Sejumlah Ganjil Penerbitan HGB dan SHM di Laut
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kelautan
Rabu, 22 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil menilai keberadaan hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) yang terbit di beberapa titik di dalam pagar laut sepanjang lebih dari 30 km di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, sebagai hal yang ganjil. Sebab penerbitan dua jenis hak atas tanah di perairan laut itu mestinya berada di luar kewenangan Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“HGB tidak bisa diterbitkan di atas laut atau perairan, karena mengacu pada PP No.18/2021 jo Permen ATR No.18/2021, hak atas tanah berupa bangunan (HGB) hanya bisa terbit di wilayah pesisir pantai, bukan di atas laut,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Selasa (21/1/2025).
Tak hanya itu, lanjut Dewi, di kawasan pesisir pantai sudah diatur pula bahwa hanya garis sempadan pantai yang boleh disertifikatkan, dengan minimal jaraknya 100 meter dari titik surut. Dengan demikian, pagar (bangunan) di laut jelas merupakan bentuk pelanggaran.
“Jika benar bahwa HGU tersebut berada di atas wilayah perairan, maka ada praktik akrobatik hukum secara kolektif yang melatarbelakanginya,” kata Dewi.
Praktik akrobatik hukum dimaksud, kata Dewi, yang pertama, perusahaan dan pemerintah daerah mengubah tata ruang darat dan laut, sehingga garis batas laut berubah, sehingga otomatis sepadan pantai juga ikut berubah. Kedua, Kementerian ATR/BPN memberi izin tata ruang baru (PKKPR), karena ada perubahan dari pemerintah daerah.
Yang ketiga, sengaja melakukan pembelokan data dalam memberikan risalah Panitia A terkait dengan permohonan HGB. Untuk hal ini, Dewi berani memastikan adanya pembelokan data mengenai riwayat tanah, kondisi tanah, batas tanah dan lain-lain, yang disebut dengan data fisik.
Yang keempat, dasar risalah yang salah menjadi bahan terbitnya surat keputusan penerbitan HGB. Terakhir, kelima, terbitnya 263 bidang sertifikat HGB dan 17 bidang SHM menunjukkan akrobatik hukum dan praktik mafia tanah di dalamnya.
“Pemecahan HGB menjadi bidang-bidang kecil dan banyak jumlah sertifikatnya biasanya akrobatik hukum lainnya agar prosesnya cukup diurus di tingkat Kantor Pertanahan Tangerang atau Kanwil Banten, tanpa perlu ke pusat,” kata Dewi.
Dengan adanya lima tindakan akrobatik hukum tersebut, imbuh Dewi, maka terbitnya HGB di laut itu adalah hasl dari gotong royong berjamaah dalam melakukan kesalahan hukum pertanahan dari sisi pemerintah daerah, BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan).
“Atas situasi ini, KPA mendesak Menteri Nusron di bawah komando Presiden Prabowo membongkar akrobatik HGB dan SHM di PIK (Pantai Indah Kapuk) 2 ini. Apalagi rakyat kecil, nelayan dan petani sudah jadi korban akibat PIK 2,” katanya.
Dewi menambahkan, memagari laut sehingga nelayan terdampak tidak bisa melaut merupakan bentuk pelanggaran hukum dan konstitusi. Sebab, Pasal 33 Ayat 3, UUD 45 menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UU Pokok Agraria Tahun 1960, sebagai terjemahan Pasal 33 Ayat 3, lanjut Dewi, tidak hanya mengatur soal hak atas tanah, tetapi juga hak-hak atas air yang menyangkut hak guna air, serta hak pemeliharaan dan penangkapan ikan.
“Pemagaran laut sepanjang 30 km telah melanggar konsitusionalitas nelayan di perairan-laut Tangerang. Padahal, sejak 1960 para pendiri bangsa kita sudah mengingatkan, monopoli swasta atas sumber-sumber agraria tidak diperkenankan ada bumi pertiwi ini.,” ujarnya.
Dewi berpendapat, area PIK 2 seharusnya dijadikan objek reforma agraria sehingga petani, nelayan dan masyarakat miskin di sana mendapatkan kepastian hak atas tanah bagi perumahan, pertaniannya dan wilayah tangkapnya. Apalagi Perpres Reforma Agraria juga telah memberikan jalan bagi petani dan nelayan kecil untuk menjadi subyek reforma agraria.
Di sisi lain, sambung Dewi, area PIK 2 yang masih merupakan kawasan hutan, dan tidak tumpang tindih dengan penguasaan rakyat, sekaligus merupakan akses nelayan ke laut, sebaiknya dijadikan kawasan konservasi penyangga Kota Jakarta dan Pulau Jawa oleh Kementerian Kehutanan. Bukan dikomersilkan ke pengusaha.
“Sebagaimana sering menjadi argumen KLHK selama pemerintahan Jokowi, bukankah Pulau Jawa tutupan hutannya kurang dari 30%, mengapa untuk Aguan masih saja kawasan hutan diberikan konsesinya demi PIK 2?” ucap Dewi.
HGB dan SHM diduga terhubung dengan pagar laut
Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menganggap proses yang berlangsung dari mulai pemagaran hingga pendaftaran tanah ini patut diduga merupakan proses komodifikasi dengan mengubah laut menjadi daratan, yang selanjutnya akan dilakukan privatisasi atas ruang daratan yang telah terbentuk oleh aktor dan pihak tertentu.
Sekjen Kiara, Susan Herawati, mengatakan, Kiara menduga kuat pemagaran laut yang ada di Kabupaten Tangerang memiliki hubungan yang kuat dengan keberadaan HGB dan SHM yang berada di dalam pagar laut itu. Dari penelusuran yang Kiara lakukan, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan salah satu pemegang saham di PT Pantai Indah Kapuk Dua, sedangkan PT Intan Agung Makmur memiliki kantor utama yang berada digedung yang sama dengan PIK 2.
“Sehingga hal ini tidak dapat dipisahkan karena relasi yang sangat erat antara kedua perusahaan tersebut dengan PIK 2, bahkan hal ini diduga berkaitan dengan PSN PIK 2,” kata Susan, Selasa (21/1/2025).
Selain itu, imbuh Susan, menurut hasil penelusuran di Kecamatan Kramat dan juga Kecamatan Mauk, nelayan kecil menyebutkan bahwa pemagaran laut tersebut diduga untuk perluasan kawasan PIK 2 yang akan menimbun ataupun mereklamasi laut sebagai bagian dari perluasannya.
“Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km. Pemagaran laut ini bukan sekedar pekerjaan sehari semalam, akan tetapi melibatkan berbagai pihak terkait. Saat hal ini mulai viral, maka seluruh pihak mengatakan ketidaktahuannya sebagai bentuk cuci tangan,” kata Susan.
Berdasarkan penelusuran, sambung Susan, Kiara menemukan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yang disebabkan abrasi di wilayah pesisir Desa Kohod. Penelusuran tersebut dilakukan sejak 1985 hingga 2024. Sehingga dalil bahwa pemagaran laut ini untuk menanggulangi abrasi itu adalah kekeliruan.
Dengan demikian, penerbitan HGB dan SHM di atas laut tersebut telah jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang telah membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3).
“Kiara bersama jaringan masyarakat sipil lainnya telah menggugat HP3 tersebut dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujar Susan.
Kiara mencatat, keberadaan HGB, HGU, SHM maupun perizinan lainnya yang diberikan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada perorangan maupun korporasi merupakan bentuk nyata dari hidupnya kembali HP3 atau neo-HP3. Kepemilikan hak individu maupun korporasi adalah neo-HP3 dan merupakan bentuk privatisasi laut atau saat ini disebut sebagai perampasan ruang laut (ocean grabbing).
Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007 yang dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945.
Kiara menyebutkan, bahwa atas pembatalan HP3, maka sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi, baik perorangan maupun kelompok/korporasi. Kemudian, pemberian hak kepemilikan maupun HP3 di laut oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi.
Tak hanya itu, pemberian hak kepemilikan maupun HP3 mengakibatkan wilayah perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Pemberian hak kepemilikan maupun HP3 juga menyebabkan privatisasi laut yang berdampak pada pengusiran/marginalisasi nelayan kecil dan tradisional yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya.
Seperti anggapan KPA, Kiara juga menilai Menteri ATR/BPN telah melampaui kewenangannya untuk menerbitkan hak kepemilikan, berupa HGB dan SHM, di atas laut. Susan meminta pelaku maupun pihak terkait lainnya, baik atasannya maupun Menteri ATR/BPN yang diduga terlibat penerbitan HGB dan SHM harus ditindak tegas dan transparan, sehingga peristiwa hukum ini tidak terulang di masa depan.
“Hal ini adalah tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut,” ujarnya.
Kiara, masih kata Susan, juga melihat bahwa saat ini HP3 yang sudah dibatalkan itu bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL) yang menjadi alat dan semakin melegitimasi privatisasi laut dan perampasan ruang laut dari nelayan, yang seharusnya menjadi right holders atas ruang pesisir, laut dan pulau kecil. Konflik yang diciptakan akibat PKKPRL ini telah nyata terjadi di Pulau Pari untuk pembangunan cottage apung dan dermaga dan Manado Utara yang ruang lautnya akan direklamasi menjadi darat.
“Sehingga sejauh ini kami menduga bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut. Bahkan untuk menindak pemagaran laut saja KKP tidak berani mengungkapkan identitas pihak-pihak yang terkait maupun menindaknya ke jalur hukum,” kata Susan.
Sebelumnya, pada 10 Januari 2024, KKP telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang berlokasi dan melintas di perairan 6 kecamatan di Tangerang. Akan tetapi, hingga 20 Januari 2025 KKP belum berhasil untuk mengungkap pelaku dan pemilik pemagaran laut yang meresahkan nelayan kecil dan tradisional di 6 kecamatan tersebut. Padahal pemagaran laut tersebut telah merugikan nelayan kecil dan tradisional yang telah memanfaatkan perairan tersebut sebagai ruang produksi mereka dengan komoditas ikan, rajungan dan juga rebon.
Pasca-terjadinya pemagaran laut sepanjang 30,16 km di perairan Kabupaten Tangerang, pemagaran laut juga terjadi di perairan Kabupaten Bekasi yang mencapai 2 km, dan juga pemagaran laut yang terjadi di perairan Pulau C di perairan Jakarta Utara dengan jarak mencapai 500 meter. Dari ketiga lokasi tersebut, terdapat pola yang sama dan dengan menggunakan peralatan yang sama yaitu bambu yang disertai dengan pemberat.
Selain permasalahan tentang pagar laut di 3 tempat tersebut, ternyata di sebagian perairan di Kabupaten Tangerang yang telah dipagari laut tersebut, tepatnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji telah diberikan HGB dan juga SHM yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN. Menteri ATR/BPN saat ini telah membenarkan bahwa Kementeriannya telah mengeluarkan HGB sebanyak 263 bidang laut dan SHM sebanyak 17 bidang dengan total mencapai kurang lebih 1 juta meter persegi atau 100 hektare (ha), dengan rincian PT Intan Agung Makmur dengan sebanyak 234 bidang HGB, PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang HGB, dan perorangan 9 bidang HGB.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, diketahui bahwa pemilik manfaat PT Intan Agung Makmur adalah Susanto Kusumo, Alexander Halim Kusuma, dan Ridard Halim Kusuma. Sedangkan pemilik manfaat PT Cahaya Inti Sentosa adalah Shantou Maria Investment Co. Ltd.
Menurut hasil penelusuran Kiara, pada situs BHUMI atrbpn milik Kementerian ATR/BPN, dengan berdasarkan garis pantai pada peta desa dari Badan Informasi Geospasial (BIG) maka terdapat persil-persil tanah di laut seluas kurang lebih 515,77 hektare atau lebih dari 5 juta meter persegi.
Seluruh persil-persil tanah yang berada di atas laut tersebut posisinya ada di perairan laut Desa Kohod, Kecamatan Pakishaji, Kabupaten Tangerang. Luas hasil penelusuran ini 5 kali lipat dari pernyataan Menteri ATR BPN yang menyatakan hanya terdapat sekitar 1 juta meter persegi luas bidang tanah tersertifikasi di atas laut.