Kaum Klerus Gusur Masyarakat Adat di Sikka, Aktivis: Ironis!
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Sabtu, 25 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penggusuran Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Nangahale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang diduga dilakukan PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), pada Rabu (22/1/2025), menuai kecaman. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menuntut penggusuran tersebut ditindak tegas, dan Hak Guna Usaha (HGU) yang dipegang PT Krisrama di atas wilayah adat itu dicabut.
Menurut laporan sejumlah kelompok masyarakat sipil, penggusuran ini terjadi saat delapan masyarakat adat yang diduga dikriminalisasi oleh PT Krisrama, sedang menjalani sidang dalam perkara nomor 1/Pid.B/2025/Mme, di Pengadilan Negeri (PN) Maumere. Dalam penggusuran tersebut, ratusan rumah, tanaman, dan pohon milik warga di lokasi HGU Nagahale, di Kecamatan Talibura, digusur rata dengan tanah.
“Tindakan penggusuran paksa yang dilakukan PT Krisrama dipimpin Pastor Yan Faroca (seorang Imam Katolik) menggusur 120 unit rumah dan ratusan pohon milik warga terjadi di 2 desa, Nangahale dan Likong Gete,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kamis (23/1/2025).
Menurut pantauan di lapangan, kata Dewi, tindakan penggusuran ini disaksikan Pol-PP Pemkab Sikka, Polres Sikka, dan personel Kodim Sikka, dan tidak satupun dari ketiga institusi ini yang berusaha melakukan pencegahan terhadap tindakan brutal PT Krisrama. Dewi mengaku kecewa aparat negara, dalam kasus ini, justru bersikap diam dan mengabaikan kewajiban dasar negara untuk melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang.
Dewi menganggap penggusuran ini sebagai operasi ilegal. Sebab sejak awal penerbitan pembaruan HGU PT Krisama, melalui SK HGU Nomor 01/BPN.53/7/2023, cacat administratif, tidak clear and clean, sebab tengah menjadi prioritas penyelesaian, dan telah melanggar konstitusionalitas Masyarakat Adat Nangahale. Tanah milik masyarakat adat yang dikuasai PT Krisrama berada di Desa Nangahale, Desa Likonggete, dan Desa Runut di dua kecamatan yakni Talibura dan Waigete.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan penggusuran ini membawa dampak serius terhadap masyarakat adat setempat. Akibat penggusuran dan perusakan 120 unit rumah itu, sekitar 200 orang termasuk perempuan dan anak-anak terpaksa bermalam di sekitar rumahnya, dan satu warga terluka akibat tertimpa puing material rumah.
Tak hanya kehilangan rumah tempat tinggalnya, masyarakat adat juga kehilangan sumber penghidupannya. Sebab ratusan pohon tanaman perdagangan, termasuk pisang, juga ditebang.
Kelompok masyarakat sipil juga menemukan adanya orang-orang bayaran PT Krisrama yang terlibat dalam aksi kekerasan tersebut. Orang-orang ini beraksi tanpa upaya pencegahan oleh Satpol-PP Pemerintah Kabupaten Sikka, Polres Sikka, dan Kodim Sikka.
“Kami juga mengingatkan bahwa tindakan PT Krisrama maupun sikap diam aparat negara merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi masyarakat adat atas tanah dan sumber daya yang telah mereka kelola secara turun-temurun,” kata Rukka.
Aksi sepihak PT Krisrama, lanjut Rukka, merupakan bentuk kejahatan agraria dan perampasan tanah rakyat. Aksi ini juga melanggar prinsip-prinsip hukum, dan hilangnya perlindungan hukum karena proses persidangan terkait sengketa tanah masih berlangsung di pengadilan.
“Juga melanggar hak asasi manusia, karena tindakan ini merampas hak hidup, keamanan, dan sumber penghidupan masyarakat adat,” katanya.
Dalam pernyataan bersamanya, selain menyerukan kecaman, KPA dan AMAN juga mendesak pemerintah pusat dan daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten Sikka, juga Polres dan Kodim Sikka, segera menghentikan penggusuran dan memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat Suku Goban Runut, dan Suku Soge Natarmage.
Kemudian, mereka juga menuntut Kementerian Agraria Tata Ruan/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), membatalkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi NTT tanggal 20 Juli 2023, Nomor 01/BPN.53/7/2023 tentang pemberian HGU pada PT Krisrama.
KPA dan AMAN selanjutnya meminta aparat penegak hukum untuk segera mengusut dan menindak tegas semua pihak yang terlibat dalam aksi kekerasan dan penggusuran ini, dan mendorong penyelesaian konflik tanah secara adil dan bermartabat melalui pengakuan hak-hak masyarakat adat yang telah mendiami tanah tersebut secara turun-temurun.
“Menyerukan solidaritas kepada seluruh elemen masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat di Nangahale,” kata Dewi.
Terpisah, Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Nusa Bunga Maximilianus Herson Loi, menganggap penggusuran ratusan rumah masyarakat adat di Nangahale ini tidak manusiawi sekaligus ironis. Mengingat pengelola PT Krisrama adalah kaum Klerus (kaum tertahbis) yang bertugas melanjutkan pelayanan Kristus, untuk keselamatan umat manusia, termasuk mewartakan cinta kasih. Jika melihat nama dan mayoritas.
“Keselamatan manusia harus dilihat dari kaca mata yang kompleks. Dia tidak hanya soal diri pribadi manusia tetapi juga termasuk harta milik. Jadi Klerus jangan datang menggusur rumah dan tanaman milik umat. Seharusnya Klerus harus tampil sebagai pelindung umatnya dari ancaman penggusuran dan kriminalisasi,” kata Herson, dalam sebuah rilis AMAN, Rabu, (22/1/2025).
Soal 8 warga yang diduga dikriminalisasi, Herson berpendapat, sebagai umat Keuskupan Maumere, 8 warga itu mestinya mendapat perlindungan. Karenanya, Herson memohon kepada Majelis Hakim PN Maumere untuk membebaskan 8 anggota Masyarakat Adat Suku Goban dan Runut ini dari segala tuntutan hukum.
“Kami mohon 8 orang tersebut dibebaskan karena mereka bukan penjahat. Apa yang mereka lakukan semata hanya untuk menjaga keutuhan wilayah adat serta mempertahankan wilayah adat yang merupakan warisan leluhur,” kata Herson.