Kiara: KKP Diduga Tahu Laut Dipagar, Tapi Diam-diam Bae
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kelautan
Minggu, 12 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 km yang terletak di perairan laut Kabupaten Tangerang, Banten, membuat heboh sekaligus memicu gelombang reaksi negatif dari masyarakat sipil. Pemagaran ruang laut ini dinilai sebagai bentuk perampasan ruang dan privatisasi laut oleh pihak tertentu.
Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), pemagaran laut dengan menggunakan bambu, paranet, dan juga pemberat berupa karung berisi pasir ini cukup aneh. Sebab berbagai kementerian dan lembaga negara terkait malah menyatakan ketidaktahuan, dan disebut tak berizin.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menyebut pemasangan pagar yang mencakup 6 wilayah kecamatan, yakni Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Teluknaga, ini merupakan bentuk awal dimulainya privatisasi laut. Wilayah perairan tersebut akan dijadikan sebagai perairan privat untuk berbagai kepentingan seperti reklamasi maupun pertambakan.
“Kiara melihat ini adalah bentuk awal dari perampasan ruang laut. Jika di check melalui Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten—atau yang disebut sebagai Perda RTRW Banten yang terintegrasi—status pemanfaatan zona ini beberapa di antaranya adalah perikanan tangkap, dan perikanan budidaya,” kata Susan, dalam sebuah keterangan tertulis, Jumat (10/1/2025).
Akan tetapi, imbuhnya, Perda tersebut juga memiliki berbagai masalah, seperti tidak adanya pelibatan dan partisipasi penuh dan bermakna dari masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan kecil dan tradisional, serta pembudidaya ikan kecil, sehingga pengetahuan dan ruang-ruang yang mereka kelola tidak diakui oleh negara.
Susan mengungkapkan, berdasarkan penelusuran yang dilakukan Kiara, pemagaran laut ini sebenarnya telah diketahui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten sejak 14 Agustus 2024. Bahkan pada 4-5 September 2024 tim DKP bersama polisi khusus (Polsus) dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meninjau lokasi perairan pemagaran laut.
Sehingga dari rentang waktu Agustus atau September 2024 hingga Januari 2025, KKP telah mengetahui adanya pemagaran laut tersebut. Akan tetapi tidak ada tindakan yang serius dan tegas yang dilakukan KKP hingga akhirnya isu ini tersebar di publik pada awal 2025.
“Ini membuktikan bahwa KKP telah melakukan pembiaran terjadinya pemagaran laut di Kabupaten Tangerang,” ucap Susan.
Kiara mencatat, sambung Susan, ada 4.463 jiwa nelayan yang hidup dan memanfaatkan perairan laut di 6 kecamatan tersebut yang akan terdampak oleh pemagaran laut ini. Hal tersebut menambah jumlah kasus privatisasi laut yang ada di Teluk Jakarta, bahkan ada dugaan bahwa pemagaran laut ini diduga berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di PIK 2.
Bahkan tambak-tambak dan bagan-bagan perikanan telah banyak tersebar di Teluk Jakarta dan secara nyata telah mengganggu aktivitas perikanan tangkap nelayan kecil dan tradisional yang melakukan aktivitas perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, seperti memanen kerang, yang ada di Teluk Jakarta.
“Selain itu, ada juga reklamasi di Teluk Jakarta untuk pembangunan pulau-pulau palsu, serta reklamasi yang terjadi di ancol dan juga di wilayah Pantai Indah Kapuk,” ujar Susan.
Susan bilang, pemagaran laut ini menjadi bukti bahwa pelibatan dan partisipasi nelayan kecil/tradisional sebagai aktor utama dalam menjaga dan mengawasi laut belum dijalankan oleh KKP. Hal ini menciptakan adanya batas dan ja rak antara KKP dengan nelayan kecil dan tradisional sebagai right holders dan juga penguasa utama laut Indonesia.
Padahal pelibatan partisipasi masyarakat pesisir, khususnya nelayan, adalah bentuk pemberdayaan nelayan serta memperkuat peran serta masyarakat yang merupakan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.
Pemagaran laut ini, lanjut Susan, menjadi tanda dan momentum bagi kementerian dan lembaga negara terkait, khususnya KKP, untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Evaluasi tersebut harus dilakukan karena tidak adanya perlindungan khusus bagi wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan kecil yang ada di Indonesia, dan tidak adanya pelibatan partisipasi dari nelayan kecil dan tradisional sebagai aktor utama dari penjaga lautnya.
“Padahal hal ini merupakan bentuk pemberdayaan serta memperkuat peran serta masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam UU 27/2007,” kata Susan.
Kiara juga berharap evaluasi secara menyeluruh juga dilakukan terhadap kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang melegitimasi perusakan laut, privatisasi laut dan juga perampasan ruang laut, seperti Kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang melegitimasi perampasan ruang laut.
KKP hentikan pemagaran laut
Setelah viral di media sosial dan ramai dibicarakan publik, KKP akhirnya melakukan penghentian kegiatan pemagaran laut itu, pada Kamis (9/1/2025). Dalam keterangan tertulisnya KKP menyebut pemagaran laut ini dihentikan lantaran diduga tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), serta berada di dalam Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang menimbulkan kerugian bagi nelayan dan berpotensi merusak ekosistem pesisir.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyebut segala kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak memiliki izin dasar dan berpotensi merusak keanekaragaman hayati serta menyebabkan perubahan fungsi ruang laut, seperti pemagaran laut ini, tidak sesuai dengan praktek internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) dan mampu mengancam keberlanjutan ekologi.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Pung Nugroho Saksono, mengatakan penghentian pemagaran laut ini dilakukan sebagai respons atas aduan nelayan setempat, serta untuk menegakkan aturan yang berlaku terkait tata ruang laut.
“Saat ini kita hentikan kegiatan pemagaran sambil terus dalami siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kegiatan ini,” kata Ipung, Kamis (9/1/2025).
Ipung mengatakan, tim gabungan Polisi Khusus (Polsus) Kelautan Ditjen PSDKP serta Dinas Kelautan dan Perikanan Banten telah melakukan investigasi di desa dan kecamatan sekitar lokasi pemagaran laut pada September 2024.
Dari hasil investigasi dan Pengambilan foto udara/drone pemagaran laut dimulai dari Desa Margamulya sampai dengan Desa Ketapang. Kemudian Desa Patra Manggala sampai dengan Desa Ketapang. Diketahui konstruksi bahan dasar pemagaran merupakan cerucuk bambu.
Menyambung pernyataan Ipung, Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan, Sumono Darwinto, menuturkan tim juga melakukan analisis foto drone dan arcgis, hingga diketahui bahwa kondisi dasar perairan merupakan area rubble dan pasir, dengan jarak lokasi pemagaran dari perairan pesisir berdasarkan garis pantai sejauh kurang lebih 700 meter.
“Berdasarkan e-seamap, kegiatan pemagaran tersebut tidak memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL),” ucap Sumono.