Pelobi Plastik Banjiri Perundingan Busan

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Kamis, 28 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Jumlah pelobi industri plastik yang menghadiri pertemuan global di Korea Selatan, menembus rekor. Konferensi yang dihelat PBB ini adalah kesempatan terakhir bagi negara-negara untuk mencapai kesepakatan mengurangi polusi plastik di seluruh dunia. 

Isu utama dalam konferensi ini adalah apakah pembatasan produksi plastik global akan dimasukkan dalam perjanjian akhir PBB. Para pelobi dan produsen terkemuka dengan keras menentang upaya apa pun untuk membatasi jumlah yang dapat diproduksi, sehingga pembicaraan ini berada di ujung tanduk.

Analisis baru yang dilakukan oleh Center for International Environmental Law (CIEL) mengungkap sebanyak 220 perwakilan industri bahan bakar fosil dan kimia – lebih banyak produsen plastik dibandingkan sebelumnya – terwakili dalam pembicaraan PBB di Busan, Korea Selatan, yang dimulai pada Senin, 25 November 2024. 

Secara keseluruhan, mereka akan menjadi delegasi terbesar dalam perundingan tersebut, dengan lebih banyak pelobi industri plastik dibandingkan perwakilan UE dan masing-masing negara anggotanya (191) atau negara tuan rumah, Korea Selatan (140), menurut CIEL. Jumlah mereka melebihi 89 delegasi negara-negara berkembang kepulauan kecil di Pasifik (PSID), yakni negara-negara yang paling menderita akibat polusi plastik.

Kampanye anti-plastik sekali pakai (foto Daniel Muller/Greenpeace)

Enam belas pelobi dari industri plastik hadir dalam pertemuan tersebut tersebut sebagai bagian dari delegasi negara. Analisis menunjukkan bahwa Tiongkok, Republik Dominika, Mesir, Finlandia, Iran, Kazakhstan, dan Malaysia mempunyai kepentingan industri dalam delegasi mereka.

Jumlah perwakilan produsen plastik melebihi jumlah delegasi dari Koalisi Ilmuwan untuk Perjanjian Plastik yang Efektif dengan perbandingan tiga banding satu.

Dua produsen plastik terbesar di dunia, Dow dan Exxon Mobil, termasuk di antara pelobi industri plastik yang paling terwakili dalam pembicaraan di Busan, dengan masing-masing lima dan empat delegasi.

Sekitar 460 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya, dan produksinya diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2060 berdasarkan tingkat pertumbuhan bisnis seperti biasa.

Lebih dari 900 ilmuwan independen telah menandatangani deklarasi yang menyerukan kepada para perunding PBB untuk menyetujui perjanjian plastik global yang komprehensif dan ambisius, berdasarkan bukti ilmiah yang kuat, untuk mengakhiri polusi plastik pada 2040.

Menurut Deklarasi Para Ilmuwan, dampak buruk yang disebabkan oleh polusi plastik tidak dapat dicegah hanya dengan perbaikan dalam pengelolaan sampah.

Namun produsen plastik dunia telah berulang kali melakukan lobi untuk menentang pembatasan tersebut. Negara-negara dengan industri bahan bakar fosil yang besar seperti Arab Saudi, Rusia dan Iran, yang disebut sebagai kelompok “berpikiran sama”, telah menghindari pengurangan produksi dan menekankan pengelolaan limbah sebagai solusi utama terhadap krisis ini.

“Sejak palu dijatuhkan… hingga saat ini, kita telah menyaksikan para pelobi industri mengelilingi negosiasi dengan taktik penghalangan, gangguan, intimidasi, dan misinformasi yang sangat terkenal,” kata Delphine Levi Alvares, koordinator kampanye petrokimia global di CIEL, dikutip The Guardian, Rabu, 27 November 2024.  

“Strategi mereka – yang diambil langsung dari pedoman negosiasi iklim – dirancang untuk menjaga kepentingan finansial negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang mengutamakan keuntungan bahan bakar fosil di atas kesehatan manusia, hak asasi manusia, dan masa depan planet ini,” ujarnya. 

Dia mengatakan mandat perjanjian itu jelas: mengakhiri polusi plastik. “Bukti yang terus berkembang dari ilmuwan independen, komunitas garis depan, dan masyarakat adat dengan jelas menunjukkan bahwa hal ini tidak akan tercapai tanpa mengurangi produksi plastik. Pilihannya jelas: hidup kita atau keuntungan mereka.”

Sampah plastik meningkat dua kali lipat dari 156 juta ton pada 2000 menjadi 353 juta ton pada 2019, dan hanya 9% yang akhirnya didaur ulang, menurut laporan OECD.