Cerita Biodiversitas para Pemenang Lomba Foto Kehati
Penulis : Kennial Laia
Biodiversitas
Sabtu, 18 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Awal Desember 2024, Purwanto Nugroho membawa kameranya menyelam ke bawah laut Tulamben, Kubu, Karangasem, Bali. Di antara reruntuhan kapal USAT Liberty dari Perang Dunia II di kedalaman 20 meter, dia bergerak dan mengambil gambar satu demi satu. Lalu di sebuah cerukan yang ditumbuhi karang warni-warni, dia berhenti selama 15 menit.
Kesabarannya itu berbuah foto dengan komposisi yang dia inginkan. Foto ini kemudian menjadi pemenang pertama lomba fotografi biodiversitas yang diadakan oleh Yayasan Kehati bekerja sama dengan Betahita, akhir Desember lalu.
Foto Purwanto memperlihatkan keindahan alam bawah laut yang jarang disaksikan masyarakat awam. Komposisinya termasuk dua penyelam, yang seolah-olah dibingkai oleh puing-puing kapal yang telah menjadi rumah bagi ikan dan terumbu karang. Gambar ini mengisyaratkan sebuah interaksi antara manusia dan ekosistem bawah laut.
“Foto ini merupakan salah satu foto terbaik yang saya miliki. Begitu mendengar ada lomba fotografi dengan tema biodiversitas, saya pikir bagus dan cocok karena bisa digunakan untuk memperluas kesadaran publik akan alam bawah laut,” ujarnya.
Menurut Purwanto, foto ini diambil saat dia mengikuti lomba fotografi di Tulamben Festival yang diadakan pemerintah setempat untuk mempromosikan objek wisata di kawasan tersebut. Namun foto yang disertakan di sini tidak masuk dalam kontes tersebut. “Saya juga tidak menang di situ,” selorohnya.
Dalam mengambil foto ini, tantangan Purwanto adalah arus. Dia harus mengontrol kamera serta posisi mengapung di bawah air. “Saya harus memosisikan diri agar cukup aman dalam mengambil komposisi foto, dan aman tidak terbawa arus serta tidak menabrak terumbu karang di sekitar saya.”
Purwanto menggunakan teknik foto wide angle, yang ciri khasnya berjarak sangat dekat dengan objek. Dalam foto ini, jaraknya tidak sampai setengah meter. “Kalau mengambil jarak yang terlalu dekat, berpotensi tinggi gerakan tidak terkontrol akibat arus. Kuncinya juga harus sabar, dan mengandalkan intuisi juga, karena tidak seperti di darat, di bawah laut kita tidak bisa langsung mengecek hasil jepretan,” katanya.
Purwanto senang gambarnya menang. Secara pribadi, dia tidak terlibat dalam komunitas atau organisasi konservasi. Namun, fotografi yang digelutinya ingin dia pakai sebagai medium untuk menyuarakan suara dari bawah laut. Menurutnya isu bawah laut Indonesia seringkali tenggelam dibandingkan dengan isu-isu lingkungan yang terjadi di daratan.
“Apa yang terjadi di bawah laut terpengaruh oleh aktivitas manusia di daratan, mulai dari sampah dan perubahan iklim juga. Jadi saya berharap, hal ini bisa meningkatkan kesadaran akan isu ini,” katanya.
Sementara itu di daratan, pemenang kedua Dikye Ariani menangkap interaksi unik yang terjadi di Kingdom Animalia. Foto Dikye memperlihatkan dua spesies, yaitu burung prenjak yang sedang ‘menyuapi’ burung kedasih yang berukuran lebih besar.
Foto pemenang kedua menunjukkan interaksi unik antara burung prenjak (bawah) yang menyuapi kedasih (atas). Dok. Dikye Ariani
“Yang menarik untuk diketahui adalah burung kedasih sering dijuluki sebagai burung yang licik karena tidak pernah membuat sarang untuk bertelur atau mengerami telurnya. Induk betina burung ini selalu menitipkan telur-telurnya di sarang burung lain yang ukuran sarangnya lebih kecil, seperti burung prenjak. Telur-telur tersebut akan dierami dan dirawat sampai besar oleh burung prenjak,” kata Dikye.
“Teknik pengambilan gambarnya menggunakan lensa tele 100-400 agar mendapatkan foto yang tajam dan tidak perlu melakukan extreme crop. Untuk speed apabila induknya tidak sedang dalam posisi terbang, maka dapat menggunakan speed 1/200. Tapi kalau induknya sedang dalam posisi terbang, biasanya saya menggunakan speed di atas 1/1500 untuk menghasilkan gerakan yang freeze dari induk burung,” jelasnya.
Maizal, yang merebut juara ketiga, beda lagi. Dalam prosesnya, dia lebih dulu membuat konsep dan membuat ‘setting’ sebelum menjepret. Pasalnya, foto yang diambil menampilkan sebuah dunia mini yang seringkali luput dari perhatian kita: seekor semut sedang menyeberang di antara daun pakis.
“Pada prinsipnya semua elemen yang ada di foto natural, tetapi memang dikondisikan sedikit. Saya juga harus mengamati perilaku semut, dan lokasi foto itu memang sarang semut yang biasa menyeberang daun-daun. Khusus foto ini, ada sedikit pengondisian daun pakis. Sisanya semua alami,” kata fotografer lepas yang berbasis di Bukittinggi, Sumatra Barat ini.
Maizal mengambil foto tersebut ini pada 2021, dari lokasi yang sangat dekat, yakni di belakang rumahnya di Kampung Kamang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, yang berdekatan dengan Hutan Bukit Barisan.
Foto pemenang ketiga, berjudul "Dunia Mini". Dok. Maizal
“Di belakang rumah saya ada banyak jenis pohon, seperti durian, kulit manis, dan alpukat. Rumpun pakis biasanya tumbuh di bawah pohon durian. Tanaman di Kamang kebanyakan durian, dan biasanya semut rangrang terkenal dengan ahli merajut sarang di bawah pohon ini,” katanya.
“Dunia kecil sering luput dari perhatian kita padahal sangat menarik. Sepintas, serangga terlihat biasa saja dan lumrah ada di taman-taman. Tetapi kalau kita perhatikan, sebenarnya menarik dan indah, dengan detail dan daun pakis yang cantik,” katanya.
Saat memotret Maizal mengaku mengalami tantangan yang unik. “Salah satunya menunggu momen semut menyeberangi daun. Kalau semut kan tidak bisa diperintah dan pergerakannya cepat sekali dan tidak bisa ditebak. Karena itu fokusnya harus pas,” katanya.
Adapun 10 pemenang favorit lainnya, yaitu Jimmi Gumilang Purnama, Erianto, Harry Sanjaya Putra, Giri Wijayanto, Saddam Husein, Ahmad Wahyudi, Boedi Setiawan, Arif Indrianto, Imam Subayil, dan Ryan Dhika Nugraha.
Ijar Karim, fotografet TEMPO dan juri untuk kategori foto, mengatakan ada empat hal yang mendasari penilaian foto para peserta. Di antaranya kesesuaian dengan tema biodiversitas, konsep, orisinalistas, dan teknis foto.
“Dari empat kriteria itu, para juri melakukan skoring dan seleksi dari lebih dari 100 orang, yang mengerucut pada tiga foto terbaik dan sepuluh foto favorit,” kata Ijar. “Skoringnya juga ketat.”
Indeka Putra, juri lainnya dari Yayasan Kehati, mengatakan para juri juga melihat apakah foto mampu menyampaikan sebuah ‘cerita’. “Kita melihat usaha yang sudah dikeluarkan dan cerita di balik foto dan teknik yang digunakan. Jadi ada makna dan cerita yang dalam dari foto tersebut,” katanya.
Foto para pemenang menurutnya memiliki konsep yang kuat dan teknik yang tinggi. Salah satunya foto Dikye, menampilkan interaksi burung kedasih dan prenjak.
“Ini adalah interaksi yang unik, di mana induknya ini dikelabui oleh anaknya. Jadi akhirnya kita anggap momen ini cukup langka dan kita putuskan sebagai juara kedua," kata Indeka.