Walhi Jatim: Jepang Harus Stop Biayai Solusi Palsu Iklim Paiton
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Jumat, 07 Februari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Keterlibatan Jepang dalam pembiayaan dan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton, di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, mendapat kritik dari kelompok masyarakat sipil. Sebab proyek berupa co-firing dan carbon captive storage (CCS) yang melibatkan Jepang itu dianggap sebagai solusi palsu transisi energi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan, menjelaskan, Indonesia menggandeng Jepang sebagai mitra, melalui kerja sama bilateral antarnegara, serta melalui kerja sama ekonomi dengan perusahaan seperti Toshiba Energy System and Solution untuk proyek CCS, lalu Mitshubishi Heavy Industries dan Sumitomo Heavy Industries untuk project co-firing biomassa.
Sebagai catatan penting, lanjut Wahyu, bahwa Toshiba Energy Systems and Solutions, perusahaan asal Jepang, berencana untuk mengeksplorasi pemasangan peralatan CCS di pembangkit listrik tenaga termal milik anak perusahaan PLN, Nusantara Power (PLN-NP). Langkah ini dianggap sejalan dengan target Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060.
Lalu tepat pada 22 Agustus 2024, Toshiba mengumumkan telah menandatangani perjanjian awal dengan PLN-NP. Pembangkit yang menjadi target proyek ini termasuk unit Paiton No. 1 dan No.2, yang beroperasi menggunakan turbin uap dan generator yang dipasok oleh Toshiba. Sejak 1981, Toshiba telah memasok 32 turbin uap dengan kapasitas gabungan sebesar 8.263 MW ke pembangkit listrik tenaga termal dan geothermal di Indonesia.
![](https://cdn.betahita.id/9/5/0/5/9505_840x576.jpeg)
“Saat ini, sembilan turbin uap dengan total kapasitas 1.845 MW masih beroperasi di empat pembangkit listrik termal milik PLN-NP. Toshiba berupaya meminimalkan konsumsi energi yang diperlukan untuk teknologi CCS, sekaligus mengoptimalkan efisiensi pembangkitan di pembangkit listrik yang ada,” kata Eka, Rabu (5/2/2025).
Selanjutnya, sambung Eka, Mitsubishi Heavy Industries, Ltd. (MHI) dan PT PLN Nusantara Power, sub-holding dari penyedia listrik milik negara PT PLN (Persero), telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) yang menandai langkah penting dalam upaya untuk memulai tiga studi teknis terkait pembakaran bersama bahan bakar yang lebih rendah karbon. Kerja sama ini akan dilaksanakan di pembangkit listrik yang dimiliki dan dioperasikan oleh Nusantara Power, dengan dukungan dari Mitsubishi Power, sebuah anak perusahaan dari MHI yang fokus pada pengembangan solusi energi.
Lebih detail, pada konteks kerja sama ini, PLN Nusantara Power dan MHI berkomitmen untuk berkolaborasi dalam penelitian dan pengembangan co-firing di PLTU Paiton. Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk meningkatkan persentase co-firing di PLTU Paiton dari 30-50% menjadi 100%. Co-firing adalah proses pencampuran biomassa dengan batu bara sebagai bahan bakar, yang dianggap lebih praktis dan ekonomis dibandingkan dengan memensiunkan pembangkit listrik lebih awal.
Eka melanjutkan, kerja sama dengan Sumitomo Heavy Industries (SHI) telah berlangsung sejak Desember 2019 dan meliputi kajian pada mesin pembangkit boiler tipe CFB di PLTU Paiton. Kajian ini bertujuan untuk mempersiapkan tahap awal co-firing pada persentase 30-50%, dengan harapan dapat secara bertahap mencapai 100% firing biomassa jika memungkinkan.
“Sementara itu, kerja sama dengan MHI, yang ditandatangani pada 28 Februari 2023, lebih berfokus pada mesin pembangkit PLTU Paiton dengan jenis boiler PC yang menggunakan biomassa sawdust dan briket,” ujar Eka.
Kesepakatan ini, sambung Eka, kemudian diperkuat kala Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang (METI) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia menandatangani perjanjian pada 21 Agustus 2024 untuk membentuk kerangka kerja sama institusional. Kerangka ini bertujuan memfasilitasi dan memperkuat kolaborasi dalam mendorong dekarbonisasi sektor energi.
Sebelumnya, telah ada penandatanganan MoU yang diumumkan pada Forum Investasi Publik-Swasta Asia Zero Emission Community (AZEC) yang diselenggarakan pada 3 Maret 2023 di Tokyo, Jepang. Forum ini dihadiri oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) dan menjadi platform untuk mengusulkan berbagai inisiatif dekarbonisasi di pasar-pasar di seluruh Asia, yang didukung oleh teknologi dan keahlian perusahaan-perusahaan Jepang.
Eka menjelaskan, nota kesepahaman ini merupakan kelanjutan dari perjanjian serupa yang telah ditandatangani dengan PT PLN Indonesia Power pada November 2022. Kerja sama ini diharapkan dapat membantu dalam pengembangan solusi yang mempercepat dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, yang merupakan langkah krusial dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Serta akan mendorong studi yang akan dilakukan berfokus pada PLTU Paiton, yang terletak di Jawa dan juga dimiliki oleh Nusantara Power.
“Studi ini akan mengevaluasi aspek-aspek teknis terkait kelayakan penggunaan biomassa sebagai alternatif sumber energi. Biomassa, yang dianggap lebih ramah lingkungan, diharapkan dapat mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil,” kata Eka.
Eka menyebut, dengan masuknya investasi Jepang untuk mendukung solusi palsu dari CCS sampai co-firing justru akan semakin menghambat transisi energi di Indonesia, terutama rencana pemensiunan PLTU Paiton yang sebelumnya sudah dibahas oleh pemerintah dan direncanakan akan dilakukan secara bertahap dengan target 2030.
Dengan adanya CCS dan co-firing ini, Eka khawatir, pemensiunan bakal ditunda, serta memperpanjang umur PLTU batu bara yang sudah seharusnya berhenti karena terlalu lama menimbulkan dampak lingkungan dan sosial di sekitarnya. Serta menyimpan problem lanjutan, yakni semakin meningkatnya emisi, alih-alih menurunkan emisi dari “dekarbonisasi”.
“Penjelasannya yaitu, meski teknologi CCS dan co-firing bertujuan mengurangi emisi karbon, keduanya memiliki potensi dampak negatif yang signifikan. CCS membutuhkan biaya dan energi tinggi untuk instalasi dan operasi, yang dapat menurunkan efisiensi pembangkit listrik sekaligus meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil,” ujar Eka.
Selain itu, imbuhnya, risiko kebocoran karbon dan dampak ekologis pada lokasi penyimpanan menjadi perhatian serius, di samping potensi memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil. Sementara itu, co-firing dapat menghasilkan emisi polutan lain seperti nitrogen oksida (NOx) dan sulfur oksida (SOx), serta menurunkan efisiensi pembakaran akibat perbedaan sifat termal antara biomassa dan batu bara.
Penggunaan biomassa juga berisiko menyebabkan deforestasi, konflik lahan, dan peningkatan emisi dari transportasi jarak jauh, sementara biomassa dari tanaman pangan dapat mengganggu ketahanan pangan dan meningkatkan harga komoditas.
Co-firing sendiri telah diuji coba di PLTU Paiton, menggunakan serbuk kayu (sawdust) dan briket sebagai bahan baku biomassa yang rencananya dipatok minimal 325,500 ton dalam satu tahun. Klaim PLN yang patut diuji yakni, Paiton Unit 1 memerlukan sekitar 10.000 ton batu bara per hari, sementara Unit 2 membutuhkan 8.000 ton. Dengan penggunaan biomassa, PLTU Paiton mengurangi konsumsi batu bara setidaknya sebesar 325.500 ton per tahun, menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 471.500 ton CO2.
“Selain Unit 1 dan 2, PLTU Paiton juga memiliki Unit 9 yang mengimplementasikan co-firing. Total kapasitas terpasang di kompleks PLTU Paiton adalah 4.700 MW, dengan PLN menyumbang 1460 MW untuk sistem jaringan tegangan tinggi Jawa, Madura, dan Bali (Jamali),” ujar Eka.
Untuk bahan baku biomassa, lanjut Eka, PLN bekerja sama dengan PT Raja Muda Gemilang, sebuah perusahaan lokal di Probolinggo dan Situbondo, serta melibatkan masyarakat sekitar dalam penyediaan biomassa, mereka bekerja sama dengan industri kayu lokal di Banyulugur, Situbondo untuk menyediakan sekitar 5% co-firing biomassa di PLTU Paiton.
Perhutani, lanjut Eka, juga sedang mempersiapkan bahan baku berupa wood pellet untuk program uji coba co-firing yang menggabungkan suplai batu bara dan biomassa di PLTU Paiton. Merujuk statement Perhutani tentang hutan tanaman energi di Bojonegoro, Mojokerto, Jember, dan Probolinggo, menurut mereka memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, dengan jenis tanaman seperti Kaliandra Merah, Akasia dan Lamtoro Gung yang dapat diproses menjadi bahan bakar biomassa berbentuk wood pellet untuk pembangkit listrik.
“Kami menemukan indikasi pengembangan hutan tanaman energi melalui kemitraan dengan masyarakat. Di Probolinggo, Perhutani dan Paiton Energy telah mendorong kerja sama melalui CSR untuk beberapa KUPS atau Kelompok Usaha Perhutanan Sosial dengan melibatkan total lahan perhutanan sosial seluas 750 hektare,” katanya.
“Ada dugaan bahwa kerja sama tersebut dapat mengarah ke hutan tanaman energi. Selain di Probolinggo, kami juga menemukan ada potensi kerja sama swasta dengan KUPS di Mojokerto untuk hutan tanaman energi terutama bisnis wood pellet,” imbuhnya.
Catatan untuk Pemerintah Jepang
Eka menjelaskan, PLTU Paiton, yang telah beroperasi selama puluhan tahun, termasuk salah satu pembangkit listrik yang sudah tua dan mendesak untuk dipensiunkan karena sejak awal keberadaannya telah menimbulkan berbagai persoalan serius di sektor lingkungan, sosial, dan kesehatan.
Di sisi hulu, eksploitasi batu bara untuk kebutuhan PLTU telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, memaksa masyarakat lokal kehilangan tanah dan sumber penghidupan, serta meninggalkan lubang tambang berbahaya yang hingga kini telah merenggut lebih dari 50 korban jiwa, mayoritas anak-anak. Lubang-lubang ini tidak hanya menjadi ancaman fisik tetapi juga mencemari lingkungan sekitar, seperti tanah dan air.
Di laut, dampak lingkungan dari operasional PLTU Paiton sangat terasa. Ekosistem pantai mengalami kerusakan parah, termasuk hilangnya terumbu karang yang menjadi habitat penting bagi ikan. Akibatnya, populasi ikan seperti tongkol yang biasa ditangkap nelayan semakin menurun. Para nelayan terpaksa melaut lebih jauh untuk mencari ikan, yang meningkatkan risiko keselamatan mereka di tengah laut, menambah biaya bahan bakar, tetapi hasil tangkapan tetap minim.
Hal ini menyebabkan banyak nelayan lokal akhirnya berhenti melaut dan kehilangan mata pencaharian. Di sisi lain, abu batu bara yang dihasilkan oleh PLTU juga merusak tanaman pangan seperti jagung dan mengancam komoditas lokal seperti tembakau.
“Pohon kelapa banyak yang mati, dan bahkan serangga seperti kumbang, yang berperan penting dalam ekosistem, mulai menghilang dari wilayah tersebut,” kata Eka.
Eka bilang, dampak yang ditimbulkan PLTU ini juga sangat dirasakan dalam aspek kesehatan masyarakat. Emisi yang dihasilkan telah meningkatkan kasus penyakit pernapasan, terutama ISPA, dengan angka kejadian mencapai 100 kasus setiap tahunnya. Masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU sering mengeluhkan gangguan kesehatan akibat paparan abu dan polusi udara, termasuk sesak napas dan batuk kronis.
Selain dampak lingkungan dan kesehatan, keberadaan PLTU Paiton juga memicu persoalan sosial. Sistem ketenagakerjaan yang diterapkan cenderung merugikan pekerja, di mana banyak di antaranya hanya mendapatkan kontrak kerja jangka pendek, yaitu 3 hingga 6 bulan, dengan durasi maksimal 1 tahun. Sistem outsourcing ini sering kali melanggar hak-hak normatif pekerja, seperti pembayaran upah yang tidak sesuai atau pemutusan kerja mendadak tanpa kompensasi.
“Tidak semua warga lokal mendapatkan pekerjaan di PLTU, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antarwilayah. Ketegangan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa pekerjaan di PLTU cenderung bersifat sementara dan tidak memberikan jaminan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat sekitar,” ucap Eka.
Melihat dampak-dampak yang begitu luas dan mendalam, PLTU Paiton tidak hanya menjadi sumber energi listrik, tetapi juga sumber krisis lingkungan, kesehatan, dan sosial. Sudah seharusnya operasional PLTU dihentikan, sebagai salah komitmen untuk mengurangi kerusakan lingkungan, emisi karbon serta mempercepat transisi energi ke energi terbarukan.
Tapi, imbuh Eka, yang terjadi malah sebaliknya, pemerintah malah memunculkan skema CCS dan co-firing sebagai langkah “dekarbonisasi.” Meskipun co-firing dengan biomassa sering dipromosikan sebagai solusi transisi energi yang inovatif, implementasinya di Indonesia menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat memperlambat transisi energi yang sebenarnya dan tidak sejalan dengan komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim.
“Keterlibatan Jepang dalam proyek-proyek co-firing di Indonesia, khususnya di PLTU Paiton, menimbulkan pertanyaan serius mengenai konsistensi kebijakan energi mereka dan dampak lingkungan yang ditimbulkan,” ujar Eka.
Perlu diketahui, salah satu masalah utama yang muncul dari proyek co-firing dan CCS adalah dampak lingkungan dan sosial yang serius. Proyek biomassa sering kali memicu perubahan penggunaan lahan dan deforestasi, yang justru menambah emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengganggu ekosistem lokal.
Merujuk pada laporan Zero Carbon Analytics, sambung Eka, pembakaran biomassa kayu terutama untuk co-firing akan menghasilkan emisi karbon sekitar 30% lebih banyak daripada batu bara. Selain itu, juga dibutuhkan 44-104 tahun lebih, bagi pohon baru untuk menyerap emisi yang dilepaskan ke atmosfir saat penebangan pohon berlangsung.
“Maka dalam konteks ini, klaim bahwa co-firing dapat mengurangi emisi karbon menjadi meragukan, karena dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan sering kali lebih besar daripada manfaat yang diharapkan,” kata Eka.
Sementara untuk CCS, merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Thorbjörnsson dkk, meskipun CCS dapat membatasi emisi karbon dari sebuah PLTU, tetapi berdasarkan pengujian mereka, bahwa penggunaan CCS dapat meningkatkan konsumsi batu bara sekitar 31 persen dibandingkan dengan PLTU yang tidak menggunakan CCS.
Sama halnya yang telah diungkapkan oleh Moreaux dkk dalam penelitiannya, bahwa penerapan CCS memiliki beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan. Pertama, biaya tinggi yang terkait dengan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur CCS. Kedua, risiko lingkungan seperti kebocoran CO2 dari lokasi penyimpanan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan risiko kesehatan.
Ketiga, CCS dapat menjadi distraksi dari solusi lain yang lebih berkelanjutan, seperti energi terbarukan. Keempat, efektivitas CCS dalam menyerap emisi CO2 global masih terbatas. Terakhir, kekhawatiran terkait kerusakan lingkungan dan kesehatan dari penangkapan dan penyimpanan, termasuk potensi kebocoran CO2 dari lokasi penyimpanan, harus diperhitungkan.
“Hal ini menunjukkan alih-alih mengurangi emisi, justru penggunaan CCS semakin meningkatkan emisi secara tidak langsung, melalui peningkatan konsumsi batu bara. Jika nantinya menggunakan skema co-firing, maka permintaan terhadap biomassa juga akan semakin tinggi, yang artinya emisi juga akan meningkat,” ujar Eka.
Selain itu, target pengurangan emisi yang ditetapkan untuk proyek co-firing sering kali tidak tercapai. Proyek ini sering kali dipengaruhi oleh kepentingan bisnis yang lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek daripada perlindungan lingkungan yang sejati. Ada risiko bahwa peningkatan besar-besaran dalam industri biomassa di Indonesia dapat mengarah pada peningkatan emisi dari perubahan penggunaan lahan, bertentangan dengan tujuan pengurangan emisi yang diharapkan.
Eka menjelaskan, co-firing biomassa di Indonesia, terutama di PLTU Paiton, lebih merupakan solusi sementara yang berisiko memperburuk masalah lingkungan. Meskipun menawarkan potensi pengurangan emisi, dampak negatif terhadap hutan dan komunitas lokal membuatnya bukanlah solusi yang ideal dalam transisi energi Indonesia. Dalam banyak kasus, proyek ini tidak mempertimbangkan kebutuhan dan hak masyarakat lokal, yang sering kali menjadi korban dari perubahan penggunaan lahan yang dipicu oleh industri biomassa.
Pada konteks ini Pemerintah Jepang telah mendorong solusi yang salah dalam mengurangi emisi karbon, seperti dukungannya kepada proyek co-firing biomassa atau amonia pada PLTU batu bara serta penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Langkah keliru tersebut menjadi bagian dari kebijakan Transformasi Hijau (GX) dan konsep AZEC, yang secara praktik hanya memperpanjang usia PLTU alih-alih memensiunkan fasilitas tersebut.
Selain itu, meskipun Jepang berkomitmen untuk mengakhiri pembiayaan publik bagi proyek batu bara dan bahan bakar fosil lainnya pada 2021-2022, tiga bank terbesar Jepang—MUFG, Mizuho, dan SMBC—tetap menjadi salah satu pendana utama industri batu bara termal global. Lalu, pada masa yang akan datang mereka akan mendanai proyek PLTU berbasis CCS yang dianggap tidak layak secara komersial dan berdampak setara dengan batu bara.
Oleh karena itu, imbuh Eka, Pemerintah Jepang harus mempertimbangkan kembali rencana kerja sama dan pembiayaan co-firing dan CCS di Indonesia. Karena proyek tersebut dapat dipastikan akan semakin memperpanjang derita komunitas di tapak tambang batu bara dan komunitas di lingkar PLTU, atau dalam kata lain memperpanjang beban kehidupan komunitas di Paiton jika merujuk pada PLTU Paiton.
“Padahal transisi energi secara ide muncul untuk menghentikan emisi, yang secara tidak langsung juga menghentikan perusakan ekosistem, serta mengembalikan kembali ruang hidup masyarakat, agar dapat lebih berkelanjutan,” ujarnya.
Eka menyebut PLTU seperti Paiton telah memberikan dampak buruk yang nyata terhadap, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, terutama karena bergantung pada batu bara yang merupakan sumber energi paling kotor. Usulan penerapan teknologi seperti CCS dan co-firing bukanlah solusi, melainkan solusi palsu yang hanya memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil.
“Teknologi ini tidak hanya mahal dan berisiko, tetapi juga menimbulkan masalah baru seperti peningkatan konsumsi energi, kerusakan lingkungan, dan beban tambahan bagi masyarakat lokal. Atas dasar tersebut, kami menyerukan kepada Pemerintah Jepang untuk menghentikan dukungan terhadap CCS dan co-firing di Indonesia serta beralih mendorong transisi energi yang sejati,” kata Eka.
Pemerintah Jepang, imbuh Eka, sudah seharusnya turut berperan pada pengembangan energi terbarukan yang bersih, berkelanjutan dan minim risiko. Pemerintah Jepang dapat berperan dalam mendorong akselerasi transisi energi terbarukan melalui skema hibah, bukan lagi utang, sebagai bentuk tanggung jawab sejarah, karena turut terlibat dalam proyek energi kotor di Indonesia selama ini.
“Sebagai contoh Pemerintah Jepang dapat berperan dalam upaya pemanfaatan tenaga surya, angin dan mikrohidro, yang lebih berkelanjutan, minim risiko dan dapat diterapkan dalam skala komunitas. Sekaligus mendukung Indonesia mencapai target nol emisi tanpa menambah kerugian bagi generasi mendatang,” ucap Eka