Merayakan Hari-hari Susah di Lahan Basah

Penulis : Aryo Bhawono

Gambut

Minggu, 02 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia di Indonesia pada hari ini, 2 Februari, berlangsung di tengah peningkatan ancaman terhadap gambut. Ancaman ini dipicu oleh pidato Presiden Prabowo soal perluasan sawit dan sebelumnya oleh UU Cipta Kerja.

Juru Kampanye Pantau Gambut, Abil Salsabila, menyebutkan Indonesia merupakan rumah dari gambut tropis terluas kedua di dunia. Namun perlindungan ekosistem lahan basah ini justru menyedihkan. 

“UU Cipta Kerja telah memberikan kemudahan para pemilik modal yang melakukan aktivitas perkebunan sawit secara ilegal melalui pemutihan pada lahan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) seluas 407.267 hektare,” kata dia melalui telepon.

Buruknya perlakuan terhadap ekosistem gambut itu telah meningkatkan kerentanan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Awal 2023 lalu, Pantau Gambut menemukan bahwa dari total 24,2 juta ha luas KHG di Indonesia, sekitar 16,4 juta hektare atau 65,9 persen rentan terbakar. Belum lagi infrastruktur restorasi gambut yang banyak tidak sesuai standar.

Kawasan Hutan Produksi bergambut di Kotawaringin Barat diketahui mengalami kerusakan. Diduga rusak akibat penguasaan lahan untuk pembangunan perkebunan sawit./Foto: Dok. Save Our Borneo

Ia menyebutkan perayaan hari Lahan Basah Sedunia di Indonesia menjadi ajang seremonial semata. Pemerintah Indonesia memandang keberhasilan restorasi hanya dilihat dari angka pelaksanaan proyek, bukan dari impak kepada masyarakat yang terdampak.

“Belum lagi, status otoritas Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang hingga kini juga masih menjadi tanda tanya,” ucap dia. 

Ancaman kian meningkat ketika Presiden Prabowo Subianto pada akhir 2024 lalu menyebutkan perkebunan sawit tak perlu khawatir dengan deforestasi. Menurut Abil, pernyataan ini akan memperburuk perlakuan terhadap lahan gambut. 

Data bertajuk Kerentanan Karhutla 2023 yang disusun Pantau Gambut menunjukkan, 54 persen dari total 3,8 juta hektare area KHG dengan kerentanan kebakaran tinggi (high risk) berada pada wilayah konsesi kebun sawit dan kebun kayu, beserta area buffer-nya. Konsesi di Pulau Kalimantan mendominasi,  dengan 8 dari 10 perusahaan yang memiliki tingkat kerentanan tertinggi berada di pulau ini.

Pernyataan Presiden Prabowo, kata Abil, "bisa meningkatkan kerentanan ini karena perluasan kebun sawit, terutama konsesi, kian banyak menyasar kawasan gambut."

“Pernyataan Presiden Prabowo untuk tidak usah takut deforestasi karena sawit yang akan ditanam bersamaan dengan alih fungsi hutan seluas 20 juta hektar jelas merupakan disinformasi kepada masyarakat luas. Pernyataan tersebut mengabaikan ekosistem gambut yang penting dibaca sebagai sebuah lanskap kesatuan hidrologis yang utuh, di mana antara apa yang berada di permukaan tanah tidak dapat dipisahkan dengan siklus hidrologis yang terjadi di bawahnya,” kata dia. 

Penanaman sawit skala besar bukan hanya soal perubahan jenis pohon, tetapi berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem secara keseluruhan. Menurutnya, Prabowo tidak melihat bahwa penanaman sawit di lahan gambut memerlukan pengeringan ekosistem gambut yang seharusnya selalu basah lewat kanalisasi skala besar. Karakteristik tanah gambut yang asam juga mendorong perusahaan membakar lahan guna meningkatkan pH tanah tanpa mengeluarkan ongkos besar dalam proses produksinya. 

Hal ini tidak hanya berlaku pada ekosistem gambut tetapi juga hutan primer secara umum. Corak sawit sebagai sebuah komoditas akan menyingkirkan biodiversitas endemik. Implikasinya tidak hanya pada perubahan rantai makanan di dalam hutan, tetapi juga pada sumber penghidupan masyarakat di sekitar hutan yang di kemudian hari sering menjadi akar konflik.

Ekosistem gambut yang semestinya menjadi lahan basah yang bisa memberikan kesejahteraan bagi sebanyak mungkin mahluk hidup pun akhirnya jadi ‘lahan basah’ bagi sebagian kecil golongan. Ekosistem gambut masih dianggap sebagai lahan mati yang bisa dieksploitasi, ketimbang harus direstorasi. Perayaan Hari Lahan Basah Sedunia yang diperingati setiap tanggal 2 Februari, ujarnya,  belakangan justru menjelma menjadi sebuah jargon tanpa makna.

Kondisi gambut di Indonesia ini menggenapi penyusutan lahan basah secara global. Global Wetland Outlook menyebutkan bahwa kehilangan lahan basah terjadi tiga kali lebih cepat daripada hutan alam. Sementara, 64 persen lahan basah dunia telah hilang sejak awal abad ke-20 menurut Ramsar Convention on Wetlands.

Pantau Gambut merekomendasikan pemerintah, selaku otoritas negara, melakukan langkah preventif sebagai upaya penegakan hukum di ekosistem gambut. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan menegakkan kesesuaian standar kanal dan TMAT sebagaimana diatur dalam Pasal 23 PP 56/2017 jo. PP No. 71/2014.

Mereka juga harus mencabut kebijakan destruktif terhadap ekosistem gambut, seperti pemutihan sawit, PSN, perubahan pasal-pasal UU PPLH lewat UU Cipta Kerja, dan masih banyak lagi. 

Selain itu korporasi memiliki tanggung jawab mutlak atas wilayah konsesinya dan harus segera menangani kerusakan ekosistem gambut sesuai standar yang ditentukan. 

“Ini mencakup pemulihan ekosistem secara menyeluruh,” ujarnya.