Hilang Taji Menteri Lingkungan Hidup di Pulau Biawak
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekologi
Senin, 27 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aktivitas perusakan dan upaya privatisasi Pulau Biawak yang ada di gugusan Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Walhasil, meski Menteri Lingkungan Hidup sudah memasang papan peringatan di lokasi, perusakan masih terus berlanjut.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, menduga apa yang terjadi di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja, yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bahkan Menteri KP telah melakukan pembiaran perusakan perairan untuk reklamasi dan perusakan lainnya di gugus perairan Pulau Pari.
“Bahkan kondisi terbaru perwakilan warga Pulau Pari telah mengadukan perusakan ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove yang ada di Gudus Lempeng, akibat dari keluarnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dikeluarkan atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” kata Susan, Minggu (26/1/2025).
Susan melanjutkan, berdasarkan kajian dengan menggunakan metode digitasi manual dengan menggunakan citra Sentinel 2A & 2B yang telah dilakukan oleh KIARA bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), luas daratan Pulau Biawak telah bertambah sekitar 0,9 hektare sejak 2016 hingga 2024.
Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar kurang lebih 0,21 hektare yang ada di pulau tersebut. Secara lebih rinci pada 2016 luas daratan sekitar 0,47hektare, dan luas mangrove 0,66 hektare, sedangkan pada 2024 luas daratan 1,37 hektare dan luas mangrove 0,45 hektare.
Susan mengungkapkan, pada 20 Januari 2025, perwakilan pihak dari KKP telah berkunjung ke gugus Pulau Pari, salah satunya adalah mengunjungi Pulau Biawak yang ada di gugus Pulau Pari. Kunjungan kembali dilakukan pada 21-23 Januari 2025 oleh perwakilan kementerian dan Menteri Lingkungan Hidup didampingi oleh Dinas Lingkungan Hidup. Dalam kunjungan kementerian tersebut, Menteri Lingkungan Hidup telah mendirikan papan peringatan bahwa area Pulau Biawak dalam pengawasan pejabat pengawas lingkungan hidup.
“Tapi ironisnya, pasca-kepulangan dua kementerian tersebut, tepatnya pada 24 Januari 2025, pihak pengembang masih melangsungkan pembangunan di Pulau Biawak,” ujar Susan.
Salah satu catatan penting dari hadirnya dua kementerian tersebut di Pulau Pari, imbuh Susan, adalah adanya pilih bulu dalam penindakannya dan hanya menyasar pada perusakan yang tidak memiliki perizinan seperti yang terjadi di Pulau Biawak. Akan tetapi tidak melihat permasalahan yang terjadi di gugusan Pulau Pari secara menyeluruh.
Susan berpendapat, hal tersebut dapat dilihat bahwa kunjungan dua kementerian tersebut tidak menindak korporasi yang secara de facto telah melakukan reklamasi untuk perluasan daratan yang mendegradasi area terumbu karang, mangrove, dan lamun yang ada di daratan maupun perairan Pulau Tengah.
Kiara dan FP3, sambung Susan, menilai izin pengerukan laut yang tengah dilakukan oleh ekskavator di Gugus Lempeng yang PKKPRL-nya telah dikeluarkan oleh KKP serta Kementerian Investasi/BKPM. Sehingga dugaan awal bahwa upaya yang tengah dilakukan oleh KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup hanya bersifat simbolis semata dan upaya untuk mendorong perusakan ekosistem laut dan pulau kecil ke arah sanksi administratif, dan mewajibkan korporasi perusak lingkungan untuk mengurus Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sehingga negara akan mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Susan mengatakan, praktik-praktik tersebut telah terjadi di berbagai lokasi laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sekedar memberi contoh KKP telah melakukan ini kepada kapal Vox Maxima yang mengeruk pasir laut di sekitar perairan Pulau Tunda, Banten. KKP juga pernah melakukan hal serupa di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, saat PT GKP menimbun pantai dan laut untuk membangun terminal khusus yang alokasi pemanfaatan ruangnya bahkan tidak ada dalam RTRW Kabupaten maupun provinsi.
“Seharusnya KKP dalam melakukan pengawasan harus memperhatikan larangan secara langsung dan tidak langsung kepada setiap orang yang melakukan pemanfaatan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 27 Tahun 2007 yang hingga saat ini masih berlaku,” kata Susan.
Sayangnya, lanjut Susan, Omnibus Law telah melemahkan UU No. 27/2007 yang diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, sehingga KKP selalu berdalih dengan terus menyatakan hanya dapat melakukan sanksi administratif atas pelanggaran yang terjadi. Lebih jauh jika terjadi pelanggaran dalam pasal 35 UU No. 27 Tahun 2007 tetapi korporasi telah mendapat PKKPRL, maka ketentuan pidana dalam Pasal 75 UU No. 27 Tahun 2007 yang diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 dan terakhir diubah dalam Omnibus Law tidak dapat diberlakukan. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh KKP tersebut tidak menimbulkan efek jera terhadap perusahaan yang merusak wilayah pesisir dan laut.
“Kiara melihat ketidakseriusan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melindungi ekosistem penting maupun esensial yang ada di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Bahkan untuk menindak perusahaan perusak lingkungan, yang melakukan privatisasi laut dan pulau seperti yang terjadi pada pemagaran laut di Kabupaten Tangerang saja KKP tidak mampu,” ujarnya.
Ini, imbuh Susan, menjadi bukti kepada seluruh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini tidak kompeten dalam menindak perusak laut dan tidak kompeten dalam melindungi sosial ekologi di wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Susan berpendapat, momentum ini seharusnya menjadi penting bagi presiden untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan dan KKP.
Sehingga ada perubahan nyata dan konkret di tubuh KKP itu sendiri, dan tidak lagi mengeluarkan kebijakan seperti ekspor benih benur lobster, pengerukan pasir laut dengan dalih pengelolaan sedimentasi, reklamasi, hingga kebijakan KKPRL yang tidak berpihak kepada kehidupan nelayan kecil dan juga keberlanjutan ekologi yang ada di pesisir, laut, dan pulau kecil di Indonesia.
“Sudah saatnya presiden memilih Menteri yang kompeten dalam mengurus kelautan dan perikanan Indonesia,” ucap Susan.
Pada 2023 dan 2024, kata Susan, warga Pulau Pari yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari (FP3) telah menyurati Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan telah pula meminta audiensi, namun hal tersebut tak pernah direspons kementerian tersebut. Sampai saat ini nelayan dan perempuan nelayan dari Pulau Pari masih belum bisa bertemu dengan pihak KKP.
Perwakilan kelompok perempuan Pulau Pari, Asmania, mengatakan bahwa perusakan lingkungan laut yang ada di Pulau Pari telah berlangsung lama. Bahkan hal ini telah lama disampaikan oleh warga Pulau Pari, tapi tidak pernah direspons oleh pihak KKP. Dia bilang, berbagai perusakan ekosistem kelautan sudah berlangsung lama di Gugusan Pulau Pari.
Perusakan dimaksud mulai dari perluasan daratan Pulau Tengah dengan cara reklamasi dan menyedot pasir laut yang ada di sekitarnya, pembangunan Pulau Biawak, hingga rencana pembangunan resort apung dan dermaga yang ada di Gugus Lempeng. Saat ini, kata Asmania, warga Pulau Pari tidak hanya berjuang melawan perampasan tanah di Pulau Pari itu sendiri, akan tetapi berbagai korporasi lain tengah merampas tanah dan laut di gugusan Pulau Pari ini.
“Tambak ikan warga jadi gagal panen, rumput laut yang tidak produktif lagi, hasil tangkapan ikan nelayan yang menurun, hingga kami tidak bisa lagi melintas dan mengakses laut di perairan Pulau Tengah dan di Pulau Biawak akibat dilarang oleh korporasi atau pengembangnya. Bahkan laut di Pulau Biawak dijadikan jembatan yang membuat kami tidak bisa melintasi laut itu,” kata Asmania.