Berdampak Buruk ke Mana-mana, Reklamasi Teluk Manado Digugat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kelautan
Senin, 23 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Nomor: 20062210517100001 oleh pemerintah untuk PT Manado Utara Perkasa, yang terbit pada 17 Juni 2022, digugat kelompok masyarakat sipil di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. PKKPRL untuk proyek reklamasi pembangunan pusat bisnis dan pariwisata di Teluk Manado ini dianggap akan memicu perampasan ruang hidup masyarakat pesisir.
Gugatan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)—yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (Tapak)—tersebut didaftarkan oleh kuasa hukum, ke PTUN Jakarta pada 15 November 2024, dan sudah terdaftar dalam register perkara No. 444/G/LH/2024/PTUN.JKT. Gugatan ini merupakan tindak lanjut atas laporan perwakilan masyarakat pesisir Manado Utara, khususnya nelayan kecil, yang merasa akan dirugikan atas proyek reklamasi tersebut.
Perizinan reklamasi di pesisir Teluk Manado/Laut Sulawesi melalui skema PKKPRL tersebut diterbitkan atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui sistem OSS. KKP melalui Peraturan Menteri Kelautan (PermenKP) No. 8 Tahun 2020 telah melakukan pendelegasian kewenangan untuk penerbitan perizinan berusaha sektor kelautan dan perikanan kepada BKPM.
Akan tetapi, menurut PermenKP tersebut, kewenangan BKPM hanya sebatas pada penerbitan perizinan berusaha di sektor kelautan dan perikanan, akan tetapi verifikasi lapangan dan penilaian teknis permohonan PKKPRL merupakan kewenangan dari KKP maupun unit pelaksana teknisnya.
Perwakilan kuasa hukum Tapak, Mulya Sarmono, menyebut bahwa gugatan proyek reklamasi melalui PKKPRL ini merupakan bentuk keputusan dan perlawanan masyarakat pesisir Manado Utara kepada pemerintah pusat dan daerah, yang secara sewenang-wenang memberikan izin reklamasi di pesisir Manado Utara, yang akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir.
Mulya Sarmono mengatakan, tidak ada pelibatan masyarakat pesisir Manado Utara yang bermakna dalam proses terbitnya PKKPRL untuk PT Manado Utara Perkasa. Padahal masyarakat pesisir itu telah jelas menyatakan penolakan atas proyek reklamasi tersebut, namun tidak diakomodasi, bahkan tidak juga dipertimbangkan.
“Secara teoritis, menurut Arnstein (1969), hal ini sebagai manipulasi yang termasuk kluster non-partisipasi dalam tingkatan partisipasi masyarakat,” kata Mulya Sarmono, dalam sebuah rilis, Jumat (20/12/2024).
Kuasa hukum Tapak lainnya, Afif Abdul Qoyim, menambahkan bahwa proyek reklamasi melalui PKKPRL ini menggunakan dasar hukum yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (CK). Hal tersebut berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tertanggal 25 November 2021 tentang Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UU Dasar Tahun 1945.
“Yang menyatakan bahwa pembentukan UU CK tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan,” kata Afif.
Perwakilan kuasa hukum Tapak lainnya, Judianto Simanjuntak, menjelaskan sejak gugatan itu didaftarkan gugatan ini telah menjalani beberapa sidang. Sidang selanjutnya akan digelar 24 Desember, dengan agenda sidang pembacaan gugatan dan pembacaan penetapan, apakah majelis hakim menerima atau tidak PT Manado Utara Perkasa sebagai pihak tergugat intervensi.
Sidang akan dilaksanakan secara online (electronic Court/E- Court). Majelis hakim menyatakan setelah persidangan 24 Desember 2024 dilanjutkan persidangan jawaban dari tergugat, replik dari penggugat, dan duplik dari penggugat yang dilakukan secara E Court (online). Kemudian dilanjutkan sidang pembuktian (bukti surat, saksi, dan ahli) yang akan dilaksanakan secara offline (tatap muka).
Dalam konteks lingkungan hidup, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa berbagai proyek reklamasi mengancam keberlanjutan lingkungan hidup di wilayah pesisir Manado Utara itu sendiri maupun area penyangganya, yang merupakan area penangkapan ikan serta wilayah tambatan perahu nelayan kecil.
Proyek reklamasi di Teluk Manado/Laut Sulawesi ini, lanjut Zenzi, telah jelas bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang seharusnya dilaksanakan berdasarkan asas pelestarian dan keberlanjutan, kehati-hatian, keadilan, keanekaragaman hayati, manfaat, serta partisipatif. Bahkan negara berkewajiban untuk bertanggung jawab atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terutama kegiatan yang akan berpengaruh pada perubahan iklim.
“Seharusnya Kementerian, Majelis Hakim PTUN Jakarta membatalkan PKKPRL ini karena bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan juga peraturan perundang-undangan yang telah memandatkan negara untuk melindungi keberlanjutan sosial-ekologi pesisir dan pulau kecil,” ujar Zenzi.
Papan informasi terkait reklamasi di pesisir Karangria-Tumumpa, Kota Manado, Sulawesi Utara. Foto: YLBHI/LBH Manado.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, berpendapat bahwa dampak proyek reklamasi melalui PKKPRL ini akan dirasakan permanen oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional yang ada di Manado Utara, bahkan Teluk Manado.
“Pantai Manado Utara seluas 90 hektare adalah pantai terakhir yang tersisa di Teluk Manado. Selain itu, reklamasi akan memusnahkan terumbu karang yang masih hidup di lokasi reklamasi tersebut, hal ini telah dibuktikan oleh Manado Scientific Exploration Team bahwa di lokasi tersebut terdapat ekosistem terumbu karang yang hidup,” ujar Susan.
Proyek reklamasi ini, lanjut Susan, juga mengancam ekosistem laut pada Taman Nasional Bunaken yang letaknya berbatasan langsung dengan lokasi reklamasi. Bahkan proyek reklamasi ini akan meningkatkan potensi bencana banjir di Kecamatan Tuminting, yang selama ini telah mulai terdampak banjir.
“Terakhir, seluruh nelayan kecil dan tradisional dapat dipastikan secara perlahan akan beralih profesi karena harus berhadapan dengan kondisi pantai yang bergelombang besar dengan tepian lahan reklamasi berupa bebatuan dan semakin sulitnya nelayan kecil/tradisional untuk mengakses laut dan mendapatkan ikan,” ucap Susan.
Tapak dan para kuasa hukum berharap Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memeriksa dan menyidangkan perkara ini bisa berperspektif lingkungan dan mengutamakan keberlanjutan lingkungan hidup dan masyarakat yang hidup dan bergantung atas sumber daya kelautan dan perikanan tersebut.
Bahkan hal ini telah dimandatkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, tanggal 21 Maret 2024 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Bahwa tujuan kemakmuran rakyat sebagaimana maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak dapat dipungkiri sangat tergantung pada keberlanjutan (sustainability) dari natural capital resources dan ekosistem yang sehat, sehingga penting untuk menjaga dan menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta memelihara keadaan ekosistem agar tetap sehat,“ujar Judianto Simanjuntak.