Tebang Kayu, Sembunyi Tangan: Olok-olok APRIL kepada FSC
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Selasa, 17 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil mendesak Forest Stewardship Council (FSC) untuk segera menghentikan proses perundingan (remedy framework) dengan Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL), anak usaha Grup Royal Golden Eagle (RGE). Sebab, korporasi penghasil pulp kertas terbesar kedua di Indonesia itu dianggap masih terhubung dengan perusahaan-perusahaan pembabatan hutan alam atau deforestasi.
“Dengan sejumlah dugaan terhubung dengan rangkaian deforestasi terburuk di Indonesia beberapa tahun terakhir, pun konflik tak berujung dengan masyarakat adat dan lokal, seolah RGE sedang mengolok proses pemulihan FSC,” kata Kalina Dmitriew, peneliti di Earthsight, sebuah organisasi masyarakat sipil yang berkedudukan di Inggris, Selasa (12/12/2024).
RGE merupakan grup usaha yang bermarkas di Singapura. Selain perkebunan kayu dan pulp, grup ini juga berbisnis perkebunan sawit, konstruksi, dan energi di Indonesia. APRIL adalah salah satu anak usahanya.
Pasar utama APRIL mencakup beberapa negara di Eropa, termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Saat memulai produksi pulp komersialnya di Riau pada 1995, sebagian besar pasokan kayunya berasal dari pembabatan hutan alam.
Pada awal 2000-an, APRIL mengaku memiliki konsesi lebih dari 330 ribu hektare di Indonesia. Hingga pertengahan 2004, lebih dari 137 ribu hektare tumbuhan alami dalam konsesi-konsesinya telah dibabat dan dikonversi menjadi kebun kayu monokultur. Setelah serangkaian keluhan atas pembabatan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia diajukan berbagai organisasi masyarakat sipil, pada 2013 FSC memutuskan hubungan (disasosiasi) dengan APRIL.
Karena pemutusan hubungan itu, sertifikat FSC yang dipegang APRIL pun otomatis dicabut. Sejak itu pula FSC juga melarang perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto itu menggunakan logo FSC pada produk-produknya.
Pada Januari 2014, APRIL mengadopsi ‘Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan’. Namun laporan organisasi masyarakat sipil dan audit independen pada tahun berikutnya justru mengungkap pelanggaran-pelanggaran berat terhadap kebijakan itu. Pelanggaran berat dimaksud seperti deforestasi yang terus berlanjut di konsesi pemasok APRIL dan konflik dengan masyarakat setempat yang tak juga diselesaikan.
Seolah tak ingin berlama-lama berdagang tanpa logo FSC, APRIL diketahui kembali mendekati FSC dan memohon agar disasosiasi itu diakhiri. Dialog formal antara APRIL dan lembaga sertifikasi kayu berkelanjutan itupun dimulai pada 2016.
Sekitar satu tahun yang lalu, FSC dan APRIL dilaporkan telah menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja Pemulihan (Remedy Framework Agreement), yang di dalamnya mencakup komitmen APRIL untuk menyelesaikan konflik dengan masyarakat dan peniadaan deforestasi di seluruh anak usahanya.
Untuk diketahui, Kebijakan Asosiasi FSC menegaskan bahwa agar sebuah perusahaan bisa mendapatkan sertifikat FSC, tidak boleh ada perusahaan di dalam grup usaha (dalam hal APRIL, tentu termasuk semua perusahaan di bawah payung RGE) yang terlibat dalam kegiatan yang tidak dapat diterima (unacceptable activities), termasuk terlibat deforestasi atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi masyarakat adat dan lokal atau hak-hak pekerja.
Gambaran hubungan kepemilikan PT Mayawana Persada dan RGE. Sumber: Auriga Nusantara
Sementara itu, kelompok masyarakat sipil menemukan beberapa perusahaan yang terhubung dengan RGE tetap memicu dan menangguk keuntungan dari serangkaian deforestasi terburuk di Indonesia.
“Serangkaian tindakan RGE mengesankan dirinya sebagai korporasi yang kredibel secara sosial dan lingkungan, namun secara bersamaan menangguk keuntungan dari perusakan hutan alam. Ini merupakan pelacuran citra (greenwashing) pada skala industrial,” ujar Kalina.
“FSC semestinya tidak menoleransi hal seperti ini, sehingga perlu sesegera mungkin menghentikan proses pemulihan dengan APRIL. Setidaknya hingga deforestasi dan penindasan hak asasi masyarakat setempat benar-benar terhenti dan diselesaikan secara memadai di seantero korporasi dan rantai pasok RGE,” imbuhnya.
Tapi perundingan ini tetap saja berlangsung meski banyak bukti terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan, yang terkait dengan RGE Group—induk usaha APRIL—melalui perusahaan-perusahaan bayangan (shadow companies), meski RGE membantah mengendalikannya. Setidaknya ada dua laporan yang dipublikasikan tahun ini yang menunjukkan perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan RGE terlibat dalam perusakan hutan secara masif dan mengambil untung dari perdagangan kayu alam yang ditebangnya.
Para pelaku deforestasi yang terhubung dengan RGE
Hasil investigasi kelompok masyarakat sipil dan media, telah mengungkap keterhubungan operasional, personel, dan rantai pasok antara RGE dengan sejumlah perusahaan, seperti PT Industrial Forest Plantation, dan PT Mayawana Persada. Dua perusahaan ini bahkan secara konsisten bertengger di jajaran pemuncak deforestasi Indonesia beberapa tahun terakhir. Walaupun RGE menyangkal kendalinya terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.
Foto area konsesi PT Industrial Forest Plantation di Kalimantan Tengah, diambil padaOktober 2022. Foto: Auriga Nusantara.
Dalam kasus PT Industrial Forest Plantation, berdasarkan hasil analisis, perusahaan yang memegang PHPH hutan tanaman seluas 101.840 ribu hektare tersebut diketahui telah membabat sekitar 22.000 hektare hutan pada 2016-2022, di Kalimantan Tengah. PT IFP terindikasi terhubung dengan RGE Group melalui kepemilikan saham, sekaligus sebagai salah satu pemasok sejumlah pabrik chipwood dan pulp perusahaan yang dioperasikan perusahaan yang diduga terhubung dengan RGE Group.
Adapun PT Mayawana Persada, yang mengelola 138.809 hektare konsesi kebun kayu di Kalimantan Barat, demi membangun kebun kayu pulp, hutan alam di dalam konsesi ini dibabat, setidaknya 33.000 hektare—setara separuh Singapura—sejak 2021. Pembabatan hutan ini tak hanya memicu konflik dengan masyarakat adat Dayak, tapi juga menyebabkan emisi karbon yang sangat besar.
Menurut kelompok masyarakat sipil, melalui kanalisasi yang dilakukan oleh Mayawana, pengeringan lahan menyebabkan gambut rusak tersubsistensi hingga rentan mengalami kebakaran dan berbagai risiko lainnya. Konversi lahan gambut menjadi perkebunan komoditas vegetasi monokultur, seperti akasia dan eukaliptus, mengakibatkan terlepasnya emisi karbon di dalam gambut serta berkurangnya biomassa di atas gambut.
Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pasal 26 PP itu menyebutkan, setiap orang dilarang membuka lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung; membuka drainase yang mengakibatkan ekosistem gambut menjadi kering; membakar lahan gambut; atau melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan ekosistem gambut, sebagaimana dimaksud pada pasal 23 ayat (2) dan ayat (3).
Kerusakan ekosistem gambut yang dimaksud oleh PP itu dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 23 ayat (2). Ekosistem gambut dengan fungsi lindung dinyatakan rusak apabila melampaui kriteria baku kerusakan sebagai berikut: terdapat drainase buatan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan; tereksposnya sedimen berpirit atau kuarsa di bawah lapisan gambut; atau terjadi pengurangan luas/volume tutupan lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan.
Merujuk pada kajian World Resources Institute, setiap hektare gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun atau kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin.
Kanal yang dibangun oleh PT Mayawana Persada untuk menguras air di hutan lahan gambut. Foto: Auriga Nusantara.
Tak hanya gambut, deforestasi di PT Mayawana Persada juga mengakibatkan habitat spesies terancam punah, termasuk orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) juga. Pada Maret 2024 lalu, berdasarkan pantauan lapangan, Betahita menemukan sekitar 7 sarang orangutan yang tersebar di sekitar 30 meter dari kanal-kanal yang dibangun perusahaan untuk mengeringkan gambut. Sarang-sarang orangutan itu beberapa di antaranya masih terlihat baru.
Kanal-kanal selebar sekitar 6 meter sedalam sekitar 2 meter, dengan panjang berkilo-kilo meter itu, menjadi musibah bagi orangutan. Sebab keberadaan kanal-kanal itu membuat primata dilindungi yang tinggal di hutan itu menjadi terfragmentasi hidupnya.
“Orangutan jelas enggak bisa menyeberang,” kata Murni, warga Desa Padu Banjar, Kabupaten Kayong Utara, yang menemani Betahita meninjau lokasi pembabatan hutan alam di konsesi PT Mayawana Persada, pada 16 Maret 2024.
Santo, warga Desa Padu Banjar lainnya, memperkirakan ada banyak populasi orangutan di hutan di konsesi PT Mayawana Persada. Karena pada dasarnya hutan desa dan konsesi perusahaan ini satu hamparan.
“Jadi kemungkinan jenis satwa yang ada di hutan desa dan di konsesi itu ya kurang lebih sama, demikian pula populasinya," ujarnya.
Sarang orangutan yang berada tak jauh dari kanal yang dibuat PT Mayawana Persada di dalam areal yang disebut sebagai Kawasan Lindung dalam RKUPHHK-HTI Tahun 2012-2021 PT Mayawana Persada. Foto: Auriga Nusantara.
Perkiraan Santo didukung hasil studi Yayasan Palung. Yayasan ini menemukan, di Hutan Lindung Gambut Sungai Paduan, yang berbatasan dengan PT Mayawana Persada di sebelah selatan, terdapat populasi orangutan sekitar 61 individu (Yayasan Palung, 2022). Dalam studi yang melihat peta sebaran Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) orangutan ini, Yayasan Palung sampai pada perkiraan bahwa orangutan di konsesi PT Mayawana Persada populasinya cukup banyak.
Sementara itu, berdasarkan pantauan dari udara menggunakan pesawat tanpa awak (drone) yang diterbangkan Betahita pada 16 Maret 2024, setidaknya ada 8 unit ekskavator terlihat sedang beroperasi di atas lahan yang sedang di-land clearing. Beberapa unit alat berat itu tampak menumbangkan pepohonan dan menata batang-batang kayu yang telah roboh ke titik kumpul.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—kini disebut Kementerian Kehutanan—pernah menerbitkan perintah kepada PT Mayawana Persada untuk menghentikan aktivitas penebangan hutan alam di konsesinya pada April 2024. Tapi sayangnya surat itu hanya memerintahkan jeda sesaat.
Tampak dari ketinggian beberapa alat berat beroperasi di konsesi PT Mayawana Persada, 16 Maret 2024. Lokasi pembukaan lahan ini berada di dalam areal Kawasan Lindung berdasarkan RKUPHHK-HTI Tahun 2012-2021 PT Mayawana Persada. Foto: Auriga Nusantara.
Laporan Pembalak Anonim yang dipublikasi Auriga Nusantara, Environmental Paper Network (EPN), Greenpeace, Woods & Wayside International (WWI) dan Rainforest Action Network (RAN) pada Maret 2024 menampilkan secara rinci keterhubungan operasional, personel, dan rantai pasok antara PT Mayawana Persada dengan RGE.
Laporan tersebut juga mengungkapkan hubungannya dengan pabrik kayu lapis PT Asia Forestama Raya (AFA) yang menampung 24.231 m³ kayu alam gelondongan (log) dari PT Mayawana Persada pada 2022-2023, dan merupakan sebagian besar pasokan kayunya.
Sukanto Tanoto, pendiri sekaligus pemimpin RGE, merupakan pemilik saham mayoritas AFA melalui satu perusahaan induk hingga Juli 2023, saat sahamnya dipindahkan ke satu perusahaan yang berdomisili di British Virgin Islands (yang selanjutnya, melalui database Offshore Leaks yang dikelola International Consortium of Investigative Journalist, terhubung dengan RGE).
RGE memang membantah afiliasinya dengan PT Mayawana Persada. Namun, melalui tanggapannya terhadap laporan di atas, tidak ada sangkalan terhadap keterhubungannya dengan Asia Forestama Raya atau bantahan terhadap bukti-bukti di balik dugaan tersebut. Hubungan tak-terbantah antara RGE dan perdagangan log PT Mayawana Persada menegaskan keterlibatan RGE dalam perusakan lingkungan dan sosial yang justru disepakatinya untuk diselesaikan melalui proses pemulihan FSC.
Merujuk pada serangkaian bukti dan temuan terpublikasi mengenai deforestasi dan konflik sosial yang terhubung dengan RGE, pada Juni 2024, koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Earthsight, Auriga Nusantara, EPN, Greenpeace, WWI, dan RAN menyurati FSC meminta penangguhan proses pemulihan APRIL.
Dalam tanggapannya, FSC menyatakan menjadikan review struktur konglomerasi RGE sebagai bagian dari prosedur standar kerangka pemulihan (remedy framework). Akan tetapi, FSC tidak menyampaikan akan melakukan tindakan tertentu terhadap bukti-bukti (deforestasi dan konflik sosial) yang ada.
Beberapa bulan kemudian, seiring berlanjutnya dialog FSC-APRIL, muncul dugaan RGE mengoperasikan jaringan perusahaan tersamar (shadow companies), yang melaluinya terjadi pengabaian komitmen keberlanjutan yang telah diikrarkannya. Liputan investigasi Gecko Project pada Oktober 2024, menampilkan kesaksian orang dalam (insider) bahwa enam perusahaan pulp yang tergabung dalam grup tersamar (shadow group) PT Borneo Hijau Lestari pada dasarnya dikendalikan RGE.
Tampak dari ketinggian lahan di kawasan Suaka Margasatwa Singkil di Aceh, dirambah untuk dijadikan perkebunan sawit. Foto diambil pada Februari 2024. Foto: Auriga Nusantara.
Keterlibatan RGE dalam deforestasi tidak terbatas pada industri pulp saja. Sebulan lalu, laporan RAN mengungkap adanya satu pabrik sawit pemasok Apical (anak usaha RGE yang bergerak pada sektor industri sawit) yang menampung sawit ilegal yang ditanam melalui konversi hutan alam Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Kawasan tersebut merupakan salah satu area konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, yang merupakan habitat terpadat orangutan sumatera (Pongo abelii) di dunia. Apical disebut akan menyelidiki hal ini.
Menimbang bukti-bukti tersebut, Earthsight dan Auriga Nusantara mendesak FSC menghentikan proses pemulihan hubungan dengan APRIL, setidaknya hingga deforestasi berakhir dan pelanggaran hak masyarakat lokal diselesaikan di seantero RGE, termasuk jaringan perusahaan tersamarnya. Melanjutkan perundingan dengan APRIL, dalam rangka sertifikasi FSC, sangat berpotensi melibatkan FSC pada pelacuran citra korporasi (greenwashing) paling buruk yang pernah terjadi di Indonesia.
Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, menyebut bertahun-tahun FSC secara naif menilai struktur korporasi pulp di Indonesia. Beragam bukti yang menunjukkan keterhubungan Tanoto Grup dalam deforestasi dan pelanggaran hak asasi di Indonesia semestinya menyadarkan FSC.
“Sehingga lembaga sertifikasi ini tidak hanya bersandar pada keterangan yang disampaikan perusahaan, namun secara aktif menelisik struktur korporasi secara memadai sehingga perusahaan-perusahaan pemegang sertifikat FSC tetap kredibel dan turut melindungi hutan alam tersisa di Indonesia,” kata Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara, Selasa (12/12/2024).
Betahita sudah mencoba meminta tanggapan dan konfirmasi kepada FSC mengenai desakan penghentian proses pemulihan dan sertifikasi FSC yang sedang dilakukan APRIL. Namun, hingga artikel ini ditulis, sejumlah pertanyaan yang disampaikan kepada CEO FSC belum mendapatkan respons apapun.
Begitu juga dengan pihak RGE Group. Upaya permintaan tanggapan terhadap desakan kepada FSC untuk menghentikan proses reasosiasi yang diupayakan APRIL, serta konfirmasi terkait sejumlah dugaan keterhubungan grup tersebut dengan beberapa perusahaan pelaku deforestasi seperti yang disebutkan kelompok masyarakat sipil, juga tidak mendapatkan tanggapan apapun.