Kendor Komitmen Iklim Setelah AS Keluar Dari Perjanjian Paris
Penulis : Aryo Bahwono
Krisis Iklim
Sabtu, 01 Februari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dua pejabat Indonesia, Menteri energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dan Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo, menyebutkan dilema keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) pasca keluarnya AS. Namun kelompok masyarakat sipil beranggapan sikap ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah atas komitmen keadilan iklim dan ketidakpedulian terhadap rakyat terdampak krisis iklim.
“Saya jujur mengatakan, sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti gendang (Paris Agreement) ini,” ucap Bahlil dalam acara bertajuk, “Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru”, di Jakarta pada Kamis (30/1/2025).
Bahlil mengaku dilema ini dipicu karena keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement. Konsensus dari Paris Agreement tersebut, hampir semua lembaga keuangan dunia mau membiayai proyek energi hijau. Bahlil mengatakan, mau tidak mau Indonesia mengikuti konsensus bersama tersebut. Akan tetapi, Amerika Serikat sebagai inisiator dari Paris Agreement justru menyatakan mundur setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden.
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diadopsi pada 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Tujuannya adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah dua derajat Celsius di atas tingkat pra industri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celsius.
Keluarnya AS dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) dapat berdampak pada program pendanaan, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP).
Sementara itu Hashim menganggap Paris Agreement tak adil bagi Indonesia.
Ia membandingkan emisi karbon antara Amerika Serikat dengan Indonesia. AS menghasilkan kurang lebih 13 ton karbon per kapita per tahun. Sedangkan, Indonesia menghasilkan 3 ton karbon per kapita per tahun.
Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran di AS yang lebih besar dibanding Indonesia, bahkan salah satu negara pencemar terbesar di dunia.
“Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Paris Agreement)?” ujar Hashim dalam acara bertajuk “ESG Sustainable Forum 2025” yang dipantau secara daring di Jakarta, Jumat.
Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai pernyataan Bahlil dan Hashim memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah atas komitmen keadilan iklim dan ketidakpedulian atas penderitaan rakyat yang terdampak krisis iklim.
Deputy Director MADANI Berkelanjutan, Giorgio B. Indrarto, menyebutkan perjuangan menghasilkan kesepakatan Perjanjian Paris yang mengikat antar negara-negara pihak di dunia, termasuk Indonesia, adalah perjuangan untuk menuntut tanggung jawab negara industri atas krisis iklim yang terjadi dan menyelamatkan hak masyarakat negara-negara miskin dan berkembang. Pernyataan Bahlil Lahadalia yang menyebutkan AS adalah “motor penggerak” dari Perjanjian Paris adalah pandangan yang keliru.
“Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpedulian pemerintah terhadap urgensi krisis iklim dan enggannya untuk memprioritaskan agenda keadilan iklim,” kata dia.
Pernyataan untuk tidak serius menjalankan komitmen iklim dalam Persetujuan Paris juga merupakan bentuk pelanggaran kewajiban hukum oleh Pemerintah. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No 16 Tahun 2016 Tentang pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim).
Selain itu terdapat aturan turunan melalui Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) juga secara tegas memberikan kewajiban hukum bagi Pemerintah untuk mengatasi masalah krisis iklim.
Pengabaian terhadap komitmen ini, dengan alasan keluarnya negara lain, tidak hanya mengabaikan penderitaan rakyat akibat krisis iklim, tetapi juga penyimpangan dari prinsip tanggung jawab bersama yang tertera dalam Perjanjian Paris, terutama tanggung jawab negara industri.
Indira Hapsari dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), menyebutkan pengabaian Komitmen Perjanjian Paris menunjukkan pengabaian keselamatan rakyat, terutama kelompok rentan dari ancaman krisis iklim yang kian tak terhindarkan. Padahal, Badan Perubahan Iklim Eropa (Copernicus) mencatat kenaikan suhu bumi untuk pertama kalinya telah melampaui 1,5 derajat C. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sendiri mencatat pada tahun 2023-2024 telah terjadi 6.827 bencana terkait cuaca dan iklim yang berdampak pada lebih dari 13 juta orang.
Penarikan diri Indonesia dari Perjanjian Paris akan berakibat fatal, yakni hilangnya akses pendanaan iklim internasional, tergerusnya kepercayaan global terhadap komitmen pembangunan berkelanjutan, serta mengancam upaya advokasi lingkungan masyarakat sipil.
“Melemahnya komitmen iklim juga mencerminkan pengabaian terhadap jutaan masyarakat rentan yang bergantung pada alam dan memperparah kemiskinan energi,” kata dia.
ARUKI sendiri merupakan aliansi organisasi masyarakat sipil yang dibentuk pada 20 November 2023, yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil.