Metabolisme Sosial dan Kerja Paksa di Tanah Papua - Studi

Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA

Masyarakat Adat

Minggu, 02 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur menggelar diseminasi hasil penelitian dan diskusi dengan tema “Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit Di Tanah Merauke dan Boven Digoel” di Aula STFT Fajar Timur, Senin 24 Februari 2025.

Kegiatan ini merupakan rangkaian dari publikasi hasil penelitian yang dilakukan oleh YMKL bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Adapun peneliti dalam riset ini adalah Tim Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Laksmi Adriani Savitri, serta Zuhdi Siswanto. Penelitian digelar tahun 2024.

Ada dua topik yang menjadi fokus penelitian. Penelitian pertama tentang situasi kehidupan buruh perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel, yang dikerjakan oleh tim peneliti Djojodigoeno. Penelitian kedua tentang perubahan budaya pangan dalam kaitan dengan perubahan penguasaan lahan, pada komunitas Suku Moi di Kabupaten Sorong yang kini banyak dikuasai oleh korporasi bisnis perkebunan, kehutanan, infrastruktur, dan pertambangan. Sebuah perubahan yang telah berlangsung – dan tak mampu mereka cegah – sejak masa kolonial.

Kedua gagasan di balik penelitian ini adalah untuk melihat dampak dari tingginya pembukaan lahan oleh proyek-proyek pembangunan seperti perkebunan sawit, proyek infrastruktur jalan, dan perkebunan kayu (hutan tanaman/hutan tanaman energi) yang diluncurkan oleh pemerintah dengan janji untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dengan memprioritaskan manfaat bagi masyarakat setempat. Penelitian menemukan di balik itu semua banyak pelanggaran yang terjadi atas hak-hak masyarakat adat dan komunitas baik hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup, hak atas sumber daya alam, hak atas pangan lokal dan hak-hak atas perlindungan di tempat bekerja.

Laksmi Savitri sedang memaparkan hasil penelitiannya tentang suku Moi, Sorong, Papua Barat Daya, di Aula Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT), Abepura, Jayapura, Senin (24/2/2025). Foto: Muhammad Ikbal Asra

Laksmi Adriani Savitri dan Zuhdi Siswanto yang melakukan penelitian di Sorong dengan lokasi penelitian di Suku Moi menemukan, terjadi perubahan-perubahan kehidupan sosial dan budaya. Kehadiran investasi yang begitu masif di Tanah Orang Moi menyebabkan banyak permasalahan yang muncul. Apalagi permasalahan terkait relasi sosial Orang Moi dan juga relasi kehidupan mereka dengan hutan dan alam.

Dalam penelitian mereka berjudul “Budaya Pangan, Identitas dan Metabolisme Sosial yang Retak: Cerita Orang Moi di Tanah Papua Barat” menemukan, ada relasi-relasi yang hilang atau retak antara Orang Moi dengan tanah, apalagi alamnya. Penelitian ini mencermati dan mengkaji budaya pangan dan Identitas Moi yang mencoba menghubungkan antara ekonomi politik dan ekologi pangan dengan kebudayaan. “Fokus yang retak itu menyebabkan kehilangan yang luar biasa. Orang moi merasakan kehilangan jati dirinya sehingga memunculkan sesuatu yang baru, Moi yang Baru,” kata Laksmi Savitri saat memaparkan hasil penelitiannya di Aula STFT, Senin 25 Februari 2025.

Kata Laksmi, hal ini menandakan bahwa Orang Moi dan alamnya mengalami keretakan. Pada awalnya hubungan Orang Moi dengan alam saling berkaitan, saling menghidupi, memiliki hubungan yang erat dengan saling menjaga antara satu dan lainnya. Perubahan mulai terlihat atau mulai meretak saat Orang Moi disibukkan dengan urusan organisasi. Urusan ganti rugi. “Dulu bisa berkebun tanpa harus ada izin. Tapi sekarang orang yang mau bekerja atau menggarap tanah harus izin dulu dan tanya tanah ini milik siapa. Semua tergantikan dengan alasan uang,” ujar Laksmi.

Fakta juga menunjukkan, tidak semua Orang Moi sekarang hidup dari alam. Keretakan budaya dan pangan bagi Orang Moi terlihat dari penyajian makanan di meja makan. Nasi dan sagu berdampingan. Kadang hanya nasi saja. Ini disebabkan sagu yang dipanen akan dijual dan hasilnya untuk membeli beras.

Karena kondisi alamnya sudah rusak sedemikian rupa dan relasi sosialnya yang berubah, yang paling dekat dengan alam atau hutan untuk berkebun adalah perempuan. Perempuan yang memiliki peran penghubung dengan alam. "Perempuan paling dekat urusannya dengan pangan dan dusun sagu. Adapun laki-laki itu tidak ada urusannya dengan pangan (karena) tugasnya adalah berburu dan meramu. Namun (kini) sebagian besar laki-laki diharuskan kerja pangan atau kerja proyek," kata Laksmi dalam paparannya.

Ada Apa Sebenarnya Dengan Malamoi?

Laksmi Adriani Savitri mengatakan, secara umum ia melihat perubahan lanskap dan perubahan ekologis itu terus berubah dari waktu ke waktu sehingga banyak marga sudah tak memiliki tanah lagi di wilayah Moi. Dalam konteks budaya pangannya, penelitian juga menyebutkan pergeseran dari sagu ke nasi semakin meluas. "Kemudian kita bertanya apakah ketika orang Moi tidak makan sagu apakah masih tetap orang Moi?" lata Laksmi.

”Kemudian datang Negara beserta kebijakan, pembangunan, perdagangan di masa kolonial yang mengubah tatanan suku Moi yang tadinya mereka itu diatur oleh adat yang berlandaskan nilai-nilai adat. Tapi begitu Negara hadir dan membawa perusahaan Tatanan adat itu kemudian lagi tidak bisa mengatur sepenuhnya bagaimana orang Moi mempertahankan tanahnya,” kata Laksmi lagi.

Ayub R. Paa, perwakilan dari masyarakat adat Suku Moi Marga Kelim Paa, mengatakan, banyak sekali cerita dari Suku Moi yang belum tertulis dalam penelitian tersebut. Banyak suku dan marga yang punya banyak cerita tentang budaya dan pangannya di tanah Moi.

Menurut Ayub, hutan dan tanah Suku Moi mulai terdampak investasi sejak tahun 1910 dan kemudian terus berlangsung setelah Indonesia Merdeka pada 1945. Sejak investasi masuk, saat inilah yang membuat Suku Moi harus berjuang mempertahankan wilayah adat dan tanahnya untuk kehidupan.

“Bagi Suku Moi tanah itu adalah mama atau ibu yang harus dijaga,” kata Ayub saat menanggapi hasil penelitian yang dipaparkan.

Ayub bercerita, khususnya di Moi Kelim masih banyak masyarakat yang berkebun, dengan banyak cerita tentang hutan dan tanahnya. Misalnya cerita dari kampungnya yang masih menjaga hutan mereka agar tidak rusak atau hilang. “Kita tidak mau mengubah budaya kita dan kita mau menjaga budaya adat ini agar terus ada. Misalnya dari menjaga hutan kita bisa mempromosikan soal budaya dan hutan di tanah kami, agar bisa menarik perhatian orang banyak dan memberikan dampak dari segi sosial dan ekonomi tanpa harus merusak,” ungkap Ayub.

Praktik Kerja Paksa

Sementara tim peneliti dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno membahas topik "Kerja Paksa dan Masyarakat Hukum Adat: Studi Perkebunan Sawit di Merauke dan Boven Digoel" menemukan banyak persoalan di lapangan. Penelitian ini menggunakan Konvensi ILO (International Labour Organization) dan kriteria ILO tentang kerja paksa sebagai dasar analisis pada buruh perkebunan sawit.

Perluasan industri perkebunan sawit telah membawa dampak besar terhadap masyarakat adat atau Orang Asli Papua, baik dalam hal hak-hak buruh hingga perubahan pola hidup masyarakat setempat. Dalam beberapa kasus, muncul indikasi kerja paksa terhadap masyarakat adat, yang menimbulkan berbagai persoalan hukum, ekonomi, dan sosial.

Almonika Cindy Fatika Sari, dari tim peneliti Djojodigoeno mengatakan, penelitian ini berangkat dari narasi tanaman sawit sebagai tanaman yang unggul, mendatangkan keuntungan, memberikan pendapatan ekonomi, serta membuka lapangan pekerjaan.

Menurutnya, sudah banyak penelitian yang menunjukan bahwa tanaman sawit di satu sisi mendatangkan banyak kemakmuran yang didapatkan dari petani sawit. Tapi di sisi lain, ada konsekuensi yang harus dibayar, semua itu tidak ada yang gratis, karena kemudian banyak juga petani-petani yang mengalami kemiskinan dari perkebunan sawit.

Meskipun secara luasan perkebunan sawit terbesar masih berada di Sumatera, ujar Monik, tapi ambisi investasi yang masif bergerak ke Papua dan menjadi salah satu alasan penelitian ini dilakukan. Yaitu, untuk menegaskan adanya praktik pelanggaran yang sudah terjadi dan belum diangkat selama ini.

“Tak kalah penting, perkebunan kelapa sawit tidak hanya menimbulkan konflik soal tanah, tetapi juga dari sisi ketenagakerjaan. Bagaimana dengan orang lokal atau masyarakat adat Papua yang jadi pekerja dengan sistem perusahaan yang tidak memperhatikan Keselamatan, Kesehatan, dan Kesejahteraan (K3). Apalagi terkait jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan sosialnya. Maka dari itu penelitian ini hadir untuk memaparkan temuan yang kami dapatkan dari lokasi penelitian,” papar Monik.

Kata Monika, hasil dari penelitian yang dilakukannya bersama tim peneliti Djojodigoeno menemukan, adanya ketidaktaatan hukum kepada perusahaan sawit yang aktif beroperasi di wilayah Merauke dan Boven Digoel, Papua Selatan. Paling mencuat adalah izin usaha perkebunan yang mereka dapatkan pada beberapa perusahaan keluar pada tahun 2013, kemudian sudah dilakukan penanaman dan perekrutan pekerja, tapi pelepasan kawasan hutan baru dilakukan setelahnya, dan bahkan HGU (Hak Guna Usaha) oleh perusahaan belum bisa dipastikan kapan diperolehnya. Ini menjadi satu indikasi perusahaan sawit melanggar prosedur hukum karena berbuat tidak sesuai dengan aturan.

Masuknya perusahaan sawit itu membuat masyarakat adat Papua di Merauke dan Boven Digoel semakin menjauh dari relasi hidupnya dengan tanah. Kemudian membuat mereka hidup dalam keputusasaan dan pasrah. Keterasingan masyarakat adat atau Orang Asli Papua dari tanahnya membuat atau memaksa mereka mencari sumber penghidupan yang lain.

Misalnya, kata Monik lagi, orang yang sudah kehilangan tanahnya karena sudah dikuasai oleh perkebunan sawit, maka mereka menggantungkan hidupnya bekerja ke perusahaan. Alasan karena ingin bertahan hidup dalam wilayahnya, mereka terpaksa tinggal di barak atau tempat tinggal yang disediakan perusahaan, dengan syarat mereka harus bekerja di perusahaan. "Dan itulah yang menjadi alasan mereka harus bekerja di perkebunan sawit," ujarnya.

Untuk mnejawab apakah ini masuk dalam kategori kerja paksa, Monik dkk. menjelaskan mereka menggunakan standar pendekatan ILO, dengan 11 indikator, dari pemanfaatan kerentanan secara negatif, pembohongan, pembatasan gerak, kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, hingga lembur yang berlebihan. “Dari 11 indikator menurut standar ILO ini, jika satu atau dua dari 11 indikator ditemukan di lapangan, maka perusahaan tersebut bisa diadukan karena telah melakukan kerja paksa,” jelas dosen UGM tersebut.

Nailul Amany, bagian dari tim peneliti Djojodigoeno dan pengajar di Fakultas Hukum UGM, menegaskan, temuan mereka tentang kerja paksa terhadap masyarakat adat Papua itu memang terjadi. Dari 11 indikator ILO yang dipakai dalam analisis kerja paksa, ada 5 indikator yang memenuhi syarat.

“Kami menemukan terjadi kerja paksa di 3 perusahaan yang kami teliti. Dua di Merauke dan satu perusahaan kelapa sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Kami menemukan adanya pengucilan atau isolasi, misalnya, masyarakat dipaksa bekerja di perkebunan atau perusahaan sawit. Karena tidak ada pilihan dan mereka telah kehilangan tanah karena sudah jadi kebun sawit dan memaksa mereka untuk tinggal, tapi harus bekerja di perusahaan sawit tersebut. Mereka terpaksa bekerja karena mereka berada di situasi terkucil. Karena mereka berada di situasi seperti itu. Mau tidak mau mereka harus bekerja. Ditambah tidak ada transportasi umum sebagai transportasi publik. Akses ke fasilitas umum juga sangat jauh,” kata Nailul, “Indikator lainnya yang ditemukan adalah pemanfaatan kerentanan secara negatif, lilitan utang, kondisi kerja dan hidup yang menyiksa, serta lembur yang berlebihan.”

Menurut Nailul, memang konstruksi hukum Indonesia belum memasukan kerja paksa dan tak ada aturan spesifik Undang-undang yang mengatur tentang kerja paksa. Akan tetapi, Indonesia sudah meratifikasi konvensi kerja paksa. “Kalau membedah dari 11 indikator di atas, lembur berlebihan, di UU ketenagakerjaan kita mengatur apa itu lembur yang berlebihan. Juga soal kekerasan fisik dan kekerasan seksual, di UU ketenagakerjaan sudah diatur apa itu kekerasan fisik dan seksual,” jelasnya.

Nailul menerangkan lagi, kajian ini menyoroti kerja paksa yang terjadi dalam relasi kerja, antara pemberi kerja atau perusahaan dengan pekerja. Jika terjadi kekerasan fisik antar pekerja, itu tidak mengindikasikan sebagai kerja paksa. Karena kekerasan fisik yang terjadi itu bukan hubungan kerja atau relasi kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja, melainkan kejadian antara kolega kerja.

Masih ada temuan lain. “Kehilangan tanah bagi masyarakat adat Papua menyebabkan orang-orang dulu tinggal di dusun dan kampung, sekarang tinggal di barak menyebabkan relasi sosial berubah. Ditambah orang bekerja dari pagi sampai sore. Terjadi kelelahan dan membuat aktivitas berkumpul bersama keluarga dan kerabat sudah kurang. Hal ini membuat masyarakat adat menjadi rentan. Menghasilkan dampak sosial budaya akibat Kehilangan tanah,” ujar Monika.

Studi kajian ini juga menjelaskan bagaimana kerja paksa pada masyarakat adat Papua yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Hubungan kedekatan atau hubungan erat antara tanah dan orang Papua yang kemudian melepaskan tanahnya lalu bekerja di kebun sawit dan memiliki hubungan kerja dengan perusahaan sawit adalah poin penting dari penelitian.

“Kedua penelitian ini penting karena mengangkat isu-isu kritis yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat, perlindungan pekerjaan, keberlanjutan lingkungan, serta identitas budaya pangan masyarakat adat dalam relasi dengan tanah dan ruang hidup khususnya bagi masyarakat adat Papua,” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.