Lebih Separuh Deforestasi Indonesia 2024 Terjadi di Konsesi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Senin, 03 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Langkah kaki Riszki Is Hardianto, peneliti satwa Auriga Nusantara, melambat sebelum akhirnya terhenti di tepi hamparan luas lahan gundul, di bentang alam Mendawak, di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat (Kalbar), pada 13 Desember 2024 lalu. Apa yang ia lihat di dalam konsesi PT Mayawana Persada itu membuktikan bahwa pembabatan hutan alam yang diperlihatkan citra satelit ternyata benar terjadi.

Beberapa bulan sebelumnya kawasan ini masih berupa hutan alam yang lebat nan hijau. Di sini hidup orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) di Kalbar.

“Kalau menurut citra satelit, deforestasi ini (di konsesi Mayawana Persada) sudah mulai terlihat terjadi sejak November 2024,” kata Riszki, Jumat (31/1/2025).

Sejak awal hingga akhir 2024, Riszki dan beberapa peneliti Auriga Nusantara melakukan pemeriksaan ke lokasi-lokasi yang terindikasi mengalami deforestasi di sejumlah daerah. Tinjauan lapangan tersebut mereka lakukan untuk memvalidasi dugaan penebangan hutan alam yang terpantau citra satelit.

Tampak bekas hutan alam yang ditebang di dalam konsesi PT Mayawana Persada. Foto diambil pada Desember 2024. Sumber: Auriga Nusantara.

Dari serangkaian analisis data dan validasi lapangan tersebut, Auriga Nusantara mendapatkan angka luas deforestasi atau kehilangan hutan alam di Indonesia, pada 2024, sebesar 261.575 hektare. Angka deforestasi Indonesia 2024 ini dipublikasikan Auriga dalam sebuah laporan kajian berjudul Status Deforestasi Indonesia (Stadi) 2024, pada 31 Januari 2025.

Dari angka deforestasi tersebut, sekitar 58,7 persen atau kurang lebih 153.498 hektare, berada di areal izin usaha atau konsesi perusahaan. Bila didetailkan, seluas 36.068 hektare berada di konsesi logging (HPH/PBPH HHK-HA), 41.332 hektare di konsesi kebun kayu (HTI/PBPH HHK-HT), 38.615 hektare di konsesi tambang, dan sisanya sekitar 37.483 hektare di konsesi sawit.

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, mengatakan sistem dan hukum Indonesia pada dasarnya tidak melarang deforestasi. Sepanjang pemerintah memberikan izin, maka pemegang izin dapat melakukan deforestasi. Apalagi sejak Omnibus Law berlaku, proyek pemerintah juga dapat leluasa membabat hutan alam.

Tapi, imbuh Timber, para pemegang izin—biasanya adalah korporasi atau perusahaan—tidak boleh sesukanya melakukan deforestasi tanpa mendapatkan persetujuan rencana kerja tahunan (RKT) untuk konsesi kehutanan, atau rencana kerja anggaran dan biaya (RKAB) untuk konsesi tambang, dan lain sebagainya. Yang menjadi masalah, pemerintah juga tidak pernah merilis RKT perusahaan kehutanan, RKAB perusahaan pertambangan, maupun peta detail pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan sawit.

“Oleh karena itu, pembabatan hutan alam dalam izin konversi (kebun kayu, sawit, dan pertambangan) sangat terbuka dilakukan secara legal oleh pemilik/pengelola konsesi tersebut,” kata Timer.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, hanya 3 persen deforestasi 2024 yang terjadi di kawasan konservasi, sementara 5 persen terjadi di hutan lindung, 49 persen di hutan produksi, dan 43 persen di luar kawasan hutan atau areal penggunaan lain (APL). Lebih dalam, sebagian besar deforestasi di hutan lindung dan hutan produksi terjadi di areal yang sudah dibebani izin usaha, baik sebagai pemanfaatan atau pengusahaan hutan, maupun program pemerintah, seperti proyek strategis nasional (PSN).

“Artinya, 97 persen deforestasi yang terjadi pada 2024 adalah dapat berupa deforestasi legal,” katanya.

Kebun kayu penyumbang terbesar deforestasi

Menurut Timer, pengembangan kebun kayu telah menjadi salah satu penyebab utama deforestasi terbesar di Indonesia. Belakangan pengembangan kebun kayu itu cukup masif terjadi di Kalimantan, dan menjadi penyumbang terbesar deforestasi di pulau tersebut.

Patut diketahui bahwa Kalimantan merupakan pulau dengan deforestasi terluas di Indonesia pada 2024, yang mencapai 129.896 hektare atau hampir separuh dari total deforestasi Indonesia. Dari angka tersebut, 76.911 hektare di antaranya terjadi di areal yang sudah dibebani izin usaha, yakni sekitar 29.898 hektare oleh konsesi kebun kayu, 23.583 hektare oleh konsesi tambang, dan 23.430 hektare oleh konsesi sawit.

“Situasi ini berlanjut pada 2024, bahkan hampir seluruhnya di konsesi yang sama atau memiliki keterhubungan kepemilikan. Sebagai misal, deforestasi masif di konsesi kebun kayu PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat meluas signifikan pada 2024,” ujar Timer.

Demikian juga di konsesi PT Industrial Forest Plantation di Kalimantan Tengah. Meski koalisi masyarakat sipil telah mengungkap deforestasi di kedua konsesi ini pada tahun sebelumnya, yakni laporan Babat Kalimantan (2023) mengenai deforestasi di PT Industrial Forest Plantation dan Pembalak Anonim (Maret 2024) mengenai deforestasi di PT Mayawana Persada, namun deforestasi di kedua konsesi tetap terjadi pada 2024.

Namun, masih kata Timer, terdapat juga kebun kayu yang bermula pada 2024, sebagaimana terjadi pada 3 konsesi bersebelahan, PT Meranti Laksana, PT Meranti Lestari, dan PT Lahan Cakrawala, di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat yang bermula pada paruh kedua 2024. Periset Auriga Nusantara mendokumentasikan deforestasi pada November 2024, dan dalam waktu dekat akan dipublikasi pada laporan tersendiri.

“Deforestasi oleh pembangunan kebun kayu tampaknya akan berlanjut di Kalimantan pada tahun mendatang. Penyebabnya, diterbitkannya izin oleh pemerintah untuk pendirian pabrik pulp raksasa PT Phoenix Resources Internasional di Tarakan, Kalimantan Utara,” katanya.

Padahal, lanjutnya, tidak ada kejelasan, setidaknya yang disampaikan secara terbuka ke publik, sumber bahan baku pabrik ini. Yang paling mengkhawatirkan, menurut Timer, terdapat indikasi keterhubungan kepemilikan/kepengurusan/pengelolaan PT Phoenix Resources International dengan PT Mayawana Persada, PT Industrial Forest Plantation, PT Meranti Laksana, PT Meranti Lestari, dan PT Lahan Cakrawala.

Timer menjelaskan, pembangunan kebun kayu sebagai biang deforestasi 2024 tidak hanya oleh industri pulp, tapi juga oleh kebun kayu energi atau biomassa. Hasil analisis menemukan sejumlah kebun kayu energi membabat hutan alam, yakni PT Inti Global Laksana, PT Banyan Tumbuh Lestari, dan PT Biomasa Jaya Abadi, ketiganya bersebelahan di Gorontalo, PT Malinau Hijau Lestari di Kalimantan Utara, PT Jaya Bumi Paser di Kalimantan Timur, dan PT Babugus Wahana Lestari di Kalimantan Tengah.

Tampak dari ketinggian pembukaan hutan alam di PT Babugus Wahana Lestari di Desa Pujon, Kecamatan Kapuas, Kalimantan Tengah. Foto diambil pada Agustus 2024. Sumber: Auriga Nusantara.

Auriga, lanjut Timer, memprediksi deforestasi oleh pembangunan kebun kayu biomassa ini tampaknya akan tetap berlanjut pada tahun mendatang, mengingat tingginya permintaan pasar, terutama Jepang dan Korea Selatan. Alasan lainnya, kebijakan kelistrikan nasional juga membuka ruang penggunaan biomassa berbasis kayu sebagai bahan bakar listrik hingga kisaran 5-10 persen pada 2030, dan ditambah meningkatnya konsesi kebun kayu biomassa yang diterbitkan Kementerian Kehutanan.

“Peringatan akan tingginya deforestasi oleh pembangunan kebun kayu biomassa ini telah disuarakan koalisi masyarakat sipil melalui laporan Unheeded Warnings: Forest Biomass Threats to Tropical Forests in Indonesia and Southeast Asia,” ucap Timer.

Sawit masih memangsa hutan alam

Sektor lainnya yang masih menjadi ancaman hutan alam di Indonesia adalah kebun sawit. Pada 2024, menurut analisis Auriga Nusantara, luas deforestasi di areal perkebunan sawit mencatatkan angka sebesar sekitar 37.483 hektare atau sekitar 14 persen dari keseluruhan luas deforestasi Indonesia.

Deforestasi di konsesi perkebunan sawit ini agak mengkhawatirkan, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto, sempat menyebut agar menambah tanam sawit, dan menganggap bahwa deforestasi bukanlah hal yang membahayakan, saat memberikan pengarahan Musyawarah Pembangunan Nasional (Musrenbang), 30 Desember 2024.

“Presiden Prabowo seolah sedang membangun pembenaran pada ekspansi sawit yang mengkonversi hutan alam,” kata Timer.

Timer menyebut, pada 2024, deforestasi oleh kebun sawit cenderung terjadi secara besar-besaran di hampir setiap titik deforestasi sawit. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan kebun sawit ini dilakukan oleh korporasi atau ditopang oleh pemodal besar. Bukan oleh pekebun sawit rakyat—dengan luas kebun di bawah 25 hektare.

Hal ini terlihat dengan deforestasi sawit seluas 2.019 hektare di konsesi PT Borneo International Anugerah (BIA) di Kalimantan Barat, atau deforestasi seluas 1.347 hektare di konsesi PT Alam Lestari Indah di Kalimantan Tengah. Tidak hanya di konsesi sawit, deforestasi oleh kebun sawit juga ditemukan terjadi di konsesi kebun kayu PT Diamond Raya Timber di Provinsi Riau.

Bekas tebangan hutan alam di Konsesi kebun kayu milik PT Diamond Raya Timber di Riau. Foto diambil pada Desember 2024. Sumber: Auriga Nusantara.

Tiga pengancam hutan di timur Indonesia

Secara grafik deforestasi di Sulawesi mengalami penurunan signifikan, yakni seluas 17.361 hektare pada 2024 dan seluas 36.814 hektare pada tahun sebelumnya. Namun demikian, imbuh Timer, mengingat luas tutupan hutan di pulau ini yang sangat jauh di bawah Papua, Kalimantan, dan Sumatera, angka deforestasi tersebut tetap harus diperhatikan serius.

Deforestasi di Sulawesi secara berurut terjadi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Artinya hampir terjadi di seluruh Pulau Sulawesi. Padahal pulau yang seluruhnya masuk dalam wilayah Wallacea ini dikenal dengan tingkat endemisitas yang tinggi, baik flora maupun fauna, terutama burung.

“Karenanya, selain sangat potensial mengakibatkan longsor dan banjir bandang, deforestasi di pulau ini juga potensial memicu kepunahan spesies yang lebih tinggi,” katanya.

Dilihat berdasarkan komoditasnya, sambung Timer, industri nikel menjadi penyebab deforestasi terbesar di Sulawesi. Tercatat deforestasi oleh industri ini seluas 4.262 hektare, yang terjadi di 210 konsesi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.

Timer menganggap deforestasi di Provinsi Gorontalo, agak ironis. Sebab hutan alam di provinsi di bagian utara Sulawesi itu relatif kecil tapi mengalami deforestasi seluas 2.180 hektare pada 2024. Sebanyak 71 persen deforestasi ini terjadi oleh pengembangan kebun kayu energi (biomassa) oleh konsesi bersebelahan PT Inti Global Laksana dan PT Banyan Tumbuh Lestari yang memasok pabrik wood pellet PT Biomasa Jaya Abadi yang terletak di dalamnya.

“Analisis Auriga Nusantara, yang akan dirilis dalam waktu dekat, menunjukkan adanya keterhubungan kepemilikan ketiga perusahaan ini,” ujar Timer.

Tampak dari kejauhan pembabatan hutan di Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, untuk produksi serpih kayu. Foto diambil pada Mei 2024. Sumber: Auriga Nusantara.

Tidak hanya nikel, Sulawesi juga mengandung cadangan emas yang relatif tinggi. Sayangnya, potensi ini justru mengancam tutupan hutan alamnya. Deforestasi oleh aktivitas pertambangan emas teridentifikasi setidaknya seluas 181 hektare pada 2024.

Namun demikian, angka tersebut adalah yang terjadi di dalam wilayah izin usaha pertambangan, sementara aktivitas ini bahkan teridentifikasi merangsek ke berbagai kawasan konservasi, seperti Suaka Margasatwa Nanti di Gorontalo, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Timer bilang, Raja Ampat di Papua Barat Daya, yang terdiri dari gugusan 610 pulau kecil Perusakan hutan alam juga tak luput dari perusakan hutan alam. Setidaknya daratan 4 pulau kecil, yakni Pulau Gag, Pulau Waigeo, Pulau Manuram, dan Pulau Kawei, di Raja Ampat telah dijamah tambang nikel. Analisis citra satelit mengindikasikan hingga 2024 telah terjadi deforestasi akibat penambangan nikel seluas 174 hektare di ketiga pulau ini.

“Tidak hanya itu, satu izin tambang nikel baru, meski belum beroperasi, telah diterbitkan di Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Izin tambang nikel ini diterbitkan untuk PT Mulia Raymond Perkasa,” ujar Timer.

Auriga, kata Timer, memperkirakan deforestasi nikel tampaknya akan meluas di Tanah Papua, karena telah terdapat 5 izin tambang di pulau paling timur Indonesia ini. Seluruh izin ini mencakup area seluas 38.529 hektare, dengan 58 persen, atau 22.452 hektare, berupa tutupan hutan alam.

Deforestasi di kawasan konservasi

Berdasarkan analisis dan pantauan lapangan yang dilakukan Auriga Nusantara, pembabatan hutan alam ternyata juga terjadi di dalam kawasan konservasi. Sepanjang 2024 teridentifikasi 159 hektare deforestasi di habitat gajah, orangutan, dan berbagai satwa ikonik ini.

“Deforestasi dalam kawasan konservasi teridentifikasi seluas 7.704 hektare sepanjang 2024, terjadi di 37 provinsi pada berbagai kategori kawasan konservasi, yakni taman nasional, suaka margasatwa, cagar alam, taman hutan raya, taman wisata alam, taman buru,” ucap Timer.

Timer berpendapat, deforestasi dalam kawasan konservasi harus menjadi perhatian tersendiri karena telah dibentuk secara spesifik badan pengelolanya, yakni balai konservasi sumber daya alam atau unit pengelola teknis, dan secara tegas dilarang oleh setidaknya 4 undang-undang (UU), yakni UU Konservasi, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, dan UU Pemberantasan Illegal Logging.

Saat ini, lanjut Timer, perlindungan hukum terhadap hutan alam di Indonesia hanya terdapat pada hutan-hutan alam yang berada di kawasan konservasi, karena perbuatan mengkonversi tutupan dan/atau bentang alam tidak diperbolehkan dilakukan di dalamnya. Dari total 22,4 juta hektare kawasan konservasi di Indonesia, 17,3 juta hektare berupa tutupan hutan alam.

“Memang ada kebijakan moratorium izin baru di hutan primer (dan gambut). Tapi, harus digarisbawahi bahwa moratorium ini adalah bentuk kebijakan, bukan peraturan, sehingga perlindungannya tidak tetap atau permanen,” katanya.

Moratorium ini, sambung Timer, secara formal disebut Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada SK terakhir, November 2023, PIPPIB seluas 66,3 juta hektare. Analisis spasial terhadap peta ini menunjukkan hutan alam di dalamnya seluas 53,5 juta hektare. Namun begitu, seluruh kawasan konservasi dimasukkan dalam PIPPIB.

Terhadap hutan alam di luar kedua hal tersebut, lanjut Timer, tidak ada perlindungan hukum atau kebijakan sama sekali. Tak heran bila Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dengan mudahnya menyebut akan menyediakan 20 juta hektare kawasan hutan untuk cadangan pangan, energi, dan air.

Sementara, sebagaimana Koleksi 3 MapBiomas Indonesia, hutan alam di Indonesia saat ini seluas 94,9 juta hektare, yang 52,9 juta hektare di antaranya berada di area PIPPIB. Artinya, 42 juta hektare hutan alam tersebut tidak memiliki perlindungan hukum atau kebijakan.

“Bahkan, agregat 9 juta hektare di antaranya berada di dalam konsesi konversi, seperti sawit (2,3 juta hektare), tambang (3,2 juta hektare), kebun kayu (3,5 juta hektare),” ucap Timer.

Tampak dari ketinggian lahan di kawasan Suaka Margasatwa Singkil di Aceh, dirambah untuk dijadikan perkebunan sawit. Foto diambil pada Februari 2024.. Foto: Auriga Nusantara.

Menurut Timer, perlindungan hukum terhadap hutan alam idealnya dalam bentuk undang-undang. Namun, menghadirkan sebuah undang-undang bukan perkara mudah, dan kerap butuh bertahun-tahun. Peraturan di bawahnya, yakni peraturan pemerintah, pun tidak jarang memerlukan waktu lama, terutama oleh kerumitan dan kompleksitas memperoleh persetujuan lintas kementerian, sebuah prasyarat yang diperlukan oleh satu peraturan pemerintah.

Karena itu, terobosan hukum yang bisa dilakukan dalam waktu cepat adalah dalam bentuk peraturan presiden, yang kekuatannya relatif setara dengan peraturan pemerintah.

“Saatnya Presiden Prabowo Subianto menerbitkan peraturan presiden yang memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh hutan alam tersisa di Indonesia,” ujar Timer.