Cadangan Nikel Tinggal 25 Tahun, Pemerintah Koq Pilih Oke Gas?
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Rabu, 18 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno memperhitungkan cadangan nikel Indonesia akan habis dalam 25 tahun mendatang jika produksi nikel terus dilakukan dengan cara besar-besaran.
Saat ini cadangan yang dimiliki Indonesia mencapai 5,3 miliar ton untuk nikel saprolit maupun limonit. Sedangkan produksi nikel selama beberapa tahun belakangan mencapai di atas 200 juta ton per tahunnya.
“Artinya angka 5 miliar ton dalam waktu 25 tahun, finish. Kita mau ngomong apalagi, Indonesia Emas itu 20 tahun lagi. Setelah tercapai Indonesia Emas lima tahun kemudian nikel habis. Ini nggak lucu lah,” ucapnya pada sesi acara “Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025” Selasa lalu (10/12).
Namun potensi habisnya cadangan nikel ini justru tidak membuat Kementerian ESDM melakukan pembatasan produksi nikel. Tri menyebutkan ESDM justru ingin menggencarkan eksplorasi mencari cadangan baru.
Eksplorasi yang dilakukan secara detail di Indonesia, kata dia, mungkin masih kurang dari 20 persen. "Itulah yang perlu diidentifikasi," ujarnya.
Hingga 2023 lalu Kementerian ESDM mencatat jumlah izin usaha pertambangan (IUP) nikel mencapai 300 unit dan 3 Kontrak Karya (KK).
Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara, Ibrahim Fahmi Badoh, menyebutkan setidaknya terdapat dua faktor yang membuat pemerintah terus berorientasi menggenjot pertambangan nikel. Pertama adalah industrialisasi nikel untuk bahan baku seperti saprolit dan limonit.
Pemerintah memberi label hilirisasi pada industri nikel ini. Namun, menurut Fahmi, orientasi pemerintah atas produksi bahan baku ini tidak untuk memenuhi kebutuhan produksi barang jadi di dalam negeri.
“Misalnya untuk nikel ini, ya produk nikel itu sudah disebut barang jadinya. Jadi bukan untuk misalnya memenuhi kebutuhan pabrik pembuatan baja ringan di dalam negeri, berapa ratus ton, misalnya. Makanya ekspornya terus digenjot meski dalam negeri sudah tidak membutuhkan. Ini namanya kita ekspor sumber daya alam jadinya,” kata dia.
Begitu pula dengan pembuatan baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV). Selama ini, kata Ibrahim, Indonesia hanya mengekspor bahan bakunya untuk kebutuhan di luar negeri, terutama China. Karena Indonesia sendiri belum memiliki pabrik skala industri besar untuk EV.
Kedua adalah rezim UU No 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Perundangan ini tidak membatasi wilayah pertambangan, artinya seluruh wilayah Indonesia bisa ditambang.
Hal inilah yang menjadi faktor utama eksploitasi besar-besaran dalam beberapa tahun ini meningkat drastis, terutama nikel.
“Pendekatan perizinan Indonesia tidak berbasis mana yang boleh dan mana yang tidak. Setelah UU Minerba pada masa Presiden Jokowi, semua wilayah adalah wilayah pertambangan,” kata dia.
Dua orientasi ini membuat pemerintah terus menggenjot pertambangan nikel tanpa memperhitungkan ketersediaan cadangan dan dampak lingkungan.
Menurutnya kebijakan pemerintah ini fatal karena kawasan kaya nikel merupakan daerah yang memiliki kekayaan biodiversitas tinggi dan khas. Kawasan tersebut meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, dan Provinsi Maluku Utara. Ketiganya berada di kawasan Wallacea.
Kajian Auriga sendiri menunjukkan terdapat hampir 1 juta hektare konsesi tambang nikel di Indonesia, 66% persen di antaranya atau sekitar 0,64 juta hektar, merupakan tutupan hutan alam.
Hampir 80 persen atau 2,5 juta hektare deposit nikel yang terkonsentrasi di Indonesia Timur berada di wilayah yang kaya akan hutan dan keanekaragaman hayati. Setidaknya 18 spesies ikonik yang terancam karena penambahan jumlah tambang nikel.
Area deposit itu juga bertindihan dengan wilayah adat.