Diluncurkan, Model Pendanaan Obligasi untuk Konservasi Pesisir
Penulis : Kelakay, JAKARTA
Kelautan
Kamis, 06 Maret 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim telah menyusun rancangan perluasan 30 persen kawasan, terdiri dari 97,5 juta hektare kawasan konservasi dan potensi lokasi 10 juta hektare wilayah non-kawasan konservasi yang memberi dampak positif terhadap status keanekaragaman hayati sebagai kawasan OECM (Other Effective Area-Based Conservation Measures). Namun, kata Kusdiantoro, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, masih terdapat kesenjangan pendanaan yang cukup besar.
Demi mengatasi persoalan pendanaan ini, “KKP telah menerbitkan permen KP No.27 tahun 2024 tentang penyelenggaraan pendanaan program sektor kelautan dan perikanan berkelanjutan yang meliputi perencanaan, lembaga pelaksana, penyaluran dana dan evaluasi,” kata Kusdiantoro, pada 25 Februari 2025 di Jakarta.
Kusdiantoro mengungkapkan soal itu pada pembukaan lokakarya bertema ”Waves of Change: Model Pembiayaan Berkelanjutan untuk Konservasi Laut di Indonesia” yang digelar Rare dalam peluncuran Model Obligasi Dampak untuk Konservasi Ekosistem Pesisir di Indonesia. Kegiatan ini dihadiri perwakilan dari Bappenas, KKP, BPDLH, serta menampilkan inisiatif pendanaan seperti Coral Bond dari Bank Dunia, Debt-for-Nature Swap dari KKP, Blue Halo Initiative dari Yayasan Konservasi Indonesia (KI), dan Biodiversity Conservation Trust Fund dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI). Model Obligasi Dampak untuk Konservasi Ekosistem Pesisir ini diharapkan menjadi salah satu solusi dalam pendanaan kegiatan terkait.
Peluncuran model pendanaan ini merupakan langkah Rare, sebuah organisasi konservasi berpusat di Arlington, Virginia, Amerika Serikat, yang mengembangkan salah satu model (pilot) pendanaan inovatif Obligasi Dampak guna menjawab tantangan pelestarian ekosistem pesisir dan laut serta sumber daya perikanan. Diperkenalkan pada COP28 dan menjadi sorotan pada Climate Week NYC pada September 2024, model pendanaan Obligasi Dampak tengah dalam persiapan proyek percontohan yang akan diujicobakan di tiga kawasan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan melibatkan sektor publik, swasta, serta filantropi, model pendanaan ini digadang-gadang dapat menjadi solusi untuk memberikan solusi terhadap tantangan konservasi.

“Obligasi ini merupakan pergeseran paradigma – dimana konservasi tidak hanya sebatas pada perlindungan ekosistem dan lingkungan, namun juga dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan ekonomi di masyarakat pesisir,” kata Kate Schweigart, Vice President Rare untuk Program Pendanaan Inovatif. “Kami tidak hanya meluncurkan instrumen keuangan, namun kami juga membuktikan bahwa pengelolaan perikanan skala kecil melalui konservasi dapat menarik investasi dalam jumlah yang besar. Dengan memastikan adanya dampak konservasi yang positif, kami menciptakan cara baru yang menyelaraskan insentif ekonomi dengan pelestarian pesisir dan laut,” ujarnya lagi.
Indonesia diketahui telah berkomitmen untuk mengonservasi 30 persen wilayah lautnya sampai tahun 2045 melalui Inisiatif 30x45. Tujuan ambisius ini sejalan dengan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework dan bertujuan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan, melindungi stok karbon, dan melestarikan ekosistem pesisir untuk kesejahteraan masyarakat. Hari Kushardanto, Vice President untuk Rare Indonesia, menekankan dampak nyata yang dihasilkan dari model pendanaan berdampak tersebut “bukan hanya soal keuangan, (namuna) ini soal menjamin masa depan nelayan skala kecil sekaligus memastikan ekosistem laut yang sehat. Melalui inisiatif ini, kami menempatkan masyarakat sebagai garda terdepan untuk konservasi”.
Pada acara peluncuran tersebut, para pemangku kepentingan utama, termasuk pemerintah, organisasi konservasi, lembaga akademis, dan sektor swasta, mengeksplorasi model pendanaan campuran (blended finance) untuk mendorong konservasi laut dan pesisir. Amanda McLoughlin OBE, Direktur Pembangunan untuk Indonesia, Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Inggris (FCDO), menekankan soal pentingnya peran masyarakat dalam mengelola sumber dayanya serta menggarisbawahi perlunya mendorong inisiatif serupa di tingkat akar rumput, yang merupakan aktor utama yang menerima dampak dari krisis alam selama ini. Pemerintah Inggris, melalui Departemen Lingkungan Hidup, Pangan dan Urusan Pedesaan Inggris (UK-Defra), juga bergabung sebagai pemberi dana, memperkuat komitmen internasional terhadap konservasi laut.
Peluncuran Model Pendanaan Obligasi Dampak untuk Konservasi Ekosistem Pesisir di Indonesia.
Pemberi dana lain dari pihak filantropi, termasuk Rumah Foundation, juga memainkan peran penting dalam mewujudkan model pendanaan ini. Kathlyn Tan, Direktur Rumah Foundation, menekankan bahwa keterlibatan mereka dalam pendanaan obligasi dampak tersebut tidak hanya sekedar membangun kawasan konservasi laut tetapi juga membuktikan bahwa perlindungan laut dapat diinvestasikan. “Pendanaan obligasi dampak ini dirancang dengan kreatif karena memungkinkan filantropi hanya membayar hasil konservasi yang sudah terbukti, sehingga memungkinkan kami menyediakan pendanaan multi-tahun yang lebih lama dari biasanya. Di pihak investor, pihak yang menyediakan modal awal akan diberi imbalan berupa pembayaran bunga yang memberikan insentif untuk partisipasi mereka. Jadi, obligasi ini membantu filantropi dan investor memaksimalkan apa yang mereka cari. Dan bersama-sama, kami menciptakan bukti bahwa konservasi dapat memberikan manfaat yang terukur.”
Rare, kata Hari Kushardanto, berencana untuk mereplikasi model pendanaan ini ke tingkat regional yang lebih luas di Asia Tenggara, dengan fokus utama pada perlindungan ekosistem laut agar lebih sehat, menciptakan perekonomian pesisir yang lebih kuat, dan keberlanjutan jangka panjang.