Budak Indonesia dalam Tuna Kaleng Amerika

Penulis : Kennial Laia

Kelautan

Selasa, 17 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Perbudakan yang dialami awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia masih terjadi. Laporan investigasi terbaru mengungkap, dugaan kerja paksa dan eksploitasi finansial dialami oleh mereka yang bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan. 

Laporan tersebut, yang diterbitkan 10 Desember 2024, juga menemukan benang merah yang menghubungkan praktik kerja paksa di kapal dengan industri tuna kalengan di Amerika Serikat. Para peneliti, dari Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), juga mengidentifikasi adanya dugaan peran agen perekrutan di dalam negeri yang turut meraup untung dari penderitaan AKP migran. 

Laporan ini menganalisis 10 kasus berdasarkan aduan yang diterima SBMI dari nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera Taiwan sejak 2019 hingga 2024. 

“Alih-alih mendapatkan penghidupan layak, saudara-saudara kita para nelayan migran Indonesia justru menjadi korban perbudakan modern,” kata Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno. 

Aktivis buruh migran dan lingkungan dari SBMI dan Greenpeace dalam aksi di depan Istana Negara, mendesak agar presiden segera meratifikasi peraturan yang memberikan perlindungan terhadap nelayan migran. Dok. Adhi Wicaksono/Greenpeace

“Permasalahan ini sudah lama terjadi, tetapi pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya terkesan tidak berupaya untuk membenahi pelindungan, bahkan cenderung membiarkan. Pembiaran adalah pelanggaran serius hak asasi manusia,” ujarnya. 

Perbudakan modern di laut dan eksploitasi finansial 

Menurut laporan tersebut, AKP migran Indonesia melaporkan beragam praktik kerja paksa menurut indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Di antaranya penipuan (100%), penahanan dokumen identitas pribadi (100%), penyalahgunaan kerentanan (92%), dan jeratan utang (92%).

Dari sisi finansial, nelayan migran mengaku secara ilegal diminta membayar biaya perekrutan, sekitar US$ 491 – US$ 1.950 atau sekitar Rp7,65 juta – Rp31 juta. Jumlah ini setara dengan satu hingga empat kali gaji bulanan yang dijanjikan pada mereka. Menurut Hariyanto, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Nahasnya lagi, upah awak kapal Indonesia ditahan hingga 20 bulan, sehingga mereka tak berpenghasilan dan menempatkan ekonomi keluarga mereka dalam kondisi kritis. Dalam satu kasus, seorang pekerja dengan cedera mata tidak menerima kompensasi asuransi medis setara nilai 25 kali lipat gaji per bulannya.

Di sisi lain, laporan tersebut menemukan enam dari 12 kapal berbendera Taiwan terindikasi melakukan kegiatan IUU Fishing. Di antaranya, pemindahan muatan tengah laut (transshipment) secara ilegal, beroperasi tanpa izin di luar yurisdiksi yang semestinya, dan menangkap ikan di kawasan konservasi.

Menurut Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution, transshipment ini kerap dibarengi dengan mematikan sistem AIS (Automatic Identification System) kapal untuk menyembunyikan aktivitasnya. Para nelayan juga melaporkan praktik shark finning yang secara global sudah dilarang secara masif, di mana sirip hiu dipotong dan tubuh hiu dibuang kembali ke laut.

Keterlibatan Merek Global

Para peneliti menemukan empat kapal teridentifikasi terhubung dengan merek tuna kalengan Amerika Serikat (AS), Bumble Bee. Jenama ini dimiliki perusahaan bisnis tuna Taiwan, FCF. Sementara kapal-kapal tersebut bernama Chaan Ying, Guan Wang, Shin Lian Fa No. 168, dan Sheng Ching Fa No. 96. 

Menurut laporan, kapal-kapal tersebut tercatat beberapa kali memasok hasil tangkapan ke Bumble Bee. Transaksi ini berlangsung selama beberapa tahun, mengindikasikan relasi bisnis yang langgeng di antara kedua belah pihak.

Laporan ini merupakan seri ketiga dari laporan investigasi serupa yang terbit pada 2019 dan 2021. Para peneliti mendesak pemerintah Indonesia, Taiwan, dan AS untuk mengambil langkah konkret, yakni memperketat kebijakan dan regulasi industri perikanan; memastikan korporasi bertanggung jawab atas praktik tidak manusiawi dan tidak berkelanjutan; menyediakan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja migran, termasuk mekanisme pengaduan yang efektif dan transparan; serta membangun industri seafood global yang adil, manusiawi, dan lestari.

“Temuan yang terungkap dalam laporan ini bisa jadi adalah fenomena gunung es. Oleh sebab itu, Greenpeace dan SBMI akan terus melakukan investigasi guna mengungkap lebih banyak sisi kelam industri perikanan global,” kata Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution.

“Tujuannya tentu untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan bagi masa depan para nelayan, konsumen, dan laut kita,” ujarnya.