Siti Hawa pun Dikriminalisasi Polisi di Rempang
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Rabu, 29 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Setelah kejadian serangan brutal oleh sekelompok orang tak dikenal kepada sejumlah warga yang berjaga di posko perjuangan penolakan proyek Rempang Eco City, di Kelurahan Sembulang, pertengahan Desember lalu, masyarakat Pulau Rempang kini dibikin takut oleh penetapan tersangka terhadap tiga warganya, dengan tuduhan perampasan kemerdekaan. Hal tersebut menuai kecaman dari kelompok masyarakat sipil, dan dianggap sebagai kriminalisasi.
Tim Advokasi Nasional Solidaritas untuk Rempang menjelaskan, pada 17-18 Desember 2024, terjadi penyerangan oleh pihak yang diduga kuat karyawan dan tim keamanan PT Makmur Elok Graha (MEG) terhadap tiga posko perjuangan warga Rempang. Tindak penyerangan itu mengakibatkan delapan warga mengalami luka fisik, seperti luka ringan, luka sobek di bagian kepala, luka berat, terkena anak panah, patah tangan, dan ratusan warga lainnya mengalami trauma mendalam.
Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh Tim Advokasi, awalnya warga Rempang menangkap salah seorang tim keamanan PT MEG—identitasnya diketahui berdasarkan kartu tanda pengenal—yang sedang melakukan perusakan spanduk penolakan atas Proyek Rempang Eco City. Atas penangkapan tersebut, warga kemudian menelpon polisi dan 5 orang polisi pun datang ke Posko Sembulang Hulu.
Sebelum polisi datang, beberapa orang datang untuk mengambil orang PT MEG tersebut dan mengataku sebagai prajurit dengan menunjukkan kartu anggota tentara. Namun, warga memilih tetap menahan karyawan tersebut dan menunggu polisi. Warga meminta agar polisi segera memproses tindakan perusakan yang dilakukan oleh pelaku. Namun upaya tersebut tidak digubris oleh Polsek Galang, hingga pada akhirnya pelaku tersebut malah dibawa kembali oleh tim PT MEG.
Tidak berselang lama, Tim PT MEG datang kembali dan langsung melakukan penyerangan. Tim Advokasi menyebut penyerangan tersebut dilakukan secara terukur, terlatih, dan terencana. Mulanya, tim PT MEG menyerang lampu-lampu penerangan, kemudian menyerang warga secara fisik dan menghancurkan berbagai benda dan kendaraan yang berada di sekitar lokasi. Melihat brutalitas premanisme tersebut, warga pun berlarian masuk ke dalam hutan untuk menghindari kekerasan.
Dalam tindakan penyerangan itu Polresta Barelang hanya menetapkan 2 orang tim keamanan PT MEG menjadi tersangka. Padahal menurut pengakuan salah seorang anggota tim keamanan PT MEG kepada Tempo, jumlah yang terlibat penyerangan itu ada 30 orang.
Lalu, Polresta Barelang juga menetapkan 3 warga menjadi tersangka. Ketiganya yakni Siti Hawa alias Nenek Awe (67 tahun), Sani Rio (37 tahun), dan Abu Bakar alias Pak Aceh (54 tahun) dengan tuduhan perampasan kemerdekaan sebagaimana Pasal 333 KUHP.
“Tiga warga yang ditetapkan sebagai tersangka tersebut memang berada di lokasi, namun kehadiran mereka ada sesudah pelaku perusakan (spanduk penolakan relokasi) ditangkap dan berada di posko, sehingga penetapan tersangka terhadap warga Pulau Rempang tersebut merupakan bentuk kriminalisasi mengingat ketiga warga tersebut adalah orang-orang yang terlibat aktif dalam gerakan gerakan masyarakat menolak Rempang Eco City,” kata Judianto Simanjuntak, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Senin (27/1/2025).
Judianto menjelaskan, pasca-penyerangan 17-18 Desember 2024 tersebut, pihak PT MEG melaporkan warga dengan Pasal 170 dan Pasal 333 KUHP di Polresta Barelang. Penersangkaan terhadap 3 warga ini berkaitan dengan kejadian masyarakat yang melakukan pengamanan terhadap orang dari PT MEG yang tertangkap warga sedang melakukan perusakan spanduk penolakan relokasi dan Rempang Eco City milik masyarakat (kejadian pra penyerangan).
“Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kekerasan ini sengaja dimobilisasi dengan menargetkan warga Rempang agar tersingkir secara paksa dari tempat tinggal mereka,” kata Edy Kurniawan, dari YLBHI, Sabtu (25/1/2025).
Edy juga mempertanyakan keberadaan orang PT MEG di Rempang, apakah mereka benar karyawan sungguhan atau hanyalah “preman” berkedok karyawan yang sengaja ditempatkan untuk mengintimidasi warga. Ini karena, kata Edy, hingga saat ini belum ada pekerjaan konstruksi Rempang Eco City.
“Di pihak lain, Polisi melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi premanisme mereka bahkan 'melindungi' dengan mengabaikan laporan-laporan warga. Temuan kami, Pemerintah Kecamatan Galang juga turut andil dalam kekerasan ini karena memberikan fasilitas bagi kelompok pelaku kekerasan ini,” tulisnya.
Edy menambahkan, dari rentetan peristiwa ini, PT MEG, Polisi, BP Batam dan pemerintah setempat secara bersama-sama telah melakukan kekerasan struktural, dengan sengaja melakukan mobilisasi kekuasaan, alat dan fasilitas negara untuk menyingkirkan warga Rempang dari tempat tinggal dan ruang hidupnya. Pola kekerasan seperti ini, kata Edy, adalah bentuk pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan.
Teo Reffelsen, dari Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menganggap penetapan tersangka terhadap 3 orang masyarakat tersebut tidak bisa dilepaskan dari ambisi PT MEG, BP Batam, dan pemerintah pusat untuk segera melakukan pengusiran masyarakat adat tempatan Pulau Rempang untuk suksesi Proyek Rempang Eco City.
Selain kriminalisasi dan kekerasan, lanjut Teo, ambisi tersebut juga diduga akan melibatkan institusi pertahanan, dalam hal ini TNI. Karena, pada 13 Januari 2025, BP Batam menggelar rapat koordinasi percepatan Rempang Eco City bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama yang juga dihadiri oleh Asisten Perencanaan Komando Daerah Militer (Kodam) 1 Bukit Barisan, Kepala Zeni Kodam 1 Bukit Barisan, Komando Distrik Militer (Kodim) 0316 Batam, dan perwakilan PT MEG.
“Situasi tersebut akan menempatkan masyarakat dalam posisi kerentanan berlapis, bukan tidak mungkin menjadi objek kekerasan, seperti yang dilakukan oleh tim keamanan PT MEG beberapa waktu yang lalu, serta kekerasan Polisi pada September 2023 yang silam,” ujar Teo.
Syamsul Agus Alam, dari PPMAN berpendapat, kekerasan dan proses hukum terhadap masyarakat Pulau Rempang sampai penetapan tersangka, bukan bertujuan untuk menegakkan hukum, tetapi untuk membungkam perjuangan masyarakat Pulau Rempang dalam mempertahankan ruang hidupnya.
“Ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat Pulau Rempang. Hal ini sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap korporasi (pemodal) dengan mengorbankan rakyat. Dalam hal ini negara mengabaikan dan mengingkari kewajibannya melindungi dan menghormati hak asasi warganya sebagaimana diatur dalam konstitusi, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan berbagai instrumen hukum lainnya,” katanya.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, menilai sikap Pemerintah Batam yang membiarkan masyarakat Rempang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis secara berulang adalah perbuatan pelanggengan kejahatan HAM terhadap warga negara. LBH juga memandang Pemerintah Batam maupun Kecamatan Galang adalah pihak yang memfasilitasi kejahatan kemanusiaan di Rempang.
“Negara melalui aparat kepolisian harus memandang masyarakat Rempang sebagai pejuang hak asasi manusia atas lingkungan hidupnya dan harus memberikan perlindungan terhadap pejuang HAM atas lingkungan hidupnya,” kata LBH Pekanbaru.
Hal tersebut, lanjut LBH, diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang No, 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat, memandatkan bahwa orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
“Selain itu LBH Pekanbaru juga melihat kejadian keberulangan ini adalah kesalahan Negara yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya untuk memastikan jaminan ketidakberulangan kepada masyarakat Rempang yang telah menjadi dan/atau mengalami pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam poin 164 standar norma dan pengaturan tentang pembela HAM,” kata LBH Pekanbaru.
Meskipun demikian, lanjut LBH, negara sebagai wali dari sistem HAM internasional harus mengambil langkah-langkah perlindungan untuk melawan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT MEG. LBH memandang kehadiran PT MEG sebagai entitas bisnis di Pulau Rempang telah gagal dalam menghormati maupun mempromosikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam deklarasi tentang hak dan tanggung jawab sebagai perusahaan untuk mempromosikan dan melindungi HAM dan kebebasan fundamental yang diakui secara universal.
Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), kekerasan yang kembali terjadi kepada warga Rempang merupakan tindakan pengabaian yang secara terus-menerus dilakukan oleh negara, utamanya kepolisian kepada warga yang terdampak PSN. Kekerasan berupa penyerangan yang dilakukan oleh satuan pengamanan PT MEG, kata KontraS, menunjukkan bahwa proyek PSN ini telah mengabaikan bahkan merusak prinsip free prior informed consent (FPIC) sebagaimana telah digariskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
“Yang dalam hal ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan persetujuan maupun ketidaksetujuannya dalam proyek ini. Hal ini jelas berakibat pada hilangnya hak atas rasa aman sebagaimana diatur di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 45 serta Pasal 30 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999,” kata KontraS.
Selain itu, KontraS menilai penetapan tersangka kepada 3 orang warga Rempang oleh Polresta Barelang tidak dilakukan dengan profesional, proporsional, dan transparan sehingga telah dilakukan tanpa dasar yang kuat. Kepolisian tidak lagi bertindak untuk kepentingan umum melainkan hanya untuk kepentingan korporasi. Kriminalisasi yang menimpa 3 warga ini jelas tidak sesuai dengan tugas pokok Kepolisian sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 UU 2/2002.
"Kriminalisasi ini hanya digunakan sebagai upaya untuk merusak reputasi, menghalang-halangi korban untuk aktif menyuarakan penolakannya, hingga memberikan teror kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan korban,” ujar KontraS.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera melakukan pembatalan Proyek Strategis Rempang Eco City, karena terbukti mengancam keamanan dan keselamatan serta berpotensi menghilangkan identitas kultural dan historis masyarakat adat Pulau Rempang. “Mendesak Presiden RI Prabowo Subianto, segera memerintahkan semua kementerian terkait melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tempatan Pulau Rempang beserta dengan wilayah kelola dan sumber-sumber kehidupannya,” tulis Tim Advokasi.
Tim Advokasi juga meminta Kapolri segera melakukan audit, evaluasi kinerja terharap Polresta Balerang yang dalam beberapa tindakan dan kerjanya tidak mencerminkan prinsip-prinsip melindungi, mengayomi, dan melayani, khususnya kepada masyarakat adat Pulau Rempang, melainkan cenderung dan diduga berpihak kepada PT MEG.
Panglima TNI juga didesak untuk memerintahkan Inspektorat Jenderal TNI Angkatan Darat untuk melakukan audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya terkait dengan keterlibatan Komando Daerah Militer (Kodam) 1 Bukit Barisan dan satuan pelaksana di bawahnya, terkhusus Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama dan Komando Distrik Militer (Kodim) 0316 Batam dalam Proyek Rempang Eco City yang bertentangan dengan peran, tugas dan fungsi TNI, serta mengusut tuntas dugaan keterlibatan prajurit TNI yang mencoba menjemput tim keamanan PT MEG yang tertangkap tangan melakukan perusakan spanduk masyarakat.
Desakan juga ditujukan kepada Komisi Kepolisian Nasional, agar baik bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan bersama dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan LPSK melakukan pengawasan terhadap kinerja Polresta Barelang, serta meminta Polresta Barelang segera menghentikan proses hukum terhadap 3 masyarakat Rempang dengan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dan memberikan perlindungan serta pemulihan yang efektif bagi masyarakat adat Rempang.
“Kapolri berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN RI, segera memerintahkan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk memastikan PT MEG meninggalkan Pulau Rempang karena diduga belum memiliki Hak Pengelolaan, sehingga Masyarakat dapat menjalani aktivitas dengan aman dan damai,” kata Tim Advokasi.