Penasihat Istana: Dorong Terus RUU Masyarakat Adat di DPR
Penulis : Kennial Laia
Masyarakat Adat
Selasa, 26 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat harus segera disahkan untuk menjamin perlindungan masyarakat adat di Indonesia. Hal ini terutama karena komunitas tersebut memiliki kearifan dan cara hidup yang berperan dalam konservasi dan pelestarian lingkungan.
Namun hingga saat ini RUU Masyarakat Hukum Adat masih digantung DPR. Padahal pengesahan ini penting untuk memastikan dan melindungi hak masyarakat adat seperti pengelolaan lahan dan hutan dari ancaman perampasan lahan. Demikian menurut Penasihat Senior Kepala Staf Presiden 2019-2024 Manuel Kaisiepo.
“Undang-Undang Masyarakat Adat diperlukan sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat, eksistensinya, hak hidupnya, dan kelangsungan kehidupannya,” kata Manuel dalam agenda dialog Green Press Community di Jakarta, Sabtu, 24 November 2024.
Hak dan keberadaan masyarakat adat telah diakui dalam UUD 1945. Pada 2012, Mahkamah Konstitusi juga menerbitkan putusan MK Nomor 35 yang mengakui hutan adat sebagia hutan yang berada di wilayat adat, dan bukan di kawasan hutan negara. Sementara itu, sejumlah daerah telah menerbitkan regulasi seperti peraturan daerah (perda) yang melindungi masyarakat adat.
Namun perda ini tidak memiliki kekuatan hukum dibandingkan keputusan yang lebih tinggi seperti izin atau keputusan menteri yang memberikan hak pengelolaan hutan ke investor, kata Manuel.
Manuel mengatakan, konstitusi dan putusan MK tersebut memerlukan aturan turunan berupa undang-undang. Menurutnya masyarakat sipil dan media harus terus mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk mengakhiri diskriminasi, peminggiran, dan perampasan lahan masyarakat adat di Indonesia.
“Kabarnya RUU Masyarakat Adat itu sekarang sudah masuk Prolegnas (program legislasi nasional), tetapi masuk Prolegnas belum tentu dibahas dan disetujui,” ujarnya.
Papua Program Manager Konservasi Indonesia Nur Ismu Hidayat menyebut masyarakat adat sebagai garda terdepan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Menurutnya banyak kearifan lokal yang terbukti berhasil dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Salah satunya tradisi Sasi di wilayah Indonesia Timur.
Sasi dapat diartikan sebagai larangan mengambil hasil hutan atau laut dalam periode waktu tertentu. “Ini adalah bukti praktik konservasi sumber daya alam,” kata Ismu.
“Tradisi seperti Sasi telah mencerminkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Artinya, kearifan lokal seringkali lebih adaptif terhadap kebutuhan konservasi dibandingkan pendekatan modern,” ujarnya.
Ismu mengatakan, perlindungan wilayah yang dikelola masyarakat adat juga penting karena berguna dalam mitigasi krisis iklim. Apalagi, kebanyakan wilayah adat biasanya juga termasuk hutan gambut dan mangrove yang mampu menyimpan karbon tak tergantikan (irrecoverable carbon). “Perlindungan wilayah-wilayah ini tentu saja menjadi kunci dalam mengatasi perubahan iklim,” katanya.
Ismu mencontohkan Tanah Papua sebagai wilayah yang memiliki biodiversitas tinggi karena masyarakat adat hidup berdampingan dengan lestari dengan alam. “Kekayaan alam di perairan dan juga daratan Papua tersebut hingga kini masih ada berkat kearifan lokal masyarakat adat yang menjaga alamnya. Kami yakin, masyarakat adat adalah penjaga pertama dan utama ekosistem yang penting bagi masa depan,” kata Ismu.
Konservasi Indonesia mencatat potensi alam di Tanah Papua. Di perairan Raja Ampat, Papua Barat Daya, misalnya, tercatat 1.800 spesies ikan, 35 spesies mangrove, 15 mamalia laut, 11 padang lamun, dan 600 spesies terumbu karang. Sementara itu di daratan teridentifikasi sebanyak 20.000-25.000 tumbuhan, 35 spesies mangrove, dan sekitar 60- 90% di dalamnya merupakan tumbuhan endemik.
Konservasi Indonesia juga mencatat biodiversitas yang tinggi di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Di antaranya area seluas 497ribu dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi, 288ribu hektare area hutan dan lahan gambut, 77ribu hektare area hutan mangrove.
Menurut Ismu, wilayah ini mampu menyerap 200 juta karbon, dan lebih dari setengahnya atau 112 juta karbon diidentifikasi sebagai jenis karbon yang tak tergantikan.
“Kami berpandangan bahwa pendekatan berbasis tradisi dan pengakuan terhadap hak kelola mereka dapat menjadi bukti bahwa negara tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati, tetapi juga memperkuat peran masyarakat adat sebagai aktor kunci konservasi global atau target memperpanjang umur dunia," ujarnya.