Taksonomi Hijau Tak Cukup Hijau: TuK Indonesia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Minggu, 01 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembaruan taksonomi hijau harus menghasilkan langkah progresif dan bukan sekadar menjadi agenda greenwashing. Demikian menurut Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, dalam Ecofest 2024), yang digelar Bloomberd Technoz, di Jakarta pada 28 November 2024. Acara yang mengusung tema besar "Building the Future: Create a Sustainable Green Ecosystem", ini menjadi forum untuk membahas kebijakan dan kesiapan pemerintah serta pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Henry Rialdi, mengakui bahwa Indonesia masih bergantung pada batu bara. “Bagi sistem keuangan, jika pembiayaan dihentikan secara total, maka akan mengganggu,” katanya, dalam sebuah rilis, Jumat (29/11/2024).
Hal serupa juga terjadi pada portofolio bank yang masih mendukung sektor kelapa sawit, yang mana penghentian pembiayaan dianggap dapat mengancam stabilitas ekonomi. Henry juga menekankan bahwa taksonomi sekarang tetap menggunakan tiga klasifikasi, tapi namanya yang berbeda—green, transition, dan unqualified. “Jadi bukan berarti merah itu masuk transition, tapi berarti masuk unqualified,” ujarnya.
Mengenai hal itu, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina, mengatakan bahwa fokusnya bukanlah penghentian pembiayaan secara total, melainkan pembatasan yang terukur. Sehingga lembaga keuangan lebih selektif dan hati-hati dalam memberikan pembiayaan. “Taksonomi, perlu memiliki klasifikasi yang jelas dan kuat. Sayangnya, kategori hijau saat ini hanya mengacu pada sertifikasi keberlanjutan,” ujar Linda.
“Padahal, perusahaan yang bersertifikasi seringkali tetap menyebabkan kerusakan lingkungan, melanggar HAM, bahkan beberapa beroperasi secara ilegal,” imbuhnya. Contoh nyatanya, lanjut Linda, dapat ditemukan pada perusahaan-perusahaan bersertifikasi RSPO yang tetap bermasalah dalam praktiknya.
Sementara itu, Maria Trifanny Fransiska, Head Sustainability Maybank Indonesia, menyoroti tantangan dalam implementasi taksonomi hijau seperti validasi dan verifikasi kreditor atas klasifikasi yang dilakukan debitur secara mandiri (self-declare).
“Hal ini menyulitkan bank menentukan proyek yang layak dibiayai,” kata Maria. Oleh karena itu, menurutnya, penting bagi OJK untuk membuat daftar perusahaan bermasalah.
Sebagai langkah pencegahan greenwashing, TuK Indonesua mendorong agar taksonomi hijau memiliki kekuatan hukum yang mengikat, bukan sekadar panduan tanpa konsekuensi. Untuk itu, penting adanya task force yang bekerja secara multi-pihak dengan melibatkan kementerian dan lembaga terkait.
Lebih lanjut, Linda menyebut penting untuk melibatkan masyarakat terdampak. “Jadi ada wadah yang jelas untuk saling memberikan informasi dan berkomunikasi, jika ada kendala bisa didiskusikan bersama. Hal ini termasuk penyediaan informasi yang transparan serta mekanisme komplain yang jelas dan mudah diakses,” ucap Linda.