Didukung, Gugatan atas Praktik Kerja Paksa ke Raksasa Seafood AS

Penulis : Aryo Bhawono

HAM

Jumat, 14 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan solidaritasnya terhadap sekelompok nelayan migran Indonesia yang mengajukan gugatan terhadap perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Bumble Bee Foods. Perusahaan itu menjual ikan tuna yang dihasilkan kapal yang mempekerjakan awaknya secara paksa. 

Gugatan ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang tentang Reautorisasi Pelindungan Korban Perdagangan Manusia (Trafficking Victims Protection Reauthorization Act/TVPRA). Para nelayan migran, selaku penggugat, menyoroti dugaan kerja paksa dan perdagangan orang yang dialami mereka selama bekerja di kapal penangkap ikan tuna. Hasil tangkapan mereka dijual oleh Bumble Bee Foods di AS. 

Dugaan kerja paksa yang diperinci dalam gugatan meliputi kekerasan fisik dan emosional, cedera parah yang tidak diobati hingga menyebabkan kecacatan, jeratan utang, jam kerja berlebih dan gaji yang tidak dibayar, serta ancaman finansial terhadap keluarga korban.

Gugatan ini diyakini sebagai yang pertama terhadap industri seafood di AS berdasarkan TVPRA. 

Aksi dukungan menolak kerja paksa ABK migran. Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

SBMI dan Greenpeace Indonesia beranggapan keberanian para nelayan migran ini menjadi momen bersejarah bagi perjuangan penegakan keadilan bagi Awak Kapal Perikanan (AKP) migran Indonesia yang rentan terhadap eksploitasi dalam rantai pasok industri perikanan global. Sejak beberapa waktu silam, kedua organisasi tersebut telah menerbitkan serangkaian hasil investigasi mendalam dan melakukan berbagai upaya untuk mendorong perbaikan regulasi yang berkaitan dengan pelindungan AKP migran Indonesia.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, menyebutkan laporan-laporan yang SBMI tangani, AKP migran menghadapi dugaan praktik kerja paksa sejak sebelum keberangkatan, selama bekerja di atas kapal, hingga setelah mereka pulang ke Indonesia. 

“Proses perekrutan yang eksploitatif menjadi salah satu akar permasalahan utama–biaya tinggi yang tidak transparan, praktik penampungan tidak manusiawi, serta berbagai tipu daya berupa janji-janji menggiurkan, penipuan dan pemalsuan dokumen, yang berujung pada berbagai bentuk eksploitasi fisik, tenaga kerja, dan ekonomi,” ucapnya melalui rilis pers pada Kamis (13/3/2025).

Sepanjang 2010-2024, SBMI menerima dan menangani 943 aduan dari AKP migran. Pada 2024 saja, terdapat 196 kasus yang dilaporkan dengan permasalahan utama meliputi dugaan kerja paksa dan perdagangan orang berupa gaji ditahan/tidak dibayar, jeratan utang, kekerasan, pekerjaan yang tidak sesuai kontrak, pembatalan keberangkatan, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.

Menurutnya eksploitasi yang dialami para AKP migran ini kerap berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Maka sangat penting untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang diduga meraup keuntungan dari tindakan tidak manusiawi yang mengorbankan hak asasi AKP migran ini.

Industri makanan laut bernilai lebih dari USD 350 miliar dolar AS secara global. Perusahaan induk Bumble Bee Foods di AS, Bumble Bee Seafoods, yang dimiliki oleh salah satu pedagang tuna terkemuka dunia, perusahaan Taiwan Fong Chun Formosa (FCF), tercatat memiliki pendapatan tahunan sebesar USD 1 miliar. 

Namun, kendati pendapatannya bernilai luar biasa, nelayan migran Indonesia di atas kapal penangkap ikan Taiwan dilaporkan dijanjikan gaji sebesar USD 400-600 per bulan, yang kerap dipotong besar-besaran bahkan tidak pernah mereka terima–berdasarkan laporan Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI tahun 2024.

Pada gugatan ini, Bumble Bee Foods diduga tahu atau semestinya mengetahui tentang kondisi yang dialami para nelayan migran, tetapi secara sadar mendapat keuntungan dari praktik kerja paksa serta perdagangan orang. Jaringan kantor Greenpeace di beberapa negara telah lama memperingatkan soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di industri perikanan skala besar. 

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Fildza Nabila Avianti, menyebutkan laporan Greenpeace Asia Tenggara berkolaborasi dengan SBMI tersebut juga menyoroti dampak lingkungan yang luas akibat praktik industri ini.

Menurutnya perlindungan terhadap ekosistem laut tidak bisa dipisahkan dengan perlindungan hak asasi terhadap para pekerja di sektor laut, dalam hal ini nelayan atau AKP migran. 

“Perlu ada perubahan sistem yang menyeluruh dan Indonesia punya peluang untuk menjadi pelopor dalam hal tersebut. Apabila Indonesia berkomitmen membenahi tata kelola perekrutan dan penempatan AKP migran serta meningkatkan pengawasan, implikasi yang kita harapkan adalah terwujudnya rantai pasok industri perikanan yang lebih transparan dan perlindungan laut yang lebih baik,” kata dia.