Coca-Cola Dituduh Praktikkan Jurus Isuk Tempe, Sore Dele

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Rabu, 04 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Coca-Cola dituduh secara diam-diam mengabaikan janjinya untuk mencapai target 25% kemasan yang dapat digunakan kembali pada 2030. Para aktivis mengecam jurus "isuk tempe, sore dele" ini dan menyebutnya sebagai “masterclass dalam greenwashing”. 

Perusahaan ini sebelumnya dinyatakan oleh para peneliti sebagai salah satu merek paling berpolusi di dunia dalam hal sampah plastik. Lalu, pada 2022, perusahaan ini berjanji untuk menjual 25% minumannya dalam botol kaca atau plastik yang dapat diisi ulang atau dikembalikan, atau dalam wadah isi ulang yang dapat diisi di air mancur atau “dispenser gaya bebas Coca-Cola”. 

Namun sesaat sebelum KTT plastik global 2024 yang digelar di Busan, Korea Selatan, perusahaan tersebut menghapus halaman di situs webnya yang menguraikan janji ini, dan perusahaan tersebut tidak lagi memiliki target untuk kemasan yang dapat digunakan kembali.

Sebaliknya, target pengemasannya kini menyatakan bahwa mereka “akan menggunakan 35% hingga 40% bahan daur ulang dalam kemasan utama (plastik, kaca, dan aluminium), termasuk meningkatkan penggunaan plastik daur ulang hingga 30% hingga 35% secara global”. Sasaran sebelumnya adalah “menggunakan 50% bahan daur ulang dalam kemasan kami pada 2030”.

Coca-Cola, perusahaan yang memproduksi minuman berkarbonisasi, dituduh menurunkan komitmennya untuk mengatasi polusi plastik yang dihasilkan dari aktivitas produksinya. Dok. Cocacolaep.com

Janji saat ini juga menyatakan bahwa perusahaan akan “membantu memastikan pengumpulan 70% hingga 75% dari jumlah setara botol dan kaleng yang diperkenalkan ke pasar setiap tahunnya”.

#BreakFreefromPlastics, gerakan global yang melawan polusi plastik mengkritisi keputusan tersebut, dan menyebut Coca-Cola terus fokus pada tujuan daur ulang yang gagal dan tidak banyak membantu mengatasi krisis plastik. 

Pendiri Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) Prigi Arisandi menyebut keputusan Coca-Cola sebagai pengkhianatan terhadap komunitas di Asia yang telah menanggung beban polusi plastik terberat. 

“Sebagai salah satu pencemar plastik terbesar di kawasan ini, Coca-Cola terus membanjiri tanah dan saluran air kita dengan limbah yang merugikan kelompok paling rentan,” kata Prigi, Kamis, 3 Desember 2024.  

“Untuk menjamin masa depan yang bebas dari bahaya polusi plastik, kita harus mengurangi produksi plastik secara drastis, dan sistem penggunaan kembali adalah solusi yang penting dan efektif dalam perjuangan ini,” ujarnya. 

Direktur Eksekutif Fundación el Arbol Chile, María José García mengatakan Coca Cola secara konsisten menduduki peringkat teratas dalam merek-merek yang paling berpolusi dalam audit merek BFFP yang dilakukan di seluruh Amerika Latin. 

“Coke terus bergantung pada produk-produk sekali pakai yang sebagian besar berasal dari minyak bumi, sambil berulang kali mempromosikan penggunaan kemasan ramah lingkungan," kata García. 

"Dengan mengabaikan komitmennya terhadap kemasan yang dapat digunakan kembali, Coca-Cola memperburuk ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat yang sudah menderita akibat dampak polusi plastik."

#BreakFreeFromPlastics mengatakan, keputusan Coca-Cola untuk meninggalkan tujuan penggunaan kembali menggarisbawahi perlunya peraturan wajib yang membuat perusahaan bertanggung jawab atas polusi yang mereka timbulkan. Ketika para pemimpin dunia memperpanjang perundingan perjanjian plastik hingga 2025, para delegasi harus terus mendukung perjanjian yang mengikat secara hukum dengan ambisi tinggi yang mencakup ketentuan tentang akuntabilitas perusahaan, memprioritaskan langkah-langkah pengurangan produksi plastik, dan meningkatkan sistem penggunaan kembali dan pengisian ulang.

“Langkah terbaru Coca-Cola merupakan sebuah terobosan dalam greenwashing, mengabaikan target penggunaan kembali yang telah diumumkan sebelumnya, dan memilih untuk membanjiri planet ini dengan lebih banyak plastik yang bahkan tidak dapat mereka kumpulkan dan daur ulang secara efektif,” kata Koordinator Global Break Free from Plastic, Von Hernandez. 

“Hal ini hanya memperkuat reputasi perusahaan tersebut sebagai pencemar plastik terbesar di dunia,” ujarnya. “Jika mereka tidak bisa menepati komitmen sederhana mereka, bagaimana mereka bisa mengklaim serius dalam mengatasi krisis plastik global?”