100 Hari Tak Jadi Apa-apa di Rawa Tripa
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Ekosistem
Jumat, 31 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Seratus hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tak terlihat menjadi apa-apa di Rawa Tripa, Aceh. Padahal masa ini merupakan momen krusial untuk membuktikan komitmen mereka, termasuk dalam supremasi hukum kasus lingkungan hidup, di wilayah yang dirusak oleh setidaknya dua korporasi sawit besar. Demikian menurut kelompok masyarakat sipil Aceh, Apel Green.
Rahmad Syukur dari Apel Green Aceh mengatakan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan semakin melemah akibat ketidaktegasan dalam menindak perusahaan-perusahaan besar yang terbukti merusak lingkungan. Oleh karena itu, pemerintahan baru diharapkan mampu mengambil langkah tegas untuk menunjukkan bahwa keadilan tidak bisa dikompromikan, terutama dalam kasus perusakan ekosistem seperti yang terjadi di Rawa Tripa, Aceh.
“Salah satu contoh nyata dari masalah ini adalah kasus PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur II (SPS II), dua perusahaan yang terbukti secara hukum bertanggung jawab atas kebakaran lahan gambut di Rawa Tripa,” katanya, Rabu (29/1/2025).
Syukur menjelaskan, pada 2014, Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan PT Kallista Alam bersalah karena dengan sengaja membakar lebih dari 1.000 hektare lahan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Putusan ini mengharuskan perusahaan membayar pemulihan lingkungan senilai Rp251,7 miliar serta denda keterlambatan tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5 juta per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara.
Kasus serupa juga menjerat PT SPS II, yang pada 2018 dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung untuk memulihkan 1.200 hektare lahan gambut dengan dana sebesar Rp302,15 miliar. Serta membayar ganti rugi materiil rekening kas Negara sebesar Rp136,86 miliar. Meski telah ada keputusan hukum yang mengikat, implementasi dari putusan ini masih menemui banyak hambatan, sehingga pemulihan lingkungan yang dijanjikan belum terealisasi secara optimal.
“Masyarakat kini menunggu bagaimana sikap pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menegakkan keadilan bagi lingkungan. Jika pemerintah benar-benar serius dalam membangun kepercayaan publik, maka salah satu langkah paling konkret yang bisa dilakukan adalah memastikan eksekusi putusan pengadilan terhadap kedua perusahaan tersebut berjalan tanpa hambatan,” katanya.
Syukur bilang, tindakan tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan bukan hanya akan memberikan efek jera, tetapi juga menegaskan bahwa hukum tidak bisa dinegosiasikan demi kepentingan bisnis. Dengan adanya kepastian hukum, diharapkan tidak ada lagi perusahaan yang merasa kebal hukum dan bebas mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampaknya bagi ekosistem dan masyarakat sekitar.
Namun, kata Syukur, penegakan hukum yang tegas saja tidak cukup. Pemerintah juga perlu memperkuat sistem pengawasan dan pencegahan agar perusakan lingkungan bisa dicegah sebelum menjadi masalah yang lebih besar. Perizinan usaha yang berkaitan dengan lahan gambut dan kawasan hutan harus diperketat agar tidak ada celah bagi perusahaan untuk melakukan praktik ilegal.
“Selain itu, transparansi dalam proses peradilan dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan lingkungan menjadi faktor penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan kelestarian alam,” ucap Syukur.
Menurut Syukur, pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kesempatan besar untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya berkomitmen pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan. Dengan menegakkan hukum secara konsisten dan memperbaiki mekanisme pengawasan, pemerintah bisa membangun kembali kepercayaan publik yang selama ini tergerus.
“Masyarakat menanti langkah konkret sebagai sinyal bahwa hukum benar-benar ditegakkan, tidak hanya untuk individu kecil, tetapi juga terhadap korporasi besar yang selama ini sering lolos dari jeratan hukum. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, maka pemerintahan baru dapat menjadi era baru bagi keadilan dan perlindungan lingkungan di Indonesia,” kata Syukur.