Windi, si Keras Kepala di Tepi Hutan Tenggulun

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversity Warriors

Kamis, 26 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Bagi sebagian besar orang, plastik bekas kemasan hanya sampah. Tapi bagi Windi plastik memiliki nilai. Dia mengubahnya menjadi kerajinan tangan, seperti tas keranjang dan tikar. 

Windi Maharani nama lengkapnya. Perempuan asal Desa Sumber Makmur, Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, itu sejak 2021 giat menyuarakan pelestarian lingkungan, dan melakukan berbagai aksi pelestarian alam. Setidaknya untuk lingkungan di desanya, dan Ekosistem Leuser umumnya.

“Jadi sampah plastik tidak dibuang sembarangan lagi. Kalau plastik botol, kita jadikan media tanam. Nanti ada dibikin tikar oleh ibu-ibu di komunitas. Dari pada jadi sampah mengotori kampung, lebih baik kita manfaatkan,” kata Windi, 12 November 2024.

Bersama komunitasnya, Ruang Belajar Perempuan Leuser, dia tak hanya bergiat memanfaatkan sampah plastik sebagai barang kerajinan tangan dan menghasilkan berbagai produk industri rumahan yang lebih berguna dan bernilai ekonomis. Mereka juga aktif mencegah penebangan liar.

Windi Maharani, gadis muda di Tengulun, Aceh Tamiang, ikut membuktikan peran perempuan dalam pelestarian lingkungan. Foto: Istimewa.

Gadis kelahiran 15 April 2003 di Sidomulyo itu mengungkapkan, wawasannya tentang konservasi lingkungan mulai terbuka sejak ia bersama warga lainnya mengikuti kegiatan pelatihan paralegal yang digelar oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), pada 2020. Pelatihan ini dilakukan khususnya untuk membantu masyarakat dalam memahami dan mengerti hukum. Sebab, desanya sedang menghadapi beberapa permasalahan, salah satunya penebangan liar yang tak terkendali.

“Banyak (masalah), kaya illegal logging yang memang enggak boleh. Terus banyak juga kasus jual beli tanah milik negara. Nah kebanyakan masyarakat itu enggak tahu kalau tanah itu enggak boleh dijual-belikan,” ujar Windi.

Akibat penebangan liar itu, warga desa mengalami hal-hal buruk yang sebeluimnya tak pernah terjadi. Misalnya, “banjir yang hampir tiap pekan terjadi di desa,” ujar Windi.

Melanjutkan kegiatan paralegal itu, Yayasan HAkA kemudian menginisiasi pembentukan dua komunitas perempuan, berdasarkan usia. Untuk para perempuan desa yang usia yang lebih tua, dibuat komunitas Cendana Tenggulun. Sedangkan anak-anak muda, usia pelajar, termasuk Windi, membuat kelompok Ruang Belajar Perempuan Leuser. Nah, dari sini Windi mulai mengambil perannya di dunia konservasi. Di kelompok ini Windi didapuk sebagai ketuanya.

Anggota Komunitas Cendana Tengulun saat bersiap melakukan patroli dan monitoring hutan di sekitar desa. Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Di Ruang Belajar Perempuan Leuser itu, Windi dan peserta lainnya diberikan pemahaman tentang berbagai hal. Di antaranya, mengenai Ekosistem Leuser, dasar-dasar ilmu lingkungan, dan dasar-dasar hukum yang perlu dipahami orang awam.

“Kita diberi pemahaman bahwa menjaga kelestarian lingkungan itu tak harus laki-laki, perempuan juga bisa,” ujarnya.

Setelah menamatkan pelatihannya di kelompok Ruang Belajar Perempuan Leuser dan pendidikannya di sekolah menengah atas (SMA), Windi kemudian menggabungkan diri dengan kelompok perempuan yang lebih tua di Komunitas Cendana Tenggulun.

Sembari bekerja sebagai staf tata usaha di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Tengulun, di Komunitas Cendana, Windi membantu para perempuan desa lainnya untuk berkreasi sambil menjaga lingkungan.

Kelihatannya saja perjalanannya di dunia konservasi berlangsung mulus. Faktanya, di awal ia bergerak di bidang ini, ia kerap mendapat kritik dari teman-teman sebaya dan warga desa. Ia dianggap terlalu cerewet mempersoalkan kebiasaan buang sampah sembarangan yang kala itu masih sering dilakukan.

“Agak kaget dengan kritik itu. Tapi sekarang tidak peduli dengan omongan orang,” tuturnya.

Windi berfoto bersama para perempuan Cendana Tengulun. Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Kekeraskepalaannya berbuah. Sejak ia bersikap "kolot tentang lingkungan", sejumlah pemudi di desanya malah tertarik ikut melakukan apa yang ia lakukan. Termasuk saat kegiatan penanaman pohon di lahan restorasi yang dikelola HAkA, yang tidak jauh dari kampungnya.

Lewat komunitas itu Windi dan para perempuan desa melakukan berbagai kegiatan, seperti penanaman pohon untuk restorasi atau rehabilitasi lahan, survei dan identifikasi tumbuhan dan satwa sekitar desa, dan yang baru-baru ini dilakukan adalah monitoring atau patroli di hutan untuk memantau aktivitas penebangan liar.

Saat ini, kata Windi, tutupan hutan alam di desanya kian menyusut akibat illegal logging dan pembangunan kebun sawit. Penyusutan hutan alam ini diduga menjadi biang terjadinya banjir, yang hampir tiap pekan selalu membuat akses jalan satu-satunya keluar dari masuk desa menjadi terputus.

Salah satu sarang orangutan yang ditemukan hasil monitoring dan patroli Komunitas Cendana Tengulun Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Bukan itu saja dampaknya. Banjir yang membawa berbagai material juga telah membuat sungai di desanya menjadi keruh. Walhasil, sungai itu sudah tak fungsional lagi untuk warga mandi, dan memenuhi kebutuhan air rumah tangga. 

Windi mengatakan, patroli hutan ini dilakukan selama 5 hari dalam satu sesi kesempatan, dan dilakukan dua sesi dalam sebulan. Meski berhari-hari dilakukan, tim patroli tidak bermalam di hutan. Karena, mereka yang pergi berpatroli sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga.

“Kami pulang hari. Tim patroli ini terdiri dari 5 orang. Tapi untuk alasan keamanan, ada 2 laki-laki yang menemani,” kata Windi.

Windi saat mengikuti pelatihan patroli yang digelar Yayasan HAkA. Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Menurut Windi, dalam sekali patroli, tim bisa menyisir lahan seluas 9 hektare. Meski melelahkan, tapi kegiatan patroli ini justru sangat digemari oleh anggota komunitas, termasuk dirinya. Bahkan, para anggota komunitas berebut mendapat giliran patroli. Karena, selain memantau dan mencegah penebangan liar, tim juga melakukan monitoring keanekaragaman hayati di hutan sekitar desa. Hal tersebut dianggap mengasyikkan di mata anggota komunitas. Windi bahkan mengaku sangat menantikan perjumpaan dengan satwa liar bila mengikuti kegiatan patroli di hutan.

“Masih ada harimau, gajah, dan orangutan juga di sini. Tapi kami tidak takut, karena kami sudah dilatih juga bagaimana cara menangani satwa liar,” kata Windi.

Tapi Windi akui, tidak semua anggota komunitas mahir membuat laporan yang komprehensif tentang hasil patroli, sehingga sebagian besar pekerjaan pasca-patroli atau monitoring itu gadis inilah yang melakukannya. Pembagian peran ini membuat ia mendapat porsi giliran patroli yang lebih sedikit.

Tak hanya kegiatan-kegiatan lapangan. Windi bilang, komunitas yang sebagian besar beranggotakan ibu-ibu rumah tangga berjumlah sekitar 15 orang itu, juga memproduksi berbagai barang bernilai ekonomis, di antaranya tas keranjang dan tikar dari bekas plastik kemasan, piring lidi yang berbahan baku dari tulang daun sawit, dan produksi tepung pisang dan ubi.

Para perempuan Komunitas Cendana Tengulun sedang membuat piring lidi dari tulang daun sawit. Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Pada 2022 lalu, Komunitas Cendana Tengulun dibantu HAkA, melakukan pemetaan bahan baku produk-produk yang akan dihasilkan nantinya. Kebetulan, di desanya, bahan baku pembuatan tepung dan piring lidi sangat berlimpah.

“Semuanya dibuat sendiri oleh anggota komunitas. Sudah kita pasarkan juga. Kalau tepung, yang beli itu bahkan dari luar pulau. Piring lidi itu kita jual ke rumah-rumah makan. Lumayan hasilnya untuk komunitas,” ucap Windi.

Beberapa produk home industry yang dihasilkan Komunitas Cendana Tengulun. Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Windi menuturkan, komunitasnya juga membuat ecoprint dan menjual produk tersebut di event-event tertentu atau di market place yang tersedia. Kebetulan, tiap anggota komunitas, terutama yang muda, mempunyai kemampuan untuk membuat ecoprint.

“Jadi yang muda-muda bikin ecoprint. Yang tua-tua bikin tikar, tepung dan lain-lain,” katanya.

Para perempuan Cendana Tengulun menunjukkan hasil ecoprint yang mereka hasilkan. Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Saat ini, lanjut Windi, ia dan komunitasnya sedang mencoba kegiatan lain yang bisa menghasilkan produk baru yang bernilai ekonomis, yakni budi daya jamur sawit. Windi berpendapat, budi daya jamur ini sangat memungkinkan, karena desanya termasuk penghasil limbah sawit. Jamur sawit biasanya tumbuh di janjang kosong sawit.

Kegiatan lain yang juga ingin dicoba dikembangkan di desa, sambung Windi, adalah ekowisata. Windi mengungkapkan, desanya memiliki potensi wisata, karena ada air terjun. “Jadi kami ingin wisatawan dari luar negeri itu datang tidak cuma belajar membuat kerajinan tangan, tapi juga bisa melihat keindahan alam yang ada di sini,” ucap Windi.   

Sejalan dengan keinginan itu, Windi berharap anggota komunitasnya bisa mengembangkan diri, terutama soal keahlian berbahasa asing. Agar komunitasnya bisa menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan asing yang datang.

“Saya memang ada harapan untuk bisa kuliah tahun depan. Tapi Windi akan tetap ikut mengurus komunitas,” tuturnya.

Windi menunjukkan tas keranjang yang dibuat Komunitas Cendana Tengulun dari pemanfaatan plastik bekas kemasan. Foto: Istimewa.

Ayu Rahmadani, peneliti HAkA, yang menjadi fasilitator atau pendamping Komunitas Cendana Tengulun, menilai peran dan pengaruh Windi dalam komunitasnya cukup signifikan. Terutama dalam melengkapi kekurangan anggota komunitas lain, yang sebagian besar merupakan ibu-ibu rumah tangga dengan usia yang lebih tua.

Apalagi, Windi pernah menimba sedikit ilmu di kelompok Ruang Belajar Perempuan Leuser, yang telah diberi pemahaman tentang Ekosistem Leuser, advokasi lingkungan, dan lain sebagainya. “Dan pengaruhnya juga besar. Dia banyak memengaruhi anak muda ikut kegiatan-kegiatan HAkA atau lembaga-lembaga lain. Dia lumayan aktif. Kerenlah di kelompoknya,”  kata Ayu, Jumat (13/12/2024).

Windi bersama komunitasnya mengajak para pelajar untuk melakukan penanaman pohon di SMAN 1 Tengulun. Foto: Komunitas Cendana Tengulun.

Windi, kata Ayu, juga secara aktif berkonsultasi tentang hal-hal yang bisa ia lakukan untuk komunitasnya. Karena, menurut Ayu, Windi terbilang cukup banyak memiliki ide yang bisa dikembangkan. Hanya saja, sejauh ini belum mendapat banyak teman yang memiliki visi dan frekuensi yang sama.

“Makanya kita juga berharap, nanti ketika dia berkuliah, dia bisa mendapat lingkaran pertemanan yang bisa mendukung upaya-upaya pelestarian alam dan konservasi lingkungan,” ujarnya.

Masih menurut Ayu, Windi punya potensi besar menjadi pengkampaye untuk mengadvokasi isu-isu lingkungan. Sebab, anak muda seperti Windi, memiliki cara tersendiri untuk menyuarakan sesuatu hingga menjadi viral.

“Atau jadi konten kreator, tentang perlindungan Ekosistem Leuser. Dia bisa bercerita tentang kondisi lingkungan desanya. Bagaimana sungai di belakang rumahnya kini sudah sangat keruh. Bahwa dulu saat masih kecil biasa menangkap ikan di situ. Ada kantong semar juga, dan lain-lain,” kata Ayu, nadanya penuh dengan harapan. */**

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id