Resolusi Pejaten Timur: Setop dan Audit Proyek PSN

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Senin, 02 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) dianggap membawa dampak negatif yang cukup luas, dan tidak sesuai dengan cita-cita konstitusi. Apalagi dari beberapa kasus PSN justru memicu konflik besar dengan masyarakat. Walhasil, proyek pembangunan tersebut menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk dari Front Rakyat Tolak PSN yang baru-baru ini menyatakan penolakan pelaksanaan PSN di berbagai daerah.

Penolakan tersebut disampaikan Front Rakyat Tolak PSN—sebuah kelompok yang terdiri dari 18 organisasi masyarakat sipil—dalam sebuah dokumen bertajuk Resolusi Pejaten Timur, yang dipublikasikan pada Selasa, 26 November 2024.

Ada beberapa permasalahan PSN yang bersifat mendasar yang disampaikan Front Rakyat dalam dokumen ini. Yang pertama, PSN telah menjadi alat baru perampasan tanah, wilayah adat, dan wilayah tangkap nelayan di berbagai daerah.

Yang kedua, PSN di berbagai daerah telah menyebabkan krisis agraria, sosial, ekonomi, lingkungan, yang berdampak luas dan genting. Selanjutnya, yang ketiga, PSN telah menghilangkan sumber pencaharian, pangan, dan penghidupan rakyat yang memperparah kemiskinan nasional secara terstruktur, sistematis dan massif.

Bentrokan masyarakat melayu dan polisi terkait penolakan relokasi warga Rempang, Batam, Kepri, pada 7 September 2023. Foto: BP Batam/Bener News.

Yang keempat, bahwa PSN di berbagai daerah dilaksanakan dengan cara represif, intimidatif, manipulatif, dan koruptif dengan menghilangkan partisipasi rakyat secara bermakna dan transparan. Yang terakhir, PSN di berbagai daerah memobilisasi keuangan negara untuk kepentingan kelompok bisnis.

“Atas dasar hal-hal di atas, kami menyatakan dengan tegas dan keras menolak proyek strategis nasional (PSN),” tulis Front Rakyat Tolak PSN, Selasa (26/11/2024).

Front Rakyat, masih dalam dokumen yang sama, mendesak Presiden RI untuk menghentikan pelaksanaan PSN di berbagai daerah. DPR RI, juga didesak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang melegitimasi pelaksanaan PSN di berbagai daerah.

Kemudian, Front Rakyat mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit investigatif terhadap seluruh pelaksanaan PSN, yang memobilisasi keuangan negara.

Selanjutnya, TNI dan Polri untuk menghentikan cara-cara represif dan intimidatif dalam menangani konflik agraria akibat PSN. Kelima, Presiden dan DPR RI harus mendorong model-model pembangunan yang berpusat pada kepentingan rakyat.

“Kami menyerukan kepada seluruh organisasi gerakan rakyat untuk bergabung dalam Front Rakyat Tolak PSN, dan seluruh rakyat untuk bangkit bersatu melawan PSN,” kata Front Rakyat.

134 Letusan Konflik

Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya, mengatakan sejak 2020-Juni 2024, KPA mencatat sedikitnya terjadi 134 letusan konflik, di seluas 571.156,87 hektare yang berdampak pada 110.066 KK. Berbagai kasus tersebut sebagian besar timbul akibat persoalan pengadaan tanah yang mengarah pada perampasan tanah-tanah rakyat.

“Beberapa kasus PSN di antaranya, seperti Wadas, Rempang, Air Bangis, Labuan Bajo, Basipae, Mandalika. Termasuk beberapa proyek swasta yang dipaksakan menjadi PSN seperti BSD, PIK 2 dan Lido,” kata Benni, Jumat (29/11/2024).

Benni memperkirakan, di masa mendatang pelaksanaan PSN akan masih menghasilkan berbagai masalah serupa, seperti maraknya terjadi penggusuran dan perampasan tanah-tanah rakyat. Sebab, tidak ada evaluasi mendasar yang dilakukan pemerintah selama ini terhadap pelaksanaan PSN.

Bisa disimpulkan, lanjut Benni, perampasan tanah akan semakin meluas. Apalagi pemerintahan Prabowo akan melanjutkan proyek-proyek yang sudah dimulai dari era pemerintahan Jokowi ini.

“Hal ini ditopang berbagai regulasi turunan UU Cipta Kerja yang semuanya mengarah pada kemudahan pencaplokan tanah-tanah masyarakat untuk pelaksanaan proyek-proyek PSN,” ujarnya.

Benni berpendapat, ada beberapa hal yang wajib dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan PSN, terutama agar tidak membawa dampak buruk bagi warga lokal atau sekitarnya. Yang pertama, dalam konteks pengadaan tanah, pemerintah wajib melakukan konsultasi publik untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari masyarakat.

Setelah adanya kesepakatan lokasi, imbuhnya, barulah dilakukan pelepasan hak melalui musyawarah untuk menentukan bentuk ganti kerugian. Ketentuan tersebut diamanatkan dalam Pasal 19 Ayat 1 UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah, yang telah direvisi melalui UU Cipta Kerja.

Dialog-dialog semacam ini, menurut Benni, sebenarnya tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Dalam arti, hanya melakukan penunjukan secara sepihak sehingga pecahnya konflik.

“Artinya, pelaksanaan PSN bermasalah karena tidak pernah membuka dialog dan partisipasi yang bermakna dari masyarakat. Fenomena ini yang selalu terjadi di berbagai lokasi pelaksanaan PSN,” katanya.

Lebih lanjut Benni menuturkan, secara filosofis kepentingan umum dimaknai sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu kebijakan atas nama kepentingan umum harus memenuhi unsur-unsur, yakni memenuhi kebutuhan rakyat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bersifat pelayanan publik, tidak mempunyai tujuan mencari laba.

Apabila tidak memenuhi unsur di atas, proyek-proyek yang sedang digencarkan pemerintah ini, menurut Benni, sebenarnya lebih layak disebut proyek swasta. Sehingga tidak perlu menggunakan narasi proyek strategis demi kepentingan nasional. 

“Jika kita lihat beberapa proyek-proyek PSN yang dilakukan pemerintah. Sebagian besarnya tidak memenuhi unsur tersebut. Bahkan lebih cenderung profit oriented dan mencaplok hak-hak masyarakat atas tanah,” ujarnya.

Karenanya, lanjut Benni, sudah selayaknya ada evaluasi secara besar-besaran dari pemerintah terhadap pelaksanaan PSN, baik dari sisi kebijakan yang sudah banyak menabrak hukum maupun sisi pelaksanaan yang telah melahirkan konflik agraria, sosial dan kerusakan lingkungan. 

Tak hanya itu, Benni beranggapan, pemerintah juga harus segera mempercepat proses-proses penyelesaian konflik dan pengakuan hak atas tanah masyarakat. Tujuannya agar, pemerintah tidak keliru lagi dalam melakukan penunjukan lokasi sebab tanah-tanah masyarakat sudah terdaftar.

“Selama ini, salah satu persoalan konflik agraria akibat pembangunan PSN disebabkan lokasi-lokasi tersebut berada di area atau wilayah masyarakat,” ucapnya.

Benni mengungkapkan, pemerintah kerap berdalih, lokasi-lokasi tersebut merupakan tanah negara, bebas, karena belum ada kepemilikan yang terdaftar. Padahal, hal ini terjadi akibat kelambanan pemerintah sendiri mendaftarkan tanah-tanah masyarakat tersebut. Akhirnya masyarakat yang sudah berada puluhan tahun di sana dianggap ilegal.

Hal lain yang menjadi perhatian masyarakat sipil adalah kecenderungan PSN yang menabrak berbagai perizinan, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan, dan lain sebagainya. Hal itu pula yang kemudian menjadi alasan PSN selalu menyebabkan konflik-konflik di lapangan.

“Sayang, bukannya melakukan evaluasi. DPR RI dan Pemerintah justru bekerja sama meng-endorse berbagai pelanggaran tersebut. Salah satunya memaksakan UU Cipta Kerja,” katanya.