Hilangnya Biodiversitas akibat Pertanian 3 Kali Lebih Tinggi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Senin, 16 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Mengekspor produk pertanian dari wilayah tropis ke Cina, Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Eropa, dianggap tiga kali lebih berbahaya bagi keanekaragaman hayati atau biodiversitas, dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Hal tersebut disimpulkan dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Nature Sustainability.
Dilansir dari Phys, studi yang dilakukan para peneliti dari Technical University of Munich (TUM) dan ETH Zurich itu menunjukkan persoalan tersebut dengan melacak bagaimana ekspor pertanian sejak 1995 sampai dengan 2022 telah memengaruhi perubahan tata guna lahan di negara-negara penghasilnya. Brasil, Indonesia, Meksiko, dan Madagaskar secara khusus terpengaruh oleh hilangnya spesies.
Menurut para peneliti, penggunaan lahan yang intensif di wilayah tropis, seperti Indonesia, telah berdampak pada keanekaragaman hayati setempat, namun peran perdagangan selama ini masih diremehkan. Sebelumnya, 20% hingga 30% hilangnya keanekaragaman hayati di wilayah-wilayah tersebut diasumsikan sebagai akibat dari ekspor pertanian.
Livia Cabernard, Profesor Penilaian Keberlanjutan Sistem Pangan dan Pertanian di TUM, bersama dengan Stephan Pfister dan Stefanie Hellweg dari Institute of Environmental Engineering di ETH Zurich, kini telah menunjukkan bahwa perdagangan internasional telah menyebabkan lebih dari 90% hilangnya keanekaragaman hayati yang terjadi antara 1995 hingga 2022, akibat konversi area alami menjadi lahan pertanian.
Tim peneliti tersebut menggunakan data yang memilah-milah perekonomian global ke dalam beberapa sektor, wilayah, dan dampak ekologis. Perbedaan yang signifikan dari penelitian sebelumnya adalah bahwa para peneliti menggunakan data satelit untuk mempertimbangkan seluruh perkembangan suatu wilayah, termasuk setelah pertanian berhenti.
Para peneliti menemukan bahwa model-model terdahulu tidak memperhitungkan area terlantar seperti itu. Oleh karena itu, hilangnya spesies secara permanen dan waktu yang dibutuhkan ekosistem untuk pulih tidak tercermin dalam model-model sebelumnya.
Model ini juga memetakan arus perdagangan dan bagaimana hal tersebut memengaruhi penggunaan lahan di berbagai wilayah. Lebih dari 80% perubahan penggunaan lahan di Amerika Latin, Karibia, Afrika, Asia Tenggara, dan wilayah Pasifik selama periode penelitian disebabkan oleh peningkatan ekspor pertanian. Pengimpor utama barang-barang ini adalah Tiongkok (26%), Timur Tengah (13%), Eropa (8%), dan Amerika Serikat (1%).
Titik-titik rawan termasuk Brasil, Indonesia, Meksiko, dan Madagaskar, mengalami kehilangan spesies global lebih dari 50%, akibat konversi lahan. Di Madagaskar dan Brasil, lahan terutama digunakan untuk penggembalaan ternak, sementara di Indonesia, padi dan biji minyak (seperti kelapa sawit) lebih banyak digunakan. Di Meksiko, sayuran, kacang-kacangan, dan buah-buahan merupakan hasil panen utama.
Hilangnya spesies yang dialih-dayakan memiliki konsekuensi global
Bagi banyak negara pengimpor, outsourcing pertanian memiliki keuntungan yang nyata, yakni ampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dalam negeri berkurang karena lebih sedikit lahan yang digunakan untuk pertanian, dan terjadi peningkatan tindakan konservasi dan restorasi.
Hal ini berlaku untuk negara-negara seperti Spanyol, Italia, Yunani, dan AS. Pada saat yang sama, meskipun kehilangan keanekaragaman hayati akibat konsumsi domestik telah menurun di Brasil dan Meksiko, namun secara keseluruhan kehilangan tersebut meningkat karena meningkatnya ekspor pertanian.
"Ini adalah temuan yang mengkhawatirkan, karena ancaman terhadap keanekaragaman hayati global per meter persegi di wilayah tropis seratus kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara pengimpor," kata Cabernard.
Cabernard mengatakan, hilangnya spesies yang disebabkan oleh hal tersebut telah diremehkan sebagai sebuah masalah. Padahal hubungan antara perdagangan global dan hilangnya keanekaragaman hayati sangat kompleks namun sangat penting.
“Kita perlu memikirkan dampak lingkungan dalam skala global dan menggabungkan berbagai langkah untuk mengembangkan pengungkit yang efektif,” ujarnya.
Cabernard menganggap, mendukung pertanian domestik di negara-negara seperti Jerman dan Swiss, memastikan rantai pasokan yang transparan, dan penetapan harga yang mencerminkan kerusakan ekologis merupakan langkah penting untuk menghindari hilangnya spesies di titik-titik rawan tersebut.
-----
RALAT: Ada kesalahan penulisan persentase pengimpor produk pertanian (alinea 7). Semula tertulis "Tiongkok (26%), Amerika Serikat (21%), Timur Tengah (13%), dan Eropa (8%)", seharusnya "Tiongkok (26%), Timur Tengah (13%), Eropa (8%), dan Amerika Serikat (1%)". Mohon maaf atas kekeliruan ini.