Gambut dan Mangrove adalah Kunci Emisi Asia Tenggara
Penulis : Kennial Laia
Gambut
Jumat, 07 Februari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ekosistem gambut dan mangrove menjadi kunci untuk memenuhi target pengurangan emisi bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam sebuah penelitian terbaru, para ilmuwan mengungkap lebih dari setengah emisi karbon dari penggunaan lahan di wilayah ini dapat dimitigasi melalui konservasi dan restorasi pada dua jenis lahan tersebut.
Gambut dan mangrove di Asia Tenggara menyimpan cadangan karbon yang besar. Menurut peneliti Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWater) James Cook University, Sigit Sasmito, upaya pelestarian dan restorasi dapat memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun. Angka ini setara dengan hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca nasional Malaysia pada 2023.
“Meskipun kedua ekosistem ini hanya menempati 5,4% dari luas daratan Asia Tenggara,” kata Sigit, yang juga memimpin penelitian tersebut, Kamis 6 Februari 2025.
Dalam studi tersebut, para peneliti mengamati perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 2001-2022, salah satu faktor penghasil emisi gas rumah kaca di kawasan ini. Asia Tenggara menyumbang sekitar sepertiga emisi karbon global akibat perubahan tata guna lahan, sebagian besar berasal dari hutan rawa gambut tropis dan mangrove termasuk akibat kebakaran.
![](https://cdn.betahita.id/9/5/0/6/9506_840x576.jpeg)
Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90% emisi dari sumber emisi ini. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Catur Adinugroho mengatakan, besarnya kontribusi emisi ini sejalan dengan luasan ekosistem gambut dan mangrove, di mana Indonesia memiliki luasan terbesar, diikuti Malaysia.
"Walaupun merupakan penyumbang emisi terbesar, Indonesia juga memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar melalui kegiatan konservasi dan restorasi karena negara kita memiliki 3.4 juta ha hutan mangrove dan 13.4 juta ha lahan gambut,” terang Wahyu.
Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan salah satu penulis studi Nisa Novita mengatakan, melestarikan lahan gambut dan mangrove yang masih tersisa serta merestorasi ekosistem lahan basah yang terdegradasi merupakan solusi iklim alami yang hemat biaya. Langkah ini dapat membantu mencapai target komitmen iklim dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution-NDC) oleh negara-negara di Asia Tenggara.
“Hal ini khususnya berlaku untuk Indonesia, di mana potensi mitigasi dari konservasi dan pemulihan lahan basah saja dapat melampaui target pengurangan emisi negara tersebut untuk 2030 dalam skenario mitigasi tanpa syarat,” kata Nisa.
Studi YKAN terhadap emisi gas rumah kaca jangka panjang selama beberapa tahun mengungkap, pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi karbon bersih hingga 34%.
Namun saat ini belum ada data yang terverifikasi terkait luasan yang sudah terdegradasi dan perlu segera direstorasi. “Selain dapat memberikan kontribusi besar tehadap perubahan iklim, pemulihan dan perlindungan ekosistem lahan basah juga penting untuk melindungi mata pencaharian masyarakat dan menjaga keanekaragaman hayati,” kata Nisa.
Penelitian tersebut, yang diterbitkan di jurnal Nature Communications, melibatkan peneliti dari berbagai universitas, instansi, dan lembaga nonprofit di Asia Tenggara.