah orang-orang yang tepat melakukan ini. Dana untuk mendukung kerja-kerja ini harus berasal dari mereka yang mampu membiayainya, dan langsung disalurkan kepada mereka yang membutuhkan,” katanya langsung dari Azerbaijan yang diterima redaksi melalui rilis pers.

Skema perdagangan karbon ini bisa jadi celah untuk para pencemar melakukan ragam modus operandi, termasuk memakai jasa akuntan keuangan untuk lari dari tanggung jawab dan membahayakan iklim serta keanekaragaman hayati. 

Aksi Greenpeace di COP29 untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah agar pencemar bahan bakar fosil membayar krisis iklim yang mereka ciptakan, dan menempatkan rencana penghapusan bahan bakar fosil sebagai inti dari aksi iklim nasional. Foto: Marie Jacquemin / Greenpeace

Studi terbaru menemukan bahwa dari 2.346 proyek perdagangan karbon di dunia, hanya 16 persen yang mencapai pengurangan emisi. 

Greenpeace juga mengkhawatirkan solusi carbon capture and storage (CCS) dan bioenergi yang diusulkan Utusan Khusus Presiden RI bidang Iklim dan Energi sekaligus menjadi Ketua Delegasi Indonesia di agenda COP29, Hashim Djojohadikusumo. 

“Premis dasar perdagangan karbon sendiri sudah sesat. Ini skema curang para pencemar lingkungan yang seharusnya segera menghentikan emisi, bukan mencari solusi palsu seperti perdagangan karbon. Walau perdagangan karbon sudah masuk ke dalam draf pembahasan soal iklim di Baku, perlu dicatat bahwa masih ada ketidakpastian yang cukup serius soal metodologi dan definisi yang digunakan untuk menghitung dan memantau skema ini,” ucap Iqbal.

Kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, menyebutkan organisasinya sudah mengamati sejumlah pengalaman buruk dari percobaan penerapan perdagangan karbon di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya masalah legalitas dan penguasaan lahan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.

Selain itu, ada juga klaim berlebihan soal penyimpanan karbon sebuah proyek di Kalimantan Tengah. Kekhawatiran greenwashing juga menyelimuti sejumlah proyek di Riau dan Kalimantan Barat karena keterlibatan perusahaan atas deforestasi di daerah lain. 

“Hal ini justru berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat lewat perampasan lahan dan kegagalan saat sosialisasi atau berupaya mendapat persetujuan dari komunitas lokal oleh sebuah proyek di Kepulauan Aru,” kata Kiki. 

Kredit dari proyek-proyek ini seolah digunakan untuk membenarkan emisi yang terus diproduksi oleh para pencemar, seperti Shell atau perusahaan terbesar minyak dan gas Australia, Woodside Energy.

Sebanyak 53 proyek kredit karbon yang masuk identifikasi awal penelitian Greenpeace, sekitar 15 proyek sedang berjalan, sedangkan 26 di antaranya sedang dalam pengembangan atau menunggu dimulai. Sisanya, ada yang belum dimulai, berakhir sebelum dimulai, atau sangat minim informasi sehingga status proyek tersebut tidak jelas. 

Sejak tahun lalu, koalisi masyarakat sipil Indonesia mengkritik proyek kredit karbon ini karena rentan merampas tanah dan ruang hidup masyarakat adat, yang sebagian besar justru belum diakui negara.

“Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia sedang ‘demam karbon’ lewat 41 proyek kredit karbon yang sedang berlangsung atau sedang dalam pengembangan. Sedangkan ‘para makelar karbon’ ini mendatangi komunitas lokal atau masyarakat adat yang rentan, mempromosikan proyek yang terlihat menjanjikan tanpa menjelaskan lebih rinci apa kekurangan dan kelebihannya,” lanjut Kiki.

Kiki menjelaskan, masalah umum pada proyek karbon di Indonesia adalah kegagalan dalam memenuhi hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Keserakahan untuk cari untung dari proyek perdagangan karbon justru dominan. Solusi menyelamatkan iklim dan keanekaragaman hayati perlu dimulai dengan tidak mengulangi dua kesalahan ini, yakni dengan menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memastikan tak ada motif mencari profit.

“Kita perlu mencari cara lain jika memang tujuannya melindungi hak ulayat masyarakat adat, lingkungan hidup dan wilayah keanekaragaman hayati yang kaya karbon, serta pendanaan yang langsung diberikan ke komunitas lokal dan masyarakat adat yang perlu dukungan, tanpa greenwashing dagang karbon tapi kerusakan iklim karena emisi tetap lanjut,” ujarnya.