Jarwanto: Niat Menghidupkan Kembali Banyuurip

Penulis : Kelakay

Konservasi

Sabtu, 01 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

JARWANTO Tri Anggoro, 44 tahun, pernah merantau ke Pekanbaru. Di sana, antara 1999 sampai 2000, ia sempat berdagang bakso; menjadi tukang bersih-bersih di sebuah wartel selama 3 bulan, lalu naik pangkat menjadi operatornya selama 1 tahun; menjadi tukang es hingga menjadi kasir di sebuah rumah makan solo. Dari 2008-2014, lulusan program Pendidikan Kejar Paket C, program pendidikan non-formal setara SMA, ini pernah pula bekerja di PNPM Mandiri Perdesaan sebagai fasilitator desa.

Lalu, seperti kata pepatah, sejauh-jauhnya ia merantau, ia akhirnya memutuskan pulang ke kampung halamannya. Ada hal genting yang harus dikerjakan di desanya, Banyurip, di Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Kampungnya kini, ujarnya, tidak lagi seperti di masa kecilnya. Dulu desa masih dipenuhi pepohonan yang lebat dan sumber air yang melimpah. Namun, mulai sekitar tahun 2016, kerusakan hutan dan alih fungsi lahan menyebabkan kondisi desanya itu berubah drastis. Hutan rusak, lahan kritis terserak.

"Saat musim kemarau, krisis air bersih terjadi di desa kami. Banyak sumber air yang kering karena tanah tak dapat menampung air hujan," ujar Jarwanto, Kamis, 27 Februari 2025. “Akibatnya kualitas hidup masyarakat menurun,” kata dia. Ini terjadi di 22 dari 24 RT di Desa Banyuurip.

Jarwanto Tri Anggoro ingin menghidupkan kembali kampungnya, Banyuurip, yang kehilangan air karena hutan ditebangi.

Jarwanto kala itu sudah menyadari betapa pentingnya keberagaman pohon dalam menjaga ketersediaan air dan mengurangi erosi tanah. Namun pada awalnya ia tak peduli. Dia tidak tertarik dengan kegiatan rehabilitasi hutan.

Namun, dari waktu ke waktu, krisis air kian bertambah parah. Tebing juga semakin sering longsor. Hasil pertanian menurun. Akhirnya dia menyadari jika hutan bukan hanya kumpulan pohon, tak hanya penting untuk menyimpan air, tetapi juga penopang kehidupan masyarakat. Ia pun terpanggil untuk bertindak demi masa depan lingkungan dan kehidupan desanya. “Kalau bukan kita anak muda, siapa lagi yang mau memperbaiki kampung?” ujarnya.

Pada 2019, bersama warga desa, ia ikut mendirikan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Banyurip Lestari. Tujuannya untuk melakukan upaya rehabilitasi lahan kritis dengan menanam berbagai jenis tumbuhan di area yang membutuhkan perbaikan. Namun saat itu lembaga yang mewadahi para petani di pinggiran hutan tersebut belum bisa disebut aktif. “Karena yang melaksanakan kegiatan hanya ketuanya saja, Mbah Madi Mitro Winarno,” ujar Jarwanto.

Mbah Madi sampai saat ini masih menjabat sebagai ketua. Namun, ia kini tak bekerja sendiri lagi. Anggota LMHD sudah aktif bekerja. Ia juga sudah diperkuat sejumlah pengurus baru, di antaranya Jarwanto, yang menjadi Sekretaris LMDH. “Jumlah anggota LMDH sekarang 1113 orang,” kata Jarwanto.

Salah satu kegiatan LMDH adalah membangun kebun pembibitan kolektif untuk rehabilitasi lahan. Kebun ini juga berfungsi sebagai tempat pembelajaran bagi masyarakat mengenai teknik pembibitan dan pelestarian tanaman lokal. Adapun fokus utama rehabilitasi adalah “area sekitar sungai dan embung, yang berfungsi untuk menahan tanah, memperbaiki kualitas air, serta mengurangi limpasan permukaan,” kata Jarwanto.

LMHD juga melakukan diversifikasi tanaman. Di antaranya dengan menanam sacha inchi, cabai jawa, alpukat, mangga, dan beberapa tanaman lainnya. Sacha inchi (Plukenetia volubilis) dikenal juga sebagai kacang inka atau kacang gunung dari hutan tropis Amazon dan saat ini telah dibudidayakan di Cina, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan di Indonesia. Sacha inchi, yang dikenal kaya nutrisi, menjadi simbol keberhasilan mereka. Di Banyuurip, tanaman ini tumbuh subur di antara pohon jati dan telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat desa.

Di rumah Jarwanto, yang juga menjadi pusat koordinasi LMDH Banyurip Lestari, suasana kerap ramai dengan diskusi mengenai rencana pemulihan hutan. Di dinding rumah terpasang sertifikat dan berbagai penghargaan atas kontribusi dalam pelestarian lingkungan. Ada pula peta-peta yang menunjukkan wilayah lahan kritis yang telah direhabilitasi dan jenis tanaman yang sesuai untuk ditanam.

Menurut Jarwanto, pada mulanya tak gampang membujuk petani untuk terlibat rehabilitasi. “Tidak mudah mengubah pola hidup masyarakat yang masih sangat bergantung kepada pertanian tebu. Lima puluh persen masyarakat di sini masih menanam tebu karena lebih menguntungkan,” kata dia.

Jarwanto sendiri mengaku tak tertarik dengan tebu. Alih-alih, ia malah resah. Pembukaan lahan yang terjadi di Desa Banyurip untuk tanaman ini, menurutnya, tidak hanya merusak ekosistem yang berada di atas permukaan tanah, namun juga mempengaruhi ketersediaan air bersih masyarakat. “Buat apa masyarakat memiliki pendapatan yang banyak, namun di sisi lain harus ke luar uang yang juga tidak sedikit untuk membeli air, karena lahan yang kering dan tidak memiliki sumber air,” ujarnya.

Menyadari kendala terbesar untuk membujuk warga adalah soal ekonomi, LMDH mengembangkan taktik khusus. LMDH harus memberi contoh dengan menanam dan mengolah lahan, tak cukup sekadar berbicara.  "Dengan contoh nyata, warga lebih percaya dan lebih termotivasi untuk ikut serta dalam usaha pemulihan hutan ini,” dia menjelaskan.

Dari kegiatan ini, ujarnya, masyarakat diharapkan tidak membuka lagi lahan baru untuk perkebunan tebu, syukur-syukur jika bisa beralih ke pertanian di skema perhutanan sosial. Menurut Jarwanto, skema perhutanan sosial ini tidak sekedar menguntungkan secara finansial, namun juga memiliki dampak ekologi jangka panjang. “Yang terpenting yaitu mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih peduli kepada lingkungan demi kepentingan jangka panjang,” kata dia.

Tapi, program itu, perlu waktu panjang. Padahal ada yang perlu segera diatasi: krisis air. Solusi cepat LMDH untuk menyelesaikan masalah ini adalah membuat instalasi pemanenan air hujan (IPAH). Warga dan LMDH sudah membangun beberapa unit IPAH di rumah warga dan di area pembibitan untuk menyirami bibit. IPAH diyakini dapat menyelesaikan 80% permasalahan air minum warga, terutama di musim kemarau.

Untuk mengembalikan air tanah, sumber-sumber air seperti embung dan beberapa area demplot untuk agroforestri ditanami tanaman keras, yang dimaksudkan untuk mengikat dan menjaga debit air. Sebanyak 1.600 pohon sudah ditanam di area seluas 2,6 hektare, terdiri dari berbagai jenis, termasuk buah-buahan yang hasilnya dapat dipanen petani.

Penyuluh Kehutanan Kabupaten Sragen, Sigit Murhofiq mengaku sangat terbantu dengan kegiatan LMDH dan peran Jarwanto. Sigit mengaku ia memerlukan sosok yang bisa diajak berkolaborasi dalam berinteraksi dengan masyarakat. Jarwanto, ujarnya, “merupakan sosok muda yang bisa dijadikan panutan oleh masyarakat dan sudah memberikan contoh yang baik, bagaimana seharusnya masyarakat menjaga lingkungan untuk keberlangsungan hidup jangka panjang. Pelan-pelan dia sudah dapat merangkul petani dan tengkulak tebu untuk bergabung ke dalam LMDH dan terlibat dalam kegiatan agroforestri,” ujar Sigit.

Dia berharap upaya yang dilakukan Jarwanto bisa memperbaiki ekosistem yang lebih luas dan membawa manfaat jangka panjang bagi warga Desa Banyurip khususnya, dan Sragen pada umumnya.