Target Bauran Energi Terbarukan Tahun Ini Sulit Dicapai

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 20 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sesuai Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014, Indonesia perlu mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun ini. Namun, laporan Capaian Sektor ESDM 2024, menunjukkan bahwa realisasi target tersebut kemungkinan tidak tercapai. Salah satu indikatornya adalah investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) di 2024 yang hanya mencapai USD1,8 miliar dari target USD2,6 miliar.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai iklim investasi yang buruk menjadi penyebab target investasi energi terbarukan tidak tercapai. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor struktural, seperti struktur industri kelistrikan, kebijakan dan regulasi yang kurang berkualitas, risiko negara (country risk), serta preferensi terhadap batubara melalui kebijakan domestic market obligation (DMO).

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan IESR mendorong pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan dengan meningkatkan kualitas kebijakan dan regulasi, mereformasi kebijakan DMO batu bara, subsidi energi, serta proses pengadaan pembangkit di PLN. Selain itu, IESR juga menekankan pentingnya penyederhanaan perizinan, insentif fiskal untuk meningkatkan bankability proyek energi terbarukan, dan kemudahan akses bagi konsumen untuk mendapatkan energi terbarukan.

IESR, imbuhnya, juga menganggap penting transparansi dan akuntabilitas dalam laporan Capaian Sektor ESDM 2024, dengan mencantumkan target 2025 serta menyertakan data capaian bauran energi terbarukan 2024. Berdasarkan data KESDM, capaian bauran energi terbarukan di 2024 meningkat satu persen dari 13,9 persen di 2023 menjadi 14,1 persen di 2024.

Capaian bauran energi terbarukan di Indonesia masih rendah. Foto: Bidakara

“Angka tersebut terbilang kecil jika dibandingkan dengan target bauran yang mesti dicapai pada 2024 adalah 19,5 persen. IESR telah berulang kali mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan menyiapkan strategi yang inovatif untuk memecah mandeknya pencapaian target bauran energi terbarukan,” kata Fabby, dalam sebuah rilis, Jumat (14/2/2025).

Fabby berpendapat, pemerintah dapat memanfaatkan kemitraan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk membiayai proyek energi terbarukan strategis. Komitmen pendanaan dari negara-negara anggota IPG dan GFANZ perlu dimobilisasi untuk menarik investasi yang lebih besar. Namun, ia menyoroti bahwa pencairan pendanaan JETP masih terkesan lambat karena pemerintah kurang cepat menyiapkan usulan proyek yang bankable, mereformasi kebijakan-kebijakan kunci yang menghambat pengembangan energi terbarukan selama ini, dan mengatasi ketidakpastian implementasi JETP pasca pergantian Pemerintah Indonesia pada Oktober tahun lalu.  

“Walaupun target bauran energi terbarukan 23 persen direncanakan digeser ke 2030, pemerintah harus berupaya sebesarnya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di tahun ini. Di tengah pemotongan anggaran tahun ini, pemerintah harus mengoptimalkan investasi swasta dan publik untuk energi terbarukan,” ujar Fabby.

Fabby melanjutkan, investasi swasta untuk pembangkit energi dilakukan melalui PLN di antaranya untuk proyek-proyek PLTS skala utilitas, dan investasi PLTS atap oleh konsumen industri, bisnis dan rumah tangga, yang tidak membutuhkan subsidi pemerintah tapi memerlukan kemudahan perizinan dan kuota PLTS yang lebih besar oleh PLN.

Meski begitu Fabby berpandangan keputusan pemerintah untuk mengupayakan pensiun dini PLTU Cirebon dan menggantinya dengan 700 MW PLTS dengan penyimpanan baterai, 346 MW PLTS, 1.000 MW PLTB, serta 12 PLTSa, patut diapresiasi. Namun, ia menekankan bahwa proses keputusan akhir untuk pensiun PLTU Cirebon yang sudah berlangsung sejak 2022 belum selesai hingga sekarang. 

“Proses pensiun dini PLTU Cirebon I menjadi referensi dan pembelajaran penting untuk upaya pensiun dini sejumlah PLTU yang secara teknis-ekonomis lebih menguntungkan bagi PLN daripada dioperasikan lebih lanjut. Sesuai kajian IESR ada 4,6 GW PLTU yang berpotensi diakhiri operasinya hingga 2025,” kata Fabby. 

Fabby juga mendorong pemerintah Indonesia untuk mulai merencanakan pembatasan  produksi batubara yang trennya selalu naik pesat dalam 10 tahun terakhir. Tahun ini produksi batubara nasional mencapai 836 juta ton, melebihi target 710 juta ton. Menurutnya meningkatnya produksi batubara justru menjadi sinyal melemahnya  komitmen transisi energi Indonesia.

“Pemerintah perlu menghitung manfaat dan biaya untuk pengakhiran operasi PLTU secara bertahap hingga 2050, terutama dampaknya terhadap biaya produksi listrik dan subsidi listrik dalam jangka panjang. Kajian IESR menunjukkan bahwa pada 2030, biaya produksi listrik bisa lebih murah jika pembangkit energi terbarukan menyumbang lebih dari 30 persen dalam sistem kelistrikan,” ujar Fabby.

Soal investasi energi terbarukan yang masih di bawah target, Fabby menekankan pentingnya sinergi antara Kementerian ESDM, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Keuangan Kementerian BUMN, Bappenas, serta Kementerian Luar Negeri guna menciptakan kebijakan yang lebih harmonis dan menarik bagi investor.