DPR Sahkan Revisi Keempat UU Minerba
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Rabu, 19 Februari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - DPR sahkan revisi keempat UU No 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Proses kilat revisi ini ditengarai untuk membungkam kelompok kritis, perguruan tinggi, melalui pembagian dana riset oleh BUMN/ BUMD pengelola tambang.
Koor setuju memenuhi ruang Paripurna DPR usai Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat, Adies Kadir, menanyakan persetujuan revisi keempat UU No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba di Komplek DPR, Senayan, Jakarta, pada Selasa (18/2/2025). Koor itu pun bersambut ketukan palu tanda pengesahan.
Delapan fraksi DPR dengan total kehadiran 311 dari 579 anggota memberikan persetujuan atas pengesahan RUU ini.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, yang mewakili pemerintah menyebutkan terdapat perubahan dalam revisi UU ini, yakni pemberian kesempatan BUMN, BUMD, UMKM, Koperasi dan Badan USaha Ormas Keagamaan.

“Serta dukungan penelitian dan pendanaan yang dibutuhkan untuk perguruan tinggi di daerah,” ucap dia.
Namun proses yang kilat perundangan ini menimbulkan kontroversi. Redaksi mencatat proses pengusulan hingga revisi dilakukan tak lebih dari sebulan. Revisi ini bergulir secara mendadak di Badan Legislatif DPR pada 20 Januari 2025 lalu.
Lantas melalui rapat maraton Baleg menggelar dua rapat pleno terpisah pada 22 Januari 2025.
Pertama dengan PB NU, PP Muhammadiyah, Asosiasi Penambang Nikel (APNI). Kedua dengan Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan PB Al Jam'iyatul Washliyah.
Sehari kemudian (23/1/2025), mereka menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Umat Islam (PUI), Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Mineral RI (DPP AMRI)
Pada Senin 3 Februari 2025, mereka lalu melanjutkan rapat pleno dengan Rektor Universitas Paramadina, Publish What You Pay Indonesia (PWYPI), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Rapat Kerja bersama pemerintah digelar pada 11 Februari 2025 dan dilanjutkan dengan pembentukan Panja bersamaan dengan diterimanya daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Minerba yang berjumlah 256 DIM dari pemerintah yang diwakili oleh Kementerian ESDM dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pada 17 Februari 2025 Tim Perumus/Tim Sinkronisasi telah menyelesaikan penyempurnaan redaksional dalam RUU Minerba dan telah menyampaikan kepada Panja naskah RUU terbaru. Lantas, pada Selasa (18/2/2025) revisi ini disetujui melalui rapat paripurna.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menganggap proses revisi usulan DPR ini jauh dari kata transparan dan dilakukan secara ugal-ugalan. Selain tak melibatkan partisipasi publik, agenda revisi UU Minerba tersebut tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Prolegnas Prioritas.
Meski Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, dalam rapat pleno pengambilan keputusan tingkat satu RUU Minerba mengatakan revisi ini tidak dibuat secara tergesa-gesa. Namun, tindak-tanduk DPR sebagai pengusul revisi menunjukkan sebaliknya.
“Panja RUU Minerba melakukan pengkajian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bersama pemerintah dan DPD selama sepekan terakhir nyaris tanpa jeda,” ucap Dinamisator Jatam, Alfarhat Kasman.
Rapat-rapat tertutup antara pemerintah, DPD, dan DPR menunjukkan undang-undang ini dibuat bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan segelintir oligarki tambang.
Padahal penyusunan perundangan seharusnya memenuhi keterbukaan sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Menurutnya revisi yang diajukan oleh DPR tersebut bertujuan untuk mengakomodir Peraturan Pemerintah (PP) No 25 Tahun 2024 yang mengatur pemberian jatah konsesi kepada ormas keagamaan. Artinya, pemerintah dan DPR sedang berupaya mengakomodir peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada UU agar seolah-olah memiliki legitimasi kepastian hukum.
PP ini diakomodir dalam Pasal 60 yang mengatur pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batu bara kepada ormas keagamaan, yang kemudian diperluas kepada koperasi, perusahaan perorangan, serta badan usaha kecil dan menengah (UMKM). Pemberian WIUP kepada entitas bisnis ini dilakukan secara prioritas dengan dalih untuk menguatkan fungsi ekonomi. Selain itu, dibuka pula ruang untuk ikut mengelola tambang mineral seperti yang diatur dalam Pasal 51.
Sehingga secara prinsip, penerbitan revisi UU Minerba untuk mengakomodir PP melanggar asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi). Penerabasan prinsip ini diduga sudah disepakati sebelumnya di luar rapat-rapat Baleg. Ini menunjukkan DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk mengangkangi dan menginjak-injak hukum yang berlaku di NKRI.
Alfarhat mewanti-wanti perguruan tinggi agar tak tergiur bisnis tambang mineral dan batu bara. DPR dan pemerintah hanya menggeser posisi kampus dari sebagai penerima konsesi menjadi penerima manfaat melalui skema perjanjian kerja sama seperti yang diatur dalam Pasal 51A dan Pasal 60A.
Pasal 51A RUU Minerba yang disahkan itu menyebutkan:
“Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Mineral logam dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”
Pasal 60A menyebutkan:
“Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Batubara dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai perubahan ke-4 UU Minerba ini tidak disusun dengan pendekatan kebijakan tepat. Proses perumusan dilakukan dengan mengabaikan pentingnya fungsi negara dalam pengelolaan sumber daya alam secara holistik, dan justru memperburuk pengelolaan tata kelola yang semakin kompleks. Alih-alih memperkuat kontrol negara dalam memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan, perubahan ini justru membuka celah bagi penyimpangan yang dapat memperburuk kondisi sosial dan lingkungan di Indonesia.
Kepala Divisi Kampanye Walhi, Fanny Tri Jambore, menyebutkan perluasan subjek hukum dalam RUU yang disahkan paripurna itu meliputi badan usaha swasta, organisasi kemasyarakatan, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemberian hak kepada ormas keagamaan mengelola pertambangan menimbulkan pertanyaan serius tentang kapasitas institusional dan transparansi pengelolaan sumber daya alam.
“Kebijakan ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan dan membuka ruang bagi eksploitasi yang tidak berkelanjutan,” kata dia.
Perubahan ini pun masih menyisakan masalah mendasar dan mengakar dalam sektor pertambangan Indonesia, seperti konflik sosial yang berujung kriminalisasi masyarakat. Praktik korupsi dalam proses perizinan dan pengelolaan tambang, serta kurangnya tanggung jawab korporasi terhadap dampak sosial dan lingkungan, juga tidak menjadi fokus pembenahan dalam revisi ini.
Rere, sapaan Fanny Tri Jambore, beranggapan pemerintah dan DPR mengabaikan dampak lingkungan yang semakin memburuk akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Aktivitas pertambangan, terutama di sektor batubara dan mineral logam, telah menyebabkan deforestasi yang masif, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem di banyak wilayah Indonesia.
“Penurunan kualitas pengelolaan lingkungan berisiko memperparah krisis ekologis dan meningkatkan potensi bencana lingkungan yang membahayakan masyarakat sekitar,” kata dia.
Rere menekankan terlalu banyak gimmick yang diungkap pemerintah, misalnya soal pelibatan pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat di wilayah pertambangan hingga program kemitraan usaha.
“Bagaimana mau ngomong keberpihakan masyarakat adat kalau RUU Masyarakat Adat terkatung-katung. Revisi ini kan rezim ekstraktif, tetap saja nggak ada perlindungan,” kata dia.
Terpisah, Pengacara HAM, Haris Azhar, mengungkapkan tak ada koreksi atas praktik tambang dalam revisi ini. Berbagai permasalahan HAM di sekitar tambang tidak menjadi pertimbangan dan dan pembahasan. Padahal kriminalisasi hingga perampasan ruang hidup marak terjadi.
Menurutnya pemerintah hanya bagi-bagi saja ke kawasannya, termasuk ormas dan perguruan tinggi agar tidak kritis.
“Soal pendanaan dari BUMN/BUMD yang mengelola tambang untuk perguruan tinggi, itu semacam MBG (makan bergizi gratis) saja buat perguruan tinggi, biar nggak kritis,” kata dia.