Masyarakat Sipil Kecam Penganiayaan Aktivis Panah Papua
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Sabtu, 21 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Tindak kekerasan kembali dialami aktivis hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan. Kali ini kekerasan berupa tindak penganiayaan itu dialami oleh Sulfianto Alias, yang diketahui sebagai Direktur Perkumpulan Panah Papua—organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam mengadvokasi hak masyarakat adat dan perlindungan hutan alam, khususnya Provinsi Papua Barat.
Menurut informasi yang dihimpun oleh kelompok masyarakat sipil, baik dari Laporan Polisi Nomor STTLP/LP/B/246/XII/2024/SPKT/Polres Teluk Bintuni/Polda Papua Barat, maupun keterangan saksi, kejadian tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap Sulfianto, terjadi di sekitar Jalan Kafe Cenderawasih, Bintuni Timur, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, pada Jumat dini hari, 20 Desember 2024, sekitar Pukul 00.30 pagi WIT.
Tengah malam itu, Sulfianto yang sedang berada di Kafe Cenderawasih tiba-tiba didatangi kemudian dikeroyok, dianiaya dan dipukul berulang kali oleh sekelompok orang tak dikenal, yang jumlahnya lebih dari dua orang. Penganiayaan fisik dan teror terjadi berulang kali pada tempat berbeda, di sekitar lokasi kejadian, termasuk menggunakan benda tumpul, batu dan kayu ke arah perut, punggung, wajah dan kepala korban, sehingga korban mengalami luka sobek pada bagian kepala, memar dan bengkak di sekujur tubuh.
Tak hanya di Cafe Cendrawasih, para pelaku juga menculik korban dan menyiksa di tempat berbeda, yakni di Kawasan Tanah Merah-Awarepi, serta mengancam dengan menggunakan senjata api jenis pistol. Kejadian ini sudah dilaporkan ke Polres Teluk Bintuni.
Sejumlah aktivis dan pemimpin organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyerukan kecaman terhadap kekerasan yang dialami Sulfianto, dan menduga kejadian nahas itu ada hubungannya dengan aktivitas korban yang aktif melakukan pembelaan hak-hak masyarakat adat dan advokasi terhadap kejahatan lingkungan di Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan daerah kabupaten lainnya.
Beberapa waktu lalu, Perkumpulan Panah Papua aktif mengadvokasi kasus kejahatan lingkungan yang melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Subur Karunia Raya dan PT Borneo Subur Prima, serta Proyek Strategis Nasional Kawasan Industri Pupuk Fakfak di Kabupaten Fakfak dan Tangguh Train 3 di Kabupaten Teluk Bintuni. Proyek ini melibatkan pemilik modal besar, oligarki dan pejabat nasional.
Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JIPK), Muhammad Ichwan mengungkapkan, Jumat (20/12/2024), Sulfianto sudah sejak 3 tahun lalu mengalami ancaman, akibat melakukan kerja-kerja untuk membongkar praktik kejahatan kehutanan, khususnya pembalakan liar, yang diduga melibatkan korporasi. JPIK mengetahui ancaman tersebut karena Panah Papua adalah bagian dari JPIK, sebagai salah satu anggota lembaga di region Papua.
Motif penganiayaan yang dialami Sulfianto memang belum diketahui, kata Ichwan, akan tetapi terlepas dari penyebabnya, penganiayaan adalah pelanggaran hukum yang tidak bisa ditoleransi. Karena itu JPIK mendesak pihak kepolisian segera mengungkap dan menangkap semua pelaku dan aktor di balik penganiayaan terhadap Sulfianto.
Untuk langkah selanjutnya, lanjut Ichwan, JPIK akan berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan, karena Sulfianto Alyas adalah aktivis lingkungan sekaligus pemantau independen kehutanan yang dilindungi oleh Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024, yang mengatur perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan hidup, dan Keputusan Menteri LHK No, 9895 Tahun 2022, yang di dalamnya menjamin perlindungan pemantau independen dari ancaman fisik dan verbal.
“Kementerian Kehutanan harus segera melakukan upaya hukum dan pendampingan terhadap korban penganiayaan, termasuk terhadap keluarga korban dan juga organisasi Panah Papua,” kata Ichwan.
Selain dilindungi Peraturan dan Keputusan Menteri LHK, hak Sulfianto sebagai pembela HAM lingkungan hidup dijamin hukum lewat berbagai peraturan dan undang-undang (UU) yang berlaku di Indonesia. Di antaranya UUD 1945 Pasal 28C ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, dan juga diatur dalam UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 100 yang menyebut setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia.
“Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, kami pemimpin organisasi masyarakat sipil dan pembela HAM lingkungan hidup mengecam keras tindakan kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan orang-orang secara melawan hukum dan brutal terhadap aktivis Sulfianto Alias,” kata kelompok masyarakat sipil, dalam sebuah pernyataan sikap, Jumat (20/12/2024).
Kelompok masyarakat sipil mendesak aparat penegak hukum, terutama Kapolres Teluk Bintuni, untuk segera menangkap pelaku kekerasan, mengungkap berbagai motif dan mengadili pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan ini, serta memberikan sanksi seadil-adilnya.
“Kami meminta berbagai pihak pejabat negara, aparat penegak hukum, elite politik, pemilik dan operator perusahaan untuk menghormati dan melindungi keberadaan dan hak-hak aktivitas pembela HAM lingkungan hidup, mencegah terjadinya tindakan kekerasan, pembalasan dan tidak melakukan upaya-upaya yang dapat melanggar HAM,” kata mereka.
Sementara itu, menurut pengakuan Sulfianto, sebagaimana dikutip dari Portaljepe, ia dituduh bekerja sama dengan Yustina Ogoney, Kepala Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Roy Marthen Masyewi, anggota DPRD Teluk Bintuni, untuk memenangkan pasangan calon kepala daerah Yohanis Manibuy-Joko Lingara, pada Pilkada 2024 lalu.
“Saya diancam mau dibunuh dengan pistol. Saya sudah bilang ke mereka, saya ada hubungan kerja dengan Bu Distrik Merdey untuk pemetaan wilayah adat,” kata Sulfianto.