Fatur Meronda Belantara dari Udara

Penulis : Aryo Bhawono

Biodiversity Warriors

Minggu, 29 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Segerombolan orang di tengah belantara tiba-tiba mendongak ke atas. Beberapa di antaranya memegang chainsaw yang masih tertancap di batang pohon. Sekelebat kemudian mereka berlarian meninggalkan sisa bukaan hutan yang belum dibersihkan menuju kawasan yang masih lebat, menghilang.

Muhammad Fatur Rahman terpaku dengan kejadian yang terekam di layar remote control drone yang diterbangkannya tepat di atas orang-orang itu. Deru baling-baling drone sepertinya membuat mereka panik hingga berhamburan dari lokasi penebangan. Dugaannya, orang-orang itu adalah pembalak liar. 

Selang tak lama deru knalpot sepeda motor menggema di antara pepohonan hutan tempat Fatur berdiri. Suara itu kian menjauh, lalu sunyi kembali.

Saat itu sekitar bulan Oktober 2024, Fatur tengah menerbangkan drone di Taman Nasional Gunung Leuser di Kawasan Hutan Tenggulun, Aceh Tamiang. Kedatangannya di tempat itu sebenarnya tak terkait dengan operasi mengejar pembalak liar melainkan survei kawasan untuk reforestasi. 

Sebuah bukaan hutan di samping perkebunan sawit hasil foto drone. Foto: Fatur Rahman

Keberadaan pembalak liar itu membuatnya bergidik. Kasus pembalakan berulang kali terjadi di daerah itu secara terang-terangan. Bahkan mereka berani mengejar aparat yang menangkap rekan mereka. 

“Pernah ada yang ditangkap tapi aparat yang menangkap itu dikejar balik sama kawanan pembalak liar. Itu yang membuat seram,” ucapnya ketika berbincang melalui telepon pada Senin (16/12/2024). 

Perambahan hutan telah membuat kawasan itu mengalami degradasi. Investigasi Rain Action Network (RAN) 2024 misalnya, menemukan pembukaan kawasan hutan di Tenggulun untuk perkebunan sawit maupun pembalakan liar yang dilakukan sejak 2021 hingga 2024. Selain itu berbagai laporan operasi aparat penegak hukum berkali-kali mendapati apra pembalak liar.  

Saat itu belum genap setahun Fatur bergabung dengan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Pusat Informasi Orangutan (YOSL-OIC), sebuah lembaga swadaya masyarakat pengelolaan kawasan habitat orang utan dengan kerjasama masyarakat di bentang alam Batang Toru dan Leuser. Fatur sendiri bertandang ke hutan untuk survei kawasan program pemulihan lahan di Taman Nasional Gunung Leuser di Kawasan Hutan Tenggulun, Aceh Tamiang.

Fatur bersama rekannya mengamati tangkapan layar drone yang tengah diterbangkan. Foto: Fatur Rahman

Ekosistem Leuser merupakan salah satu hutan tropis terpenting di Asia. Kawasan ini  mencakup Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, mencakup lebih dari 2,6 juta hektare hutan hujan dataran rendah, rawa gambut, hutan pegunungan dan pesisir, padang rumput alpine, dan kawasan budidaya. 

Hutan ini menjadi rumah bagi satwa liar yang penting dan berstatus dilindungi seperti orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), dan satwa lainnya.  

Kawasan Tenggulun merupakan bagian dari ekosistem ini. Fatur mengikuti tim survei ketika masuk ke hutan itu. Drone yang ia terbangkan menangkap gambar kondisi terkini kawasan pemulihan hutan dan sekitarnya. 

Rekannya yang lain mengumpulkan segala data vegetasi dan satwa, dari jejak yang mereka tinggalkan, dari sisa makanan, kotoran, dan lainnya. Untungya hingga akhir kegiatan survei dan pendataan tak ada tragedi apapun. Semua dilaporkan, termasuk adanya aktivitas pembalakan liar.

Data-data ini menunjukkan perkembangan pemulihan kawasan dan kondisi terkini biodiversitas setelah pemulihan. 

Menurutnya hutan yang tadinya kritis bisa kembali membaik. Namun itu tadi hambatannya, perambah hutan yang mengancam hutan dan siapapun yang memergokinya.   

Sebuah bukaan hutan di samping perkebunan sawit hasil foto drone. Foto: Fatur Rahman 

Lulusan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) ini menceritakan pengalaman pertamanya masuk hutan alam. Hutan Tenggulun itu bukan perkenalan pertamanya. Perjalanan Fatur mengenal hutan boleh dibilang cukup menyiksa. 

Ketika itu Februari 2024, ia baru saja bergabung di Bidang Satwa dan Habitat YOSL-OIC, dan mendapat tugas untuk melakukan analisis vegetasi masuk ke Kawasan Hutan Langkat Ekosistem TNGL. Lembaga tempatnya  bernaung memiliki area pemulihan seluas 161 ha di kawasan itu. 

Hujan besar menyambut mereka ketika mereka mau berangkat menuju ke dalam kawasan dari pondok tempat mereka menginap. Pemetaan melalui udara harus menunggu cuaca cerah, ia pun harus tetap mengikuti tim masuk ke dalam hutan.   

“Antara rasa kagum dan takut saya memandang hutan itu. Tapi takut itu hilang karena kemudian kami harus melakukan kegiatan teknis dan ketika masuk hutan kami juga berjumpa dengan gajah dan orangutan. Ini pengalaman pertama saya bertemu mereka di alam liar,” ucapnya. 

Pengalaman seminggu keluar masuk hutan itu memberinya oleh-oleh, demam berdarah. Hampir dua minggu ia terkapar di tempat tidur karena demam.   

Namun itu tak membuatnya kapok. Setelah pulih ia kembali bekerja menindaklanjuti data, mengolah hasil dokumentasi foto dan video udara, memadukannya dengan perolehan data di darat sehingga mendapat gambaran lengkap kondisi perkembangan vegetasi. 

Ia kian memahami keragaman biodiversitas sangat ditentukan oleh kondisi hutan. Semakin baik kondisi hutannya, maka biodiversitas kian baik dan beragam. Karena itulah pemetaan melalui udara menjadi sangat penting.

Pengalamannya di Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara menunjukkan bahwa hutan alam yang telah rusak karena perambahan mengakibatkan konflik satwa. Orangutan pergi dari habitatnya karena perambahan dan kehabisan pakan. Mereka menuju ke kebun warga.     

“Kalau konflik di Lumut, kami satu minggu di sana. Banyak hutan yang sudah hilang dan terfragmentasi. Makanya muncul konflik,” kata dia. 

Fatur bersama rekan-rekannya beristirahat sejenak ketika melakukans urvei dalam hutan. Foto: Fatur Rahman

Fatur juga berkali-kali bertandang ke berbagai daerah dalam Bentang Alam Batang Toru yang menjadi rumah bagi orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Berbagai proyek besar yang dilakukan disana, paling tidak mempengaruhi habitat orang utan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sarulla, tambang emas Martabe, dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru. 

Fatur turut dalam berbagai patroli drone untuk memastikan habitat orangutan tetap layak dihuni sehingga tak menimbulkan konflik dengan masyarakat. “Kami melakukan pendataan sarang dipadukan dengan kelengkapan vegetasi, hingga data aerial,” ucapnya.

Bagi Fatur, teknologi drone penting untuk membantu pendataan upaya konservasi secara akurat dan mendetail. Dengan drone, konservasi seperti punya mata kedua di udara. 

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id