Gagal Amankan Konsesi, Menteri Juli Diminta Cabut Izin PT API
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Selasa, 03 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konsorsium Bentang Alam Seblat mendesak Menteri Kehutanan Republik Indonesia segera mencabut izin PT Anugrah Pratama Inspirasi (API) yang beroperasi di wilayah Provinsi Bengkulu. Menurut Konsorsium, selama ini perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Tumbuh Alami (PBPH)—sebelumnya disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA)—ini selama bertahun-tahun telah lalai mengamankan kawasan hutan di wilayah konsesinya. Banyak terjadi perambahan dan pembalakan liar di konsesi API.
Desakan tersebut sejalan dengan pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menegaskan salah satu program prioritas Kementerian Kehutanan yaitu pencabutan izin pemanfaatan kawasan hutan yang lalai mengamankan wilayah hutan dalam areal izin perusahaan.
PT API di wilayah Provinsi Bengkulu merupakan korporasi pemegang PBPH seluas 41.988 hektare (ha), berdasarkan adendum IUPHHK-HA SK No: 3/1/IUPHHK-PB/PMDN/2017 tertanggal 3 April 2017. Namun berdasarkan pemantauan lapangan yang dilakukan oleh Konsorsium Bentang Alam Seblat pada 2024, kerusakan hutan di areal konsesi PT API telah mencapai 14.183,48 ha. Hal ini bertentangan dengan tanggung jawab PT API selaku pemegang izin usaha di kawasan tersebut.
Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebut pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Kemudian, Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, Pasal 156 menyebutkan bahwa setiap pemegang PBPH pada hutan produksi wajib melakukan perlindungan hutan di areal kerjanya, melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan di areal kerjanya, bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya, serta melakukan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan di areal kerjanya.
Iswadi, Ketua Yayasan Lingkar Inisiatif Indonesia yang juga merupakan Koordinator Program Konsorsium Bentang Seblat, menyebut dari 30 kali patroli kolaboratif yang telah dilaksanakan di wilayah KEE koridor gajah, ditemukan 114 kasus kejahatan kehutanan dan satwa. Modus operandi dari kejahatan ini adalah melakukan penebangan secara sembarangan atau yang lebih dikenal dengan istilah tebang tumbur.
“Lalu lahan ini ditinggalkan sejenak. Jika tidak ada respons dari penegak hukum maka selanjutnya areal yang sudah ditebang ini akan ditanam sawit. Ketika sawit mulai tumbuh barulah areal ini dibersihkan,” kata Iswadi, dalam sebuah rilis, Senin (2/12/2024).
Bahkan konsorsium telah mengungkap dugaan jual beli lahan di kawasan hutan ini yang diduga melibatkan aparat penegak hukum dan pemerintahan desa. Di kalangan masyarakat luas beredar informasi tentang harga pasaran kawasan hutan yang telah ditebang kayunya dan siap ditanami sawit dijual Rp10 hingga Rp15 juta per ha. Perambahan dan penguasaan lahan oleh pihak lain di areal konsesi ini juga telah dilaporkan ke penegak hukum.
Lebih lanjut, forum pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor gajah Bentang Seblat telah menetapkan wilayah seluas 80.987 hektare di Bentang Seblat sebagai jalur konektivitas gajah sumatra, termasuk di dalamnya seluas 23.279 ha wilayah konsesi PT API. Kesepakatan ini tertuang dalam SK Gubernur Bengkulu Nomor S.497.DLHK.2017 pada 22 Desember 2017 selaku Pelindung Forum KEE dan ditandatangani juga oleh PT API selaku Anggota Forum KEE.
Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji, selaku Konsultan Program Konsorsium Bentang Seblat menyatakan, sebagian lahan di Bentang Seblat, sekitar 41.988 ha, merupakan lahan kelola PT API, perusahaan nasional yang bergerak di bidang pengadaan kayu gelondongan dan kayu gergajian, dalam bentuk PBPH.
Sesuai fungsinya, kawasan hutan yang menjadi areal kerja PT API ini adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis dan Hutan Produksi (HP) Air Rami. Walaupun fungsinya sebagai hutan produksi, lahan tersebut merupakan habitat beberapa satwa liar yang dilindungi, yakni harimau, gajah, tapir, beruang, dan burung rangkong. Sebagai perusahaan logging, seharusnya perusahaan ini mempunyai kewajiban mengelola kawasannya dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), yang salah satu kewajibannya adalah menanam arealnya yang berupa lahan terbuka dan mengamankan kawasannya dari gangguan.
Hasil kajian tutupan lahan pada 2024 yang dilakukan Konsorsium pada wilayah izin PT API, seluas 14.183,48 ha tidak lagi berhutan. Area tersebut terdiri dari semak belukar 6.577,59 ha, perkebunan sawit dalam hutan 5.432,86 ha, dan lahan terbuka 2.173,03 ha. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak ada pelaksanaan kewajiban reboisasi (penanaman) pada lahan terbuka dan tidak ada kegiatan pengamanan areal oleh perusahaan, sehingga lebih dari 5.000 ha lahannya digarap masyarakat jadi kebun sawit.
“Dari sisi ekonomis, keberadaan perusahaan IUPHHK ini sudah tidak menguntungkan, terlihat dari performa perusahaan yang sudah tidak berproduksi dan aktivitas perusahaan yang ala kadarnya,” kata Gunggung.
Opsi terbaik bagi areal ini, lanjut Gunggung, adalah perubahan fungsi dan peruntukan kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Mekanismenya dapat dilakukan dengan pencabutan izin PBPH dan diikuti mengubah fungsinya menjadi hutan konservasi Suaka Marga Satwa.
“Jika hanya pencabutan izin IUPHHKA tanpa ada perubahan fungsi kawasan, hanya akan menyediakan lahan hutan yang status quo, tidak ada yang mengelola, dan ini akan berpotensi semakin luasnya lahan perambahan,” ujar Gunggung.
Secara data rentetan waktu 2022-2024, konsorsium menemukan semakin berkurangnya tutupan hutan dan semakin meluasnya perkebunan sawit pada kawasan hutan produksi wilayah izin PT API. Dalam kurun waktu 2022-2024, perkebunan sawit dalam konsesi PT API tersebut mencapai 967,16 ha.
Berdasarkan analisis tutupan hutan yang dilakukan oleh Konsorsium Bentang Alam Seblat pada 2023, di wilayah kerja Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor gajah seluas 80.987 ha, diketahui seluas 30.514,85 ha (38%) tidak lagi berhutan. Wilayah tersebut telah terkonversi menjadi semak belukar 7.985,38 ha (26%), perkebunan PT Alno 5.449,78 ha (18%), pertanian dalam hutan berupa perkebunan sawit 15.010,77 ha (49%) dan lahan terbuka 2.068,91 ha (7%).
“Kawasan hutan produksi yang telah dibebani izin PT API terlihat compang camping dan ditemukan perkebunan sawit di areal konsesi mencapai 5,4 ribu ha dan terus meluas setiap tahunnya. Ini menandakan tidak berjalannya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh PT API, maka sudah sepatutnya PT API masuk daftar perusahaan pemegang izin PBPH tumbuh alami yang akan dicabut oleh Menteri Kehutanan,” kata Direktur Genesis Bengkulu, Egi Saputra.
Bentang Seblat, yang meliputi area seluas 323 ribu hektare, bukan hanya habitat terakhir gajah, tetapi juga memiliki fungsi penting sebagai penyedia layanan alam bagi kehidupan masyarakat di Kecamatan Putri Hijau dan Marga Sakti Seblat, terutama sebagai sumber air. Hancurnya fungsi ekologis kawasan ini akan memberikan pengaruh multi efek.
Hilangnya layanan ekosistem terutama sebagai wilayah tangkapan air, hancurnya keanekaragaman hayati akibat punahnya satwa gajah, serta potensi bencana ekologis akibat hilangnya daya dukung lingkungan putusnya rantai makanan akibat punahnya satwa gajah akan berdampak kepada hilangnya keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
Ali Akbar, Ketua Kanopi Hijau Indonesia, menuturkan, berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan, dampak yang telah dirasakan serta potensi dampak di masa depan, sudah sepantasnya Menteri Kehutanan memberikan perhatian penuh kepada kawasan ini dengan cara mencabut izin konsesi PT Anugerah Pratama Inspirasi.
“Kami mengapresiasi pernyataan Raja Juli untuk mencabut izin-izin perusahaan dalam kawasan hutan. Namun kami meragukan keberaniannya untuk mengoperasikan pernyataan tersebut. Jika memang benar, maka mencabut IUPHHKA PT API adalah tindakan yang pantas untuk diutamakan” ucap Ali.