Dashboard Nasional Dinilai Akal-Akalan Pemerintah Patuhi EUDR
Penulis : Aryo Bhawono
Sawit
Jumat, 27 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembentukan National Dashboard Indonesia (NDI) untuk mempersiapkan kepatuhan Regulasi Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-Free Regulation/ EUDR) dinilai hanya akal-akalan untuk menutup rantai pasok sawit kotor di tanah air. Hal ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil dalam sebuah diskusi pada Selasa (17/12/2024).
Pembentukan NDI EUDR ditetapkan melalui Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian (Kepmenko) No 178 Tahun 2024 Tentang Komite Pengarah Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan Indonesia. Pemerintah mewajibkan pelaku usaha besar mematuhi regulasi pada 30 Desember 2025. Sementara usaha mikro dan kecil diberi kelonggaran hingga 30 Juni 2026. Namun Koalisi Masyarakat Sipil beranggapan pembentukan NDI ini justru tak sesuai dengan EUDR.
Dewan Nasional SPKS, Mansuetus Darto, menyebutkan pemerintah menginginkan Uni Eropa mengacu pada sistem ini dalam pemenuhan prosedur dan implementasi EUDR yang sesuai dengan standar no deforestation. "Masalahnya selama ini pemerintah Indonesia tak pernah membuat sistem yang transparan atas rantai pasok minyak sawit kotor di tanah air. Makanya pembentukan NDI ini akan menyulitkan pelaku usaha untuk melaksanakan EUDR," ujarnya.
DIa juga mengatakan, sistem informasi yang dibangun tidak menjamin adanya perbaikan tata kelola sawit nasional. “Sejumlah isu penting tidak diadopsi dalam Dasbor Nasional. Ini hanya sistem informasi biasa, tidak dapat menjanjikan perbaikan tata kelola komoditas berkelanjutan tanpa deforestasi dan pelanggaran HAM. Masyarakat di akar rumput tidak dapat mengakses informasi apapun dalam sistem tersebut untuk mengetahui korporasi yang ada di daerah sekitar mereka. Apalagi sistem ini tidak mengenal complaint mechanism,” kata Darto dalam diskusi tersebut.
Publik atau organisasi masyarakat sipil yang dekat dengan isu kerakyatan dan lingkungan juga tidak dapat membuka QR code yang terhubung dengan informasi penting tentang kepatuhan (compliance) dari perusahaan atau komoditas yang ada. Akses terhadap QR code hanya dapat diberikan kepada konsumen atau otoritas yang diijinkan oleh oleh otoritas National Dashboard.
“Di sini NDI tidak transparan. Bagi masyarakat sipil, adalah penting kepastian data dan informasi yang diinput dalam sistem tersebut bukanlah data yang salah dan menjamin bahwa perusahaan atau komoditas apapun tidak melakukan deforestasi dan telah melakukan uji tuntas dengan baik,” kata dia.
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, mengkhawatirkan Dasbor Nasional akan menimbulkan overlapping dalam pembentukan sistem informasi yang selama ini sudah ada di sejumlah kementerian, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ATR/BPN. Padahal belum ada akuntabilitas dari sistem informasi yang dibangun.
Misalnya terkait komoditas perkebunan sawit, pemerintah membuat SIPERIBUN. Dalam implementasinya sistem ini justru tidak dapat menjamin semua pelaku usaha untuk melakukan self-reporting.
“Masyarakat juga belum mendapat manfaat dari sistem yang dibangun, karena seharusnya dengan sistem informasi, Pemerintah dapat mengevaluasi perizinan dan hak atas tanah dari semua pelaku usaha. Sehingga ada jaminan bagi masyarakat untuk mengakses data dan memperoleh pengembalian tanah berkonflik dari pelaku usaha yang terindikasi memiliki konsesi perkebunan yang melebihi hak atas tanah atau HGU mereka,” jelas Rambo.
Pemerintah, lanjut Rambo, cukup mengintegrasikan SIPERIBUN dengan sistem lainnya, Selanjutnya pemerintah fokus pada tata kelola komoditas sawit dengan mendorong penguatan petani swadaya dalam rantai pasok.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Grahat Nagara, menyatakan bahwa praktik menggunakan sistem informasi seperti Dasbor harus dipastikan agar tidak menjadi pintu masuk moral hazard birokrasi, apalagi mengingat sebagian besar sistem informasi itu tidak terbuka untuk publik.
Saat ini keberadaan sistem informasi belum banyak yang berhasil menjadi instrumen tata kelola. Secara sederhana misalnya, tidak ada satupun informasi berbasis ketelusuran itu yang bersifat terbuka dan menjadi dasar uji akuntabilitas publik.
“Kalau memang mau mendukung penguatan tata kelola, saya pikir tugas pemerintah itu melakukan revisi terhadap keputusan pejabat negara mengenai daftar informasi dikecualikan. Di Kementerian Pertanian tahun 2022, melalui SK Sekjen Nomor 19 Tahun 2022, misalnya, data perizinan dan peta perkebunan ditutup dengan alasan menunjukkan kekayaan alam Indonesia. Padahal, dengan argumen itu yang tidak bisa mengakses justru publik yang punya kepentingan terhadap dampak dari kebijakan eksploitasi sumber daya alam,” ungkapnya.
Peneliti Satya Bumi, Sayyidati Haya Afra, mengkritisi kebijakan Dasbor Nasional yang tidak dibangun dengan sistem yang transparan dan menjamin akses bagi publik. Sistem informasi yang terkait dengan komoditas berkelanjutan seharusnya lebih kredibel sehingga mampu dipercaya dan mengangkat nilai komoditas yang lebih kompetitif di pasar global.