Warga Wawonii Laporkan PT GKP ke Polisi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Sabtu, 08 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - PT Gema Kreasi Perdana (GKP) dituding telah melakukan aktivitas ilegal pertambangan di Desa Sukarela Jaya dan Desa Dompo-Dompo, di Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Dugaan aktivitas ilegal perusahaan tambang nikel ini dilaporkan oleh warga Wawonii ke Polda Sultra, dan prosesnya telah sampai pada pemberian keterangan, pada 5 Februari 2025.

Dalam laporan tersebut, Sarmanto, warga Wawonii yang melaporkan PT GKP, menyatakan anak usaha Harita Group itu tetap melakukan aktivitas menambang, meskipun tak mengantongi alas legal maupun sosial. Pada 7 Oktober 2024, Majelis Hakim Mahkamah Agung memenangkan warga Wawonii yang berupaya membatalkan dan mencabut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP seluas 707,10 hektare.

Selain itu, warga juga memenangi dua gugatan uji materi Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 yang mengalokasikan ruang untuk aktivitas pertambangan. Pertama, perkara nomor 57 P/HUM/2022 diputus kabul pada 22 Desember 2022 dan kedua, perkara nomor 14 P/HUM/2023 diputus kabul pada 11 Juli 2023. Dengan dikabulkannya permohonan uji materi warga oleh Majelis Hakim MA, alokasi ruang tambang yang diakomodir oleh Perda di seluruh kawasan Wawonii menjadi batal seluruhnya.

Sarmanto mengatakan, siasat culas perusahaan yang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), agar dapat menambang di Wawonii pun gagal. Dalam uji materi tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menegaskan pulau kecil bukan untuk pertambangan mineral. Pada 21 Maret 2024, Majelis Hakim MK memutus perkara tersebut dengan amar Tolak.

Dari ketinggian tampak kondisi Pulau Wawonii akibat pertambangan nikel. Foto: Jatam Nasional.

“Kami sudah memberikan bukti-bukti seperti salinan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan IPPKH PT GKP, dokumentasi aktivitas PT GKP di Pulau Wawonii dan bukti-bukti lain terkait dengan dugaan pelanggaran PT GKP,” kata Sarmanto, dalam sebuah rilis, Kamis (6/2/2025).

Perlu digarisbawahi, lanjut Sarmanto, Pulau Wawonii yang memiliki luas 715 km2 merupakan pulau kecil berdasarkan ketentuan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ketentuan perundang-undangan menyatakan wilayah dengan luas kurang dari 2.000 km2 merupakan pulau kecil. Selain itu, peraturan perundang-undangan juga menegaskan kegiatan pertambangan tidak dapat dilakukan di dalam wilayah pulau kecil.

Dengan adanya 3 putusan MA dan 1 putusan MK yang saling menguatkan tersebut, GKP dan perusahaan Harita lainnya seperti Bumi Konawe Mining (BKM) yang masih beroperasi di pulau kecil Wawonii, telah kehilangan alas legal untuk beroperasi. Penolakan dari warga yang kentara dengan berulang kali melakukan pemblokiran hingga bertarung di ruang-ruang pengadilan menunjukkan perusahaan telah kehilangan alas sosial untuk beroperasi.

Namun, Sarmanto menjelaskan, meskipun telah kehilangan seluruh legitimasi hukum dan sosial untuk melanjutkan operasi, GKP tetap terus melanjutkan aktivitas menambang. Ini menunjukkan anak usaha Harita tersebut membangkang dari hukum yang berlaku di NKRI sekaligus melakukan praktik pertambangan ilegal. Atas dasar tersebut, Sarmanto yang merupakan warga biasa dari pulau kecil Wawonii, melaporkan ihwal adanya pertambangan ilegal yang dilakukan anak usaha Harita Group.

Kongkalikong pembangkangan hukum

Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muh Jamil mengatakan, ambisi Harita Group melalui salah satu anak usahanya, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), untuk menguasai pulau kecil Wawonii membuat perusahaan kehilangan nalar sehatnya untuk mematuhi hukum yang berlaku di NKRI. Ironisnya, pemerintah daerah Sulawesi Tenggara rela membengkokkan nalarnya demi berkongsi dengan perusahaan untuk mendukung keserakahan tersebut.

“Pemda Sultra diduga sengaja membelokkan cara memaknai putusan hukum dengan memberikan pendapat sesat seolah-olah perusahaan masih memiliki legalitas untuk beroperasi,” katanya.

Dalam siaran pers yang dirilis pada Rabu, 22 Januari 2025, lanjut Ady, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Andi Azis menyatakan, GKP dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan diktum 3 dan 4 SK Menteri Kehutanan Nomor 576 Tahun 2014 terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Andi Aziz menyatakan GKP tetap dapat melakukan kegiatan pertambangan, menjual hasil tambang, dan membayar PNBP ke negara. Padahal, SK ini telah batal demi hukum dan pembatalan itu ditegaskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara kasasi nomor 403 K/TUN/TF/2024.

Dengan demikian, lanjut Jamil, pernyataan Andi Azis jelas keliru dan bertentangan dengan hukum. Kesesatan berjamaah ditunjukkan oleh pemerintah di level provinsi melalui dukungan Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Asrun Lio terhadap pernyataan Andi Azis. Hal ini mengisyaratkan Pemerintah Sulawesi Tenggara di level pemerintahan provinsi, tengah berupaya melakukan pembangkangan hukum yang berlaku di NKRI alih-alih menaatinya.

Adanya upaya pembangkangan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut diduga menjadi alasan eksekusi pengusiran GKP secara tegas dari Wawonii tak kunjung dilakukan. Selain itu, revisi atas Perda RTRW sesuai dengan putusan MA juga tak kunjung dilakukan.

“Kongkalikong pembangkangan hukum yang dilakukan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Kepulauan bersama dengan perusahaan mengabaikan keselamatan warga Wawonii,” ujarnya.

Jamil bilang, upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh PT GKP atas pembatalan IPPKH kerap dijadikan tameng bagi pemerintah untuk menghindari eksekusi putusan Mahkamah Agung. Padahal, menurut ketentuan Pasal 65 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, membiarkan GKP tetap terus beroperasi akan menimbulkan kerugian negara, kerusakan lingkungan hidup dan konflik sosial di Pulau Wawonii, yang justru menjadi beban baru bagi Pemerintah Sulawesi Tenggara.

Menurut Jamil, upaya PK yang diajukan PT GKP bukan merupakan landasan berkekuatan hukum tetap yang dapat menghalangi terjadinya proses eksekusi pencabutan IPPKH sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Jatam, imbuh Jamil, mengutuk upaya pemberian informasi sesat kepada publik yang dilakukan PT GKP sebagai anak usaha Harita Group, yang mengesankan upaya PK dapat menjadi dasar penundaan eksekusi sekaligus menjadi dasar operasi.

“Hal itu merupakan bentuk penipuan terhadap publik yang setara dengan berita bohong, yang diatur pidananya dalam KUHP dan UU ITE,” ujar Jamil.

Ady Anugrah Pratama, kuasa hukum warga Wawonii, menambahkan, aktivitas penambangan GKP yang tetap berlangsung meskipun telah kehilangan alas hukum, merupakan perbuatan ilegal. Aktivitas tersebut berdimensi pidana kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan dan atau UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara.

Tindakan itu juga melanggar UU Tindak Pidana Korupsi karena telah mengambil sumber daya nikel di kawasan hutan pulau Wawonii tanpa izin yang menyebabkan kerusakan lingkungan, yang juga turut menjadi kerugian negara. Aktivitas penambangan tersebut dapat dipantau melalui citra satelit. Menurut perhitungan, telah terjadi bukaan lahan seluas 501,7 hektare sepanjang 2024 hingga Februari 2025, spesifik di daerah Dompo-Dompo Jaya yang menjadi area klaim konsesi GKP.

“Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan IPPKH PT GKP itu mengikat semua pihak tanpa terkecuali. Harusnya pemerintah lewat instansi terkait dan PT GKP menghormati dan mengikuti putusan tersebut. Demi hukum dan keadilan, PT GKP harus berhenti operasi di Pulau Wawonii dan mematuhi putusan tersebut,” kata Ady.

Sementara itu, Manager Strategic Communication PT GKP, Hendry Drajat, mengatakan bahwa tuduhan aktivitas ilegal yang dialamatkan terhadap PT GKP itu tidak benar. Ia bilang, tidak ada ruang bagi perusahaan untuk beroperasi secara ilegal di Pulau Wawonii. Mekanisme kontrol dan pengawasan dari regulator yang sangat ketat membuat kami yakin bahwa tidak ada putusan yang dilanggar, baik dari putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Hendry menyebut PT GKP telah memiliki perizinan lengkap berdasarkan ketentuan di bidang pertambangan, termasuk Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), hingga izin teknis lain pendukung kegiatan produksi. Seluruh perizinan ini masih aktif, dan tentu telah melewati verifikasi dan persetujuan berjenjang dari tingkatan daerah sampai nasional oleh kementerian/lembaga terkait.

“Menjawab putusan kasasi MA yang menginstruksikan kementerian terkait untuk mencabut IPPKH, kami perlu sampaikan bahwa hingga kini belum ada pencabutan izin tersebut dan perusahaan juga tengah dalam proses hukum lanjutan melalui upaya Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Mari bersama-sama kita saling menghargai dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” katanya, Jumat (7/2/2025).

Selagi proses hukum berjalan, lanjut Hendry, pihaknya memiliki tanggung jawab untuk memastikan kegiatan operasional PT GKP tetap berjalan sesuai dengan regulasi dan kaidah good mining practice. Jika pencabutan IPPKH terjadi pun, imbuh Hendry, maka tidak serta-merta membuat IUP tidak berlaku, dikarenakan MA telah memenangkan status legalitas IUP milik PT GKP dan bersifat inkracht.