Giant Sea Wall: Solusi Tambal Sulam di Pesisir Pantura

Penulis : Wahyu Eka Setyawan, DIREKTUR WALHI JAWA TIMUR

OPINI

Selasa, 17 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

KUNJUNGAN Presiden Prabowo Subianto ke Beijing, China, pada November 2024 memantik diskusi tentang proyek Giant Sea Wall (GSW), sebuah tanggul laut raksasa yang direncanakan membentang dari Jakarta hingga Gresik. Proyek ini disebut sebagai solusi atas ancaman banjir rob dan penurunan muka tanah di Pantura Jawa. Namun, di balik ambisi besar tersebut, muncul pertanyaan: apakah proyek ini benar-benar akan mengatasi krisis yang kian parah, atau hanya sekadar solusi tambal sulam?

Pantai Utara Jawa menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim. Penurunan muka tanah di wilayah ini mencapai 1–25 sentimeter per tahun, diperparah oleh kenaikan muka air laut sebesar 1–15 sentimeter per tahun. Kota-kota seperti Jakarta, Semarang, dan Demak menjadi saksi betapa pesisir terus terkikis, memaksa ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal.

Di Demak, misalnya, pada September 2024 lebih dari 800 rumah di tiga kecamatan hancur akibat abrasi dan banjir rob. Sementara itu, di Semarang, abrasi telah menggerus 1.764,5 hektare daratan dalam dua dekade terakhir. Di Jakarta, banjir besar pada 2007 membuktikan bahwa tanggul pantai yang dibangun pada 2002 tidak cukup untuk melindungi ibu kota dari gabungan dampak perubahan iklim dan salah urus tata ruang.

Krisis ini juga mengancam sektor ekonomi. Sepanjang Pantura Jawa terdapat 70 kawasan industri, lima kawasan ekonomi khusus, dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lainnya yang rentan terhadap banjir rob. Ironisnya, fokus pemerintah yang berlebihan pada sektor industri sering mengabaikan masyarakat pesisir—mereka yang paling terdampak oleh krisis ini.

Giant Sea Wall Mengancam Pantai Utara Jawa

Warga di desa Bedono, Demak, Jawa Tengah, duduk di 'perahu' apung darurat saat banjir rob terjadi. Foto: Getty Images/Ulen Ifansasti

Rencana pembangunan GSW di sepanjang pantai utara Jawa membawa risiko besar terhadap ekosistem pesisir dan laut yang esensial, seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Keberadaan ekosistem ini sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati serta melindungi garis pantai. Hutan mangrove, misalnya, berfungsi sebagai penghalang alami terhadap gelombang badai dan erosi, serta menyediakan habitat bagi berbagai spesies laut.

Terumbu karang dan padang lamun juga mendukung beragam kehidupan laut serta berkontribusi pada kesehatan ekosistem secara keseluruhan. Kerusakan habitat ini akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang signifikan dan mendorong perpindahan berbagai spesies laut. Dalam jangka panjang, beberapa spesies bahkan berisiko punah. Selain itu, keberadaan tanggul laut dapat mengubah arus pantai alami dan pola sedimentasi, yang berpotensi menimbulkan konsekuensi lingkungan yang tidak terduga.

Keberadaan tanggul laut, terutama selama proses konstruksi, juga berpotensi mengganggu migrasi alami dan pola perkembangbiakan ikan. Hal ini akan memengaruhi sektor perikanan lokal, mengingat banyak populasi ikan bergantung pada habitat pesisir tertentu untuk pemijahan dan pembibitan. Gangguan di area ini dapat menyebabkan penurunan populasi ikan, yang berdampak langsung pada mata pencaharian masyarakat pesisir.

Secara teknis, proyek Giant Sea Wall juga berpotensi memperburuk erosi pantai di wilayah yang tidak dilindungi oleh tanggul. Struktur keras seperti tanggul laut dapat mengganggu transportasi sedimen dan meningkatkan erosi di bagian hilir. Hal ini berpotensi mengancam infrastruktur dan permukiman di sepanjang pantai, sehingga justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada yang ingin dicegah.

Di wilayah utara Jawa, seperti Jakarta, Pekalongan, Semarang, Demak, Gresik, dan Surabaya, penurunan permukaan tanah dan erosi pantai sudah menjadi masalah serius. Proyek Giant Sea Wall di daerah-daerah ini berisiko memperburuk kondisi tersebut.

Solusi Parsial

Proyek GSW diharapkan mampu melindungi kawasan pesisir dari banjir dan mendukung aktivitas ekonomi. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur serupa kerap hanya memberikan solusi jangka pendek. Di Jakarta, pembangunan pulau reklamasi telah memperburuk penurunan tanah, dengan beberapa wilayah mengalami subsiden hingga 80 milimeter per tahun—lebih cepat daripada laju kenaikan muka air laut.

Selain itu, data emisi karbon yang terus meningkat mencerminkan akar permasalahan yang lebih dalam. Di Jawa Tengah, emisi karbon dioksida (CO2) melonjak dari 66.710,20 Gg pada 2011 menjadi 145.961,97 Gg pada 2022. Jakarta bahkan mencatat emisi tahunan sebesar 206 juta ton, dengan transportasi dan industri sebagai kontributor utama. Dengan tren emisi yang terus naik, proyek seperti GSW hanya menangani dampak di permukaan tanpa menyentuh akar masalah.

Krisis pesisir di Indonesia memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Solusi berbasis alam (nature-based solutions) seperti restorasi mangrove, rehabilitasi terumbu karang, dan penghentian alih fungsi lahan di kawasan pesisir harus menjadi prioritas. Mangrove, misalnya, tidak hanya melindungi pesisir dari abrasi, tetapi juga menyerap karbon dalam jumlah besar. Demikian pula, pemulihan hutan dan lahan basah dapat membantu menekan emisi karbon sekaligus memperkuat daya tahan lingkungan.

Reformasi tata ruang juga sangat mendesak. Pemerintah harus menghentikan pembangunan di wilayah rentan, mengelola air tanah dengan bijak untuk mencegah subsiden, dan memperkuat regulasi yang melindungi kawasan pesisir. Investasi dalam transportasi publik rendah emisi serta pengurangan ketergantungan pada energi fosil juga harus menjadi bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim.

Proyek GSW mencerminkan ambisi besar pemerintah dalam menghadapi krisis pesisir, tetapi proyek ini tidak cukup untuk menjawab akar masalah. Krisis pesisir Indonesia adalah hasil dari kombinasi perubahan iklim, tata ruang yang buruk, dan kebijakan pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Solusi sejati memerlukan perubahan paradigma, serta menyentuh akar masalah, mengutamakan keberlanjutan, dan memprioritaskan masyarakat yang paling terdampak. Tanpa langkah-langkah ini, setinggi apa pun tanggul yang dibangun, ia tidak akan mampu menahan gelombang krisis yang terus datang.