Saatnya Sampah Jadi Refleksi Moral Kita

Penulis : Justin Ade S., Pegiat Relawan Lingkungan PERISAI BUMI

OPINI

Rabu, 26 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

SETIAP 21 Februari, Indonesia memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sebagai pengingat bahwa persoalan sampah lebih dari sekadar masalah teknis, tetapi juga mencerminkan moral dan budaya kita. Tahun ini, tema "Kolaborasi untuk Indonesia Bersih" dari Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan pentingnya solusi sampah yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Jakarta dan kota-kota besar lainnya menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Jakarta, misalnya, menghasilkan 7.800 ton sampah per hari, dengan 34% di antaranya adalah plastik yang sulit terurai. Sampah ini mencemari sungai, saluran drainase, dan akhirnya berakhir di laut.

Data dari UNEP (2021) menunjukkan bahwa hanya 9% plastik global yang berhasil didaur ulang, sementara 79% berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) atau mencemari lingkungan. Tanpa tindakan nyata, limbah plastik di perairan dunia diperkirakan akan meningkat dari 11 juta ton pada 2016 menjadi 29 juta ton pada 2040. Indonesia sendiri menghasilkan 38,6 juta ton sampah per tahun, dan hanya 62,2% yang terkelola dengan baik. Sisanya mencemari lingkungan, menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), jumlah timbulan sampah di Indonesia pada 2023 mencapai 40,1 juta ton, dengan sampah plastik menyumbang 19,15% (7,6 juta ton). Angka ini meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir, dari 10-11% pada 2000 menjadi 19,15% pada 2023. Selain faktor pertumbuhan penduduk, peningkatan jumlah sampah plastik juga dipengaruhi oleh pola produksi dan konsumsi yang semakin bergantung pada plastik.

Sampai plastik di Pesisir. Foto: KLHK/Istimewa

Di sisi lain, tingkat daur ulang sampah plastik terhadap jumlah timbulan sampah plastik masih sangat rendah, yaitu hanya 7% saja. Jadi, masih terdapat 93% sampah plastik yang ditimbun di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), dibakar secara terbuka, dan terbuang ke lingkungan. Jika tidak ada upaya yang luar biasa (extraordinary), maka sampah plastik dapat menjadi persoalan besar bagi perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup.

Sampah sebagai Cerminan Moral

Masalah sampah lebih dari sekadar masalah teknis; itu adalah cerminan perilaku kita terhadap lingkungan. Jika kita terus membuang sampah sembarangan atau menggunakan plastik sekali pakai tanpa pertimbangan, itu menunjukkan kurangnya kesadaran dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Padahal, menjaga kebersihan lingkungan adalah bagian dari nilai moral yang harus kita pegang.

Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menegaskan bahwa pencemaran dan eksploitasi alam berdampak buruk, terutama bagi masyarakat miskin yang paling terdampak. Polusi udara, pencemaran air, dan perubahan iklim semakin memperburuk ketimpangan sosial. Oleh karena itu, setiap individu bertanggung jawab untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.

Mengubah Kebiasaan

Perubahan dalam pengelolaan sampah harus dimulai dari kebiasaan sehari-hari. Langkah-langkah sederhana seperti mengurangi konsumsi plastik, memilih produk ramah lingkungan, dan memilah sampah sejak dari rumah akan memudahkan proses daur ulang. Kita juga bisa mendukung program lingkungan berbasis komunitas, seperti bank sampah atau kegiatan penghijauan.

Komunitas keagamaan pun memiliki peran besar dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Mulai dari mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dalam acara keagamaan, menanam pohon, hingga mengadakan program edukasi lingkungan. Langkah-langkah kecil ini, jika dilakukan bersama, bisa memberikan dampak besar.

Kolaborasi untuk Indonesia Bersih

Mengatasi krisis sampah plastik memerlukan kerja sama semua pihak: pemerintah, komunitas, sektor swasta, dan organisasi keagamaan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi, seperti larangan plastik sekali pakai dan pembangunan fasilitas pengolahan limbah modern. Namun, kebijakan ini hanya akan efektif jika masyarakat ikut berpartisipasi aktif.

Organisasi keagamaan dapat berperan sebagai agen perubahan dengan memberikan pendidikan lingkungan kepada umat, mendorong kebiasaan ramah lingkungan, dan mendukung kebijakan publik yang pro-lingkungan. Dengan keterlibatan semua pihak, pengelolaan sampah bisa lebih efektif dan berkelanjutan.

Sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di dunia, Jakarta memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola sampah secara berkelanjutan. Tantangan ini tidak hanya bisa diatasi dengan teknologi, tetapi juga membutuhkan perubahan budaya dan kesadaran masyarakat.

HPSN adalah momen untuk refleksi. Sudahkah kita benar-benar peduli, atau masih menjadi bagian dari masalah? Mari kita jadikan sampah bukan hanya sebagai sesuatu yang dibuang, tetapi sebagai peluang untuk memperbaiki cara hidup kita dan menjaga lingkungan bagi generasi mendatang.