Militerisme dalam Penertiban Kawasan Hutan

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Minggu, 26 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan beleid pelibatan TNI dalam penataan kawasan hutan. Pelibatan militer ini tertuang dalam Peraturan Presiden No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan. Struktur Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 peraturan itu memuat posisi dari TNI. 

Menteri Pertahanan duduk sebagai ketua dan Panglima TNI sebagai wakil ketua II Pengarah Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Menteri Kehutanan sebagai pemilik kewenangan kawasan hutan justru duduk sebagai anggota dalam struktur pengarah ini. 

Sedangkan pada struktur pelaksana Kepala Staf Umum TNI duduk sebagai wakil ketua dan Direktur Jenderal Pertahanan sebagai anggota 1 Pelaksana Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Empat pejabat Kementerian Kehutanan sendiri menjadi anggota, yakni Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Dirjen Penegakan Hukum Kehutanan. 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, menyayangkan keterlibatan institusi pertahanan. Keterlibatan tersebut bertentangan dengan Tugas, Fungsi, dan Peran TNI sebagai alat pertahanan negara. 

Pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan di area sekitar Sungaihantu. Tampak batang pohon yang merupakan jejak terakhir hutan tropis pada 2009. Foto: Daniel Beltrá/Greenpeace

Pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) memerlukan Persetujuan DPR, selain itu keterlibatan TNI dalam perpres ini tidak bisa menggunakan dalih perbantuan, yang semestinya dilakukan ketika permasalahan yang dihadapi melampaui kapasitas otoritas sipil. 

“Kami mempertanyakan juga kepada DPR, apakah keterlibatan TNI dalam Perpres ini sudah mendapatkan persetujuan dari DPR. Apakah Menteri yang membidangi seperti Kementerian Kehutanan, Lingkungan Hidup, dan aparat penegak hukum tidak mampu sehingga harus meminta bantuan TNI?” ucap dia dalam rilis pers yang diterima pada Jumat (24/1/2025). 

Kekhawatiran terbesar atas pelibatan militer dalam Perpres Penertiban Kawasan Hutan ini adalah penyalahgunaan kekuatan. Apalagi jika pasukan  justru dipakai untuk menggusur pemukiman, kebun serta perladangan masyarakat yang ada dalam kawasan hutan dengan tujuan untuk mengalokasikan kembali kawasan tersebut untuk kebutuhan lainnya seperti pangan dan energi

“Pengalaman panjang selama ini justru menunjukkan negara mudah menggusur, dan merampas tanah rakyat ketimbang mengambil kembali hutan dan tanah yang selama ini dikuasai secara ilegal maupun legal tetapi tidak legitimate oleh korporasi,” kata dia. 

Perpres ini menyamakan antara aktivitas legal dalam kawasan hutan berbasis korporasi dengan masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial (penetapan kawasan hutan secara sepihak), dan konflik agraria dengan perusahaan-perusahan pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Jika itu yang terjadi maka bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) Pasal 11 ayat (4). 

Pasal tersebut menyebutkan “Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 

Artinya, perpres ini tidak boleh menyentuh masyarakat sekitar hutan yang proses pengukuhan kawasannya belum selesai dan menjadi subyek untuk penataan kawasan. Perpres ini juga tidak boleh menyasar masyarakat yang saat ini masih mengalami konflik dengan korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.

“Jika memang Presiden berani, harusnya Perpres ini diarahkan untuk menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan. Bukan beraninya kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan, 

Uli pun menyebutkan penertiban kawasan hutan dalam perpres ini dilakukan dengan cara pembayaran denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset dalam kawasan hutan. Hal ini berbeda dengan sanksi yang sebelumnya diatur dalam  PP No. 24 Tahun 2021 yang memuat mekanisme penyelesaian melalui penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan, persetujuan melanjutkan kegiatan usaha, dan persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Persoalan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan yang diatur dalam perpres baru ini diselesaikan dengan Penguasaan Kembali Kawasan Hutan oleh negara. Hal ini menjadi baik jika pemerintah mengarahkan penertiban terhadap korporasi-korporasi yang selama ini melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan. 

“Meskipun pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan aspek pemulihan hutan yang telah rusak, yang sama sekali tidak diatur dalam Perpres tersebut. Harusnya penguasaan kembali ini tidak menghilangkan pertanggungjawaban korporasi untuk memulihkan kawasan hutan yang telah rusak,” kata dia. 

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, menyebutkan pemerintah mesti terbuka soal perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan. Jangan sampai perpres ini justru menjadi alat legitimasi resettlement masyarakat adat yang mendiami kawasan secara turun-temurun berdasarkan hukum adat tetapi diklaim secara sepihak oleh negara sebagai kawasan hutan negara. 

“Perpres ini juga harus dibaca dengan proses-proses penetapan kawasan hutan yang sedang digenjot oleh Kementerian Kehutanan yang dalam praktiknya mendapatkan perlawanan dari Masyarakat Adat karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak partisipatif alih-alih mengarusutamakan FPIC,” ucapnya. 

Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), Abdul Haris, mengingatkan pemerintah seharusnya membuka partisipasi publik dalam pembuatan  aturan semacam ini. Perlu tidaknya pelibatan militer juga seharusnya dapat dibuka perdebatannya.

“Jangan sampai pelibatan ini menjadi tak terukur sehingga justru militer dimanfaatkan untuk mengusir masyarakat adat dan warga lokal yang tengah berkonflik,” kata dia. 

Ia berharap regulasi yang tepat dapat dipakai untuk percepatan penanganan 2,31 juta hektare lahan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan yang dimiliki oleh 2.128 perusahaan, 569 perusahaan di antaranya adalah anggota GAPKI dengan total luas 810.425 ha.