Deforestasi di Kawasan Konservasi

Penulis : Riszki Is Hardianto - Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara

OPINI

Senin, 24 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Film dokumenter berjudul 17 Surat Cinta yang tayang belum lama ini telah mengungkap bagaimana suatu kawasan konservasi, yaitu Suaka Margasatwa Rawa Singkil, di Provinsi Aceh, mengalami deforestasi dan rusak parah. Sejak 2022 luasan area yang terdeforestasi mencapai 2.000 hektare. Hilangnya hutan alam berikut kerusakan yang terjadi di Rawa Singkil itu tentu saja ironis, sebab kawasan yang mestinya aman dan terlindungi karena peran pentingnya, justru menjadi lokasi paling tak terlindungi. 

Di satu sisi, Indonesia merupakan negara dengan kawasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Amazon (Amerika Selatan) dan Kongo (Afrika Selatan). Selain tutupan hutannya yang sangat luas di Indonesia juga memiliki jenis keanekaragaman hayati yang tinggi. Guna melindungi hutan dan jenis-jenis keanekaragaman hayati di dalamnya, pemerintah Indonesia juga sudah menetapkan jutaan hektare kawasan konservasi.

Kawasan konservasi yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia mencapai 26,89 juta hektare. Angka ini bahkan lebih luas dari wilayah territorial Inggris Raya. Contoh jenis-jenis kawasan konservasi yang ada di Indonesia antara lain, taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman hutan raya.

Undang-Undang KSDAE No. 32 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 5 1990 menjelaskan bahwa tujuan penetapan kawasan konservasi antara lain untuk melindungi dan mengawetkan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Artinya kawasan ini harus dalam kondisi yang tetap alami dan terjaga betul kelestariannya.

Tampak alat berat tengah beraktivitas di dalam kawasan TNTN, Riau, beberapa waktu lalu./Foto: Balai TNTN.

Kondisi kawasan konservasi di Indonesia

Di atas kertas kawasan konservasi seharusnya menjadi kawasan yang paling aman dan menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Namun fakta di lapangan tidak seperti itu.

Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau, misalnya. Kawasan ini merupakan kawasan taman nasional yang diresmikan oleh pemerintah pada 2004, untuk melindungi spesies endemik Indonesia yang terancam punah, yaitu gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae). 

Luas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) mencapai 83 ribu hektare, namun 40 ribu hektare atau hampir setengah dari kawasan taman nasional ini berupa kebun sawit. Sedangkan 28 ribu hektare lainnya sudah mengalami alih fungsi lahan, dan sudah menjadi area terbuka. Sedangkan untuk kondisi berhutan hanya tersisa 13 ribu hektare saja. Dengan lain perkataan, dari total luasan TNTN hanya tersisa 20 persen saja yang bertutupan hutan alam.

Dengan adanya deforestasi dan aktivitas di dalam kawasan TNTN yang tinggi, tentu akan sangat mengancam keberadaan satwa liar di dalamnya, seperti gajah sumatra dan harimau sumatra. Di saat banyak satwa yang sedang berjuang untuk menjauh dari pusaran kepunahan, kawasan konservasi yang harusnya menjadi kawasan yang paling aman justru sudah mengalami gangguan yang sebegitu luar biasanya.

Kawasan TNTN bukan satu-satunya kawasan konservasi yang rusak dan mengalami deforestasi. Pada 2015 setidaknya 30 persen hutan alam dan kawasan konservasi di Indonesia dinyatakan rusak. Penyebabnya tak lain karena perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan.

Deforestasi di dalam kawasan konservasi

Jumlah kawasan konservasi yang sudah ditetapkan Pemerintah Indonesia saat ini kurang lebih 521 kawasan. Namun berdasarkan riset terakhir yang dilakukan pada 2023, diketahui bahwa dari total 521 kawasan konservasi itu, 142 di antaranya mengalami deforestasi atau hampir 30 persen dari kawasan konservasi mengalami deforestasi, dengan total area yang terdeforestasi seluas 12.612 hektare.

Deforestasi di dalam kawasan konservasi di Indonesia kembali terjadi di tahun berikutnya. Menurut Status Deforestasi Indonesia 2024 yang diterbitkan Auriga Nusantara, luas total deforestasi di dalam kawasan konservasi di Indonesia mencapai 7.704 hektare, terjadi di 37 provinsi pada berbagai kategori kawasan konservasi, yakni taman nasional, suaka margasatwa, cagar alam, taman hutan raya, taman wisata alam, dan taman buru.

Deforestasi dalam kawasan konservasi ini harus menjadi perhatian tersendiri, karena telah dibentuk secara spesifik badan pengelolanya, yakni balai konservasi sumber daya alam atau unit pengelola teknis, dan secara tegas dilarang oleh setidaknya 4 undang-undang (UU), yakni UU Konservasi, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, dan UU Pemberantasan Illegal Logging.

Pada periode 2023, kawasan konservasi yang paling banyak mengalami deforestasi adalah suaka margasatwa, taman nasional, dan cagar alam. Padahal ketiga kawasan konservasi tersebut adalah kawasan yang ditetapkan untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati, ekosistem, serta sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Fakta miris ini menunjukkan bahwa unsur perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati di dalam kawasan konservasi sudah tidak berjalan dengan baik sebagaimana fungsinya. Di saat yang bersamaan, di dalam kawasan konservasi ini, ada satwa-satwa yang kondisinya sudah sangat kritis seperti gajah sumatra dan orangutan sumatra. Selain itu kondisi populasi dua satwa ini juga menjadi lebih buruk, karena kantong habitatnya lebih banyak berada di luar kawasan konservasi.

Jika di dalam kawasan konservasi saja habitat satwa-satwa ini bisa diserobot, lalu bagaimana dengan habitat satwa yang berada di luar kawasan konservasi, yang secara keterancaman harusnya akan jauh lebih rentan dari pada kawasan konservasi? Apakah bisa dikatakan bahwa tidak ada yang aman bagi habitat satwa, baik di dalam kawasan konservasi atau di luar kawasan konservasi?

Ironi dalam kawasan konservasi

Meskipun kawasan konservasi di Indonesia seharusnya menjadi benteng utama dalam pelestarian keanekaragaman hayati, kenyataannya kawasan-kawasan ini masih menghadapi masalah kerusakan dan deforestasi yang cukup serius. Kawasan konservasi, yang seharusnya terlindungi dari perusakan, justru menjadi saksi bisu dari aktivitas ilegal, pembalakan liar, konversi lahan untuk perkebunan, dan perambahan hutan yang terus meluas.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat Indonesia memiliki sejumlah kawasan konservasi yang sangat penting, seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Lore Lindu. Kawasan-kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk spesies langka dan terancam punah seperti orangutan, harimau sumatra, gajah, dan badak sumatra. Namun, seiring berjalannya waktu, kawasan-kawasan tersebut tidak kebal terhadap kerusakan, yang diperparah oleh lambatnya respons terhadap kejadian deforestasi di dalam kawasan.

Tampak dari ketinggian lahan di kawasan Suaka Margasatwa Singkil di Aceh, dirambah untuk dijadikan perkebunan sawit. Foto diambil pada Februari 2024.. Foto: Auriga Nusantara.

Untuk menghentikan deforestasi di dalam kawasan konservasi ini, diperlukan reformasi pengelolaan kawasan konservasi, dengan memastikan bahwa pengelolaan tersebut dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berbasis data ilmiah. Dibutuhkan pula pembaruan dalam kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, agar lebih responsif terhadap dinamika sosial dan ekonomi yang ada di lapangan. Kemudian, kebijakan yang lebih inklusif dan memperhatikan hak-hak masyarakat lokal harus diprioritaskan, sehingga masyarakat tidak merasa teralienasi dan lebih terlibat dalam upaya perlindungan hutan.

Di sisi lain, ketegasan penegakan hukum yang kurang konsisten juga memperburuk situasi. Terkadang, sanksi yang diberikan kepada pelaku kegiatan ilegal tidak cukup menimbulkan efek jera, atau proses hukum yang berlangsung tidak cukup cepat dan transparan, sehingga memberi ruang bagi aktivitas ilegal untuk terus berkembang.

Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan juga menjadi penting dalam upaya konservasi. Kebijakan terkait pengelolaan kawasan konservasi sering kali tidak melibatkan secara aktif masyarakat yang terpengaruh langsung.

Oleh karena itu, penting untuk menciptakan mekanisme yang memungkinkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan kawasan konservasi. Konsultasi dengan masyarakat lokal, kelompok masyarakat adat dan organisasi lingkungan, sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan efektif dalam mencegah deforestasi dan perambahan di dalam kawasan konservasi.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia diharapkan dapat mulai mengatasi masalah deforestasi dan perambahan di kawasan konservasi yang terus terjadi. Pemerintah harus bertindak tegas, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan mengintegrasikan pendekatan keberlanjutan yang lebih holistik untuk memastikan bahwa alam Indonesia tetap terjaga.