Sengkarut Pemutihan Sawit

Penulis : Aryo Bhawono

SOROT

Selasa, 18 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan atas kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa izin. Namun sejumlah masalah masih meliputi keputusan ini, mulai dari pelanggaran UU Cipta Kerja (UUCK), transparansi, hingga tumpang tindih penegakan hukum.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni meneken Surat Keputusan (SK) No 36 Tahun 2025 Tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan yang Berproses Atau Permohonannya di Kementerian Kehutanan. SK ini memberikan status kepada sebanyak 436 perusahaan perkebunan sawit tanpa izin dalam kawasan hutan.

Setidaknya seluas 317.253 hektare kebun sawit ditolak permohonan penyelesaiannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UUCK. Sedangkan 790.474 ha kebun sawit dalam kawasan hutan tengah berproses dalam penyelesaian untuk memenuhi kriteria Pasal 110 A UUCK.

Status ‘tengah berproses’ ditetapkan memenuhi kriteria Pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

Tampak dari ketinggian lahan di kawasan Suaka Margasatwa Singkil di Aceh, dirambah untuk dijadikan perkebunan sawit. Foto diambil pada Februari 2024.. Foto: Auriga Nusantara.

Status ‘tengah berproses’ pada SK tersebut meliputi penelitian tim terpadu, persetujuan prinsip (oleh pemda), dan penetapan areal pelepasan. Sebanyak 86 perusahaan telah mendapatkan penetapan areal pelepasan, 30 perusahaan berproses dalam persetujuan prinsip, dan sisanya proses penelitian tim terpadu.

Penetapan ini menjadi bahan masukan Kementerian Kehutanan kepada Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Perpres No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Namun SK Menhut No 36 Tahun 2025 ini menyisakan masalah. Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan permasalahan ini cukup fundamental karena SK Menhut ini telah melanggar UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021 yang menjadi salah satu dasar hukum SK itu sendiri. 

Peta Lokasi HL Air Ipuh yang diduga menjadi lokasi sawit dalam kawasan hutan. Sumber Data: Kanopi Hijau.

Pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja menyebutkan:

‘Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023’

Sedangkan Pasal 19 Ayat 2 Huruf d PP No 24 Tahun 2021 menyebutkan batas waktu pengajuan permohonan perizinan di bidang kehutanan paling lama adalah 3 tahun sejak UU Cipta Kerja berlaku. Pemberlakuan UU Cipta Kerja yang dimaksud dalam PP ini adalah sejak UU itu disetujui oleh DPR meski diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya, tenggat tetap mengacu pada 2 November 2023, sesuai Pasal 110 A UU Cipta Kerja. 

“Artinya SK ini sudah menyalahi UU Cipta Kerja sekaligus PP No 24 Tahun 2021, berarti dia melanggar dasar hukum penyelesaian sawit dalam kawasan hutan,” ucap Roni ketika berbincang pada Senin malam (17/2/2025).

Tenggat pada UU Cipta Kerja maupun PP 24 Tahun 2021 ini berlaku untuk semua proses, termasuk verifikasi. Badan usaha yang belum mendapatkan penetapan areal pelepasan kawasan hutan, kata Roni, penyelesaiannya harus memakai Pasal 110 B UU Cipta Kerja.

Pelanggaran tenggat waktu ini bukan satu-satunya masalah. Kementerian Kehutanan (dulu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ KLHK), selaku pemilik kewenangan atas kawasan hutan, juga menunjukkan ketidaksiapan melakukan pendataan perkebunan sawit dalam kawasan hutan sesuai UU Cipta Kerja.

Perambahan kawasan HPT di Kabupaten Mamuju, diduga untuk perkebunan sawit. Foto: Gakkum LHK

Perkebunan sawit milik badan usaha dan perorangan dalam kawasan hutan ditetapkan dalam surat keputusan Menteri LHK mengenai data dan informasi yang dikeluarkan secara berseri. KLHK tak pernah mengumumkan secara terbuka surat keputusan tersebut. Tetapi setidaknya dari 22 SK data dan informasi yang didapatkan redaksi Betahita menyebutkan terdapat 2.000 badan usaha yang memiliki perkebunan sawit dalam kawasan hutan. 

Artinya, SK Menhut No 36 Tahun 2025 ini baru mencakup kurang dari seperempat badan usaha yang memiliki perkebunan sawit dalam kawasan hutan. 

Masalahnya lagi, SK data dan informasi yang dikeluarkan oleh KLHK juga melampaui tenggat waktu yang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja dan PP No 24 Tahun 2021. SK Menteri LHK No 1156 yang memuat seri ke 18 data dan informasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan baru dikeluarkan pada 2 November 2023, tepat saat tenggat waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.     

“Ini seperti efek domino, satu pelanggaran dilanjutkan oleh pelanggaran yang lain. Jadinya tidak ada kepastian hukum. Pemerintah main seenaknya sendiri,” ucap Roni sambil menunjuk-nunjuk tanggal keluarnya SK Menteri LHK No 1156.

Tak hanya itu, penetapan badan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan pada SK No 36 Tahun 2025 sebagai rekomendasi kepada Satgas Penertiban Kawasan Hutan pun juga menyalahi PP No 24 Tahun 2021. PP tersebut memberikan kewenangan Menteri Kehutanan untuk membentuk tim guna melakukan berbagai tindakan hukum, seperti penyitaan, lelang, paksa badan, hingga pemberian sanksi administratif. 

Ketetapan dalam PP itu berbeda dengan Perpres No 5 Tahun 2025 yang menjadi dasar hukum Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Ketua Pelaksana justru diduduki oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, sedangkan wakilnya terdiri dari Kepala Staf Umum TNI, Kabareskrim, dan Deputi Bidang Investigasi Badan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Sedangkan dirjen di Kementerian Kehutanan hanya menjadi anggota.  

“Ini kan tumpang tindih kemudian, di satu sisi PP 24 2021 sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada Kementerian Kehutanan yang dikomandoi oleh menterinya. Di sisi lain PP No 5 Tahun 2025 malah memberikan kewenangan besar kepada satgas. Ini tumpang tindih, seenaknya saja pemerintahan itu jalan,” ucap Roni. 

Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berkali-kali memperingatkan pembentukan Satgas dengan dominasi militer dalam susunan pengarah dan pelaksananya sangat rentan dengan pelanggaran HAM. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Artha Siagian, menyebutkan keterlibatan TNI tersebut bertentangan dengan tugas, fungsi dan peran TNI sebagai alat pertahanan negara.

Ia pun mempertanyakan kompetensi kementerian kehutanan sebagai pemilik kewenangan atas penataan hutan 

“Kekhawatiran terbesar keterlibatan militer  ini justru dipakai untuk menggusur pemukiman, kebun serta perladangan masyarakat yang ada dalam kawasan hutan,” kata dia.

Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan, Perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja melalui pasal 110 A dan 110 B masih menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian masalah perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Selain itu masih terdapat tumpang tindih dalam mekanisme penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. 

“Sehingga akan berdampak buruk bagi diplomasi sawit Indonesia dan komitmen Indonesia dalam menghentikan deforestasi, terang Gunawan.

Sawit Watch mencatat SK Menteri Kehutanan No 36 Tahun 2025 didominasi oleh grup besar perusahaan perkebunan sawit. Beberapa diantaranya adalah Sinarmas Agro, Musim Mas, Djarum, Wilmar, Duta Palma, Eagle High Plantations, Goodhope, ANJ, KLK, PTPN, First Resources, Best Agro, Austindo, Salim Ivomas, Genting, Astra Agro, Triputra, Cargill, KPN Plantations, Lonsum, Sampoerna Agro, Torganda, Citra Borneo Indah, Permata Hijau, Sinar Alam Plantations, DSN, dan Bumitama.

Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebutkan keputusan menhut itu bisa jadi merupakan bagian dari proses transparansi pemerintah atas penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Namun sengkarut pelaksanaan perundangan yang dilakukan oleh pemerintah menunjukkan kerentanan penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan segelintir kelompok. 

“Jika dibiarkan tanpa pengawasan maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan atau menjadi ‘bancakan’ bagi kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab,” ucap dia. 

Apalagi, kata dia, banyak sekali grup-grup besar sawit yang tertera dalam kebijakan ini yang memiliki prinsip keberlanjutan dengan melakukan sistem sertifikasi mandatory (ISPO) maupun voluntary (Roundtable on Sustainable Palm Oil/ RSPO) justru teridentifikasi melakukan pengelolaan kebun ilegal di kawasan hutan. 

Hasil investigasi dan rekapitulasi Sawit Watch dari 15 Surat Keputusan Menteri LHK menunjukkan terdapat sebanyak 11 grup besar anggota RSPO, dengan total luasan mencapai 59.817,70 hektar di Provinsi Riau .

Sementara di Provinsi Kalteng, terdapat 10 grup besar sawit dengan total luasan mencapai 134.319,63 hektar. 

Ia menekankan RSPO, sebagai adalah inisiatif multi-stakeholder global untuk minyak sawit berkelanjutan, untuk melakukan tindakan tegas atas aktivitas perkebunan sawit ilegal anggotanya di kawasan hutan. Lembaga itu dapat membekukan keanggotaan dan sertifikat keberlanjutan perusahaan yang membuka kawasan hutan tanpa izin tersebut.