Wanita Tani Rana Kolong: Berladang Pangan di Pekarangan

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Sabtu, 29 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Memasuki pekarangan rumah Prodensia Kalisan ibarat masuk ke ladang sayur. Petak-petak berisi tunas hijau yang tak sabar ingin mekar. Ada sawi putih, terung ungu, dan cabai. “Dulu halaman rumah ini kosong melompong,” kenangnya. “Sekarang kalau mau memasak, tinggal ke depan rumah dan panen sayur,” ujar ibu rumah tangga yang disapa Denti ini. 

Denti mengaku sebelumnya tidak bertani. Tidak pula terpikir di benaknya untuk bercocok tanam di depan rumah. Seperti warga lain di desa Rana Kolong, Kota Kamba, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, asupan sayur-mayur diperolehnya di pasar kelurahan, yang berlokasi tidak jauh dari desa. 

Namun pada awal Oktober 2023, Denti menerima ajakan seorang teman untuk mengikuti sebuah lokakarya pertanian untuk ibu rumah tangga di desa tersebut. Fokusnya adalah membangun kemandirian pangan dari pekarangan rumah. Inisiasi itu kemudian menghasilkan kelompok tani perempuan bernama Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati Desa Rana Kolong. 

Kegiatan itu bagian dari program pemberdayaan yang dijalankan oleh Yayasan Ayo Indonesia, sebuah organisasi nonprofit untuk pembangunan daerah terpencil yang berbasis di sejumlah kabupaten di Pulau Flores. Saat itu, bekerja sama dengan Yayasan Kehati, organisasi tersebut mendorong pengelolaan hutan berbasis konservasi oleh masyarakat di area hutan lindung, dengan total lahan kelola 44 hektare dan telah mendapatkan izin kelola dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Salah seorang petani, yang merupakan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati Desa Rana Kolong, melakukan perawatan tanaman di lahan demplot, Rana Kolong, Kamba, Manggarai Timur, Flores, Dok. Istimewa

Koordinator Program Yayasan Ayo Indonesia, Florianus Rasi mengatakan, saat itu pihaknya berkeinginan untuk membawa sesuatu yang berdampak pada masyarakat secara umum di desa. Setelah proses identifikasi, pihaknya menemukan rata-rata warga memiliki pekarangan yang luas–sekitar 375 meter persegi–namun tidak dimanfaatkan. 

“Kita melihat kok orang di desa punya potensi lahan, tapi tidak dimanfaatkan. Jadi sebenarnya tujuan kami sederhana, bagaimana agar masyarakat bisa tanam di depan rumah, tanpa harus mengeluarkan uang untuk membeli sayur,” katanya. 

Para ibu rumah tangga, termasuk Denti, belajar dengan langsung melakukan praktik lapangan. 

Salah satu anggota kelompok bernama Maria Lighing secara sukarela menyediakan pekarangan rumahnya untuk jadi lahan percontohan. Di rumah kayu itu pula menempel spanduk bertuliskan “Sekolah Lapangan Budidaya Horti”. 

Aktivitas KWT Melati Desa Rana Kolong di lahan pertanian kelompok di pekarangan rumah. Dok. Istimewa 

Di demplot ini, para ibu rumah tangga belajar bagaimana menyemai, merawat, memanen tanaman, serta membuat pupuk. Karena ini adalah pertanian organik, anggota KWT Melati juga rutin keliling kampung untuk mengumpulkan kotoran hewan seperti sapi dan kerbau sebagai bahan dasar pembuatan pupuk dari warga yang memiliki ternak. Hasil pembelajaran kelompok di lahan demplot, kemudian dipraktekkan sendiri oleh masing-masing anggota di pekarangan rumahnya sendiri.

“Kita mendapatkan bahan pupuk secara gratis dari warga. Nanti saat panen, kita berbagi hasil sayur-sayuran,” kata Denti. 

KWT Melati Desa Rana Kolong, Manggarai Timur, NTT, melakukan panen terung ungu organik. Dok. Istimewa

Nyatanya hasil panen itu tak hanya untuk berbagi. Produksi tanaman–terung, tomat, sawi putih, kacang panjang–cukup melimpah, sehingga para anggota KWT Melati Desa Rana Kolong mulai berjualan di desa. Tak lama, kelompok ini meraih reputasi karena konsep pertanian yang organik, dengan hasil yang segar. Ini menggaet para pegadang sayuran di pasar untuk menjadi pelanggan tetap. Bahkan terkadang para pedagang sayur datang sendiri ke demplot untuk menjemput hasil panen. Para suami anggota kelompok juga terlibat dan memberikan dukungan dengan berkeliling menjual sayur hasil panen.

Hasil panennya bervariasi dengan siklus tanam yang berbeda-beda. Tomat, misalnya, bisa mencapai 60 kilogram dalam satu siklus tanam. Sementara itu terung dijual pe bakul, dan satu siklus tanam menghasilkan laba sekitar Rp1,5-2 juta. Kacang panjang menghasilkan profit Rp300 ribu. Sawi putih lebih sering panen, dengan penghasilan Rp300 ribu-500 ribu setiap dua minggu. 

“Mungkin bisa dibilang, KWT Melati Desa Rana Kolong sudah jadi pemasok sayur di kampung,” ujar Denti sambil tertawa semringah. 

Pembuatan koker dari daun pisang. Dok. Istimewa 

Mandiri pangan, mandiri ekonomi 

Florianus mengatakan, sejak awal pendampingan pihaknya menargetkan kelompok tani itu dapat mandiri secara pangan maupun keuangan. Ini terutama ketika mereka mengidentifikasi bahwa hampir semua anggota kelompok tergabung dalam koperasi simpan-pinjam dengan sistem bunga tinggi di desa. “Di sini biasa disebut ‘koperasi harian’, semacam rentenir, karena orang bisa meminjam lalu mengembalikan modal dan bunganya dalam jangka waktu 30 hari,” kata Florianus. 

Pelatihan literasi pun menjadi salah satu kegiatan utama, termasuk bagaimana mengelola profit yang diperoleh dari pertanian berkelompok ini. “Kami berupaya agar mereka punya akses yang lebih bagus ke lembaga keuangan, salah satunya dengan koperasi yang dibentuk oleh dan untuk mereka sendiri. Ini semua untuk mencegah agar anggota kelompok tidak terjerat rentenir,” kata Florianus. 

Hasilnya, KWT Melati Rana Kolong ini telah memiliki koperasi kecil-kecilan untuk mengelola pemasukan dari produksi sayuran. Sebagian pendapatan kelompok disisihkan dan dikelola secara berkelompok. Anggota dapat meminjam dan mencicil dengan bunga yang rendah. Denti mengatakan, jika meminjam Rp100 ribu, maka bunga yang dibayarkan sebesar Rp5.000 setiap bulan. Bunga ini akan bertambah Rp5.000 jika modal pinjaman naik setiap kelipatan Rp100 ribu.

Penanaman bibit oleh KWT Melati Desa Rana Kolong, Kamba, Manggarai Timur, NTT. Dok. Istimewa

Dampak yang paling signifikan dari keberadaan koperasi kelompok ini adalah anggota KWT Melati Desa Rana Kolong tak lagi meminjam dari kepada koperasi simpan pinjam di desa. Koperasi ini, dikenal dengan “koperasi harian” yang memberlakukan bunga yang sangat tinggi, sebesar Rp155.000 dan harus dibayarkan setiap minggu hingga pokok pinjaman lunas. Namun Denti mengatakan, terkadang para warga tidak punya pilihan lain, terutama ketika sedang ada kebutuhan darurat. 

“Secara pribadi saya sangat terbantu,” kata Denti. “Terkadang saya meminjam, untuk macam-macam kebutuhan, untuk sekolah anak atau kebutuhan mendesak lain,” katanya. 

Florianus mengatakan KWT Melati Desa Rana Kolong kini telah mandiri, termasuk mampu menyediakan bibit sendiri untuk kelompok. Meski demikian, pendamping masih berkunjung secara berkala, untuk mengadakan pelatihan keterampilan baru seperti menganyam bambu dan penanaman sorgum, tanaman khas Flores. Di sela-sela itu, pendamping kerap mendengarkan keluh-kesah para petani itu. 

“Tantangan yang dihadapi salah satunya adalah cuaca yang kadang tak menentu. Januari lalu, KWT Melati Desa Rana Kolong harus kehilangan seluruh tanaman tomat karena curah hujan ekstrem. Tomat yang sudah berbuah pun membusuk lalu mati, sehingga panen gagal total,” kata Patrisius Sadirman, staf lapangan Yayasan Ayo Indonesia sekaligus pendamping bagi KWT Melati Desa Rana Kolong. 

Pembuatan pupuk organik oleh KWT Melati Desa Rana Kolong. Dok. Istimewa

Sejak diinisiasi pada Oktober 2023, KWT Melati Desa Rana Kolong telah mengalami pasang surut. Berawal dari 20 anggota, dan kini terdapat 12 anggota aktif dari total 18 anggota. Tidak semua mendapatkan dukungan dari keluarga. Namun Patrisius mengatakan, pihaknya sebisa mungkin memotivasi para ibu untuk tidak langsung keluar, dan rehat sejenak hingga kembali mendapatkan dukungan dari keluarganya. 

Pasang-surut ini tidak menyurutkan semangat KWT Melati Desa Rana Kolong. Menurut Patrisius, kelompok tersebut baru-baru ini menambah satu pekarangan seluas 375 meter persegi untuk dikelola bersama. 

Denti mengaku hal ini membuatnya tambah bersemangat. Musim kemarau atau hujan ekstrem, darah petani telanjur mengalir di nadinya. Apalagi dia mendapatkan dukungan penuh dari suami dan keluarganya. “Kalau saya tetap semangat, dan harapan saya ibu-ibu yang lain juga begitu. Samoga ke depannya lebih baik lagi.”

Keberhasilan ini juga memotivasi Yayasan Ayo Indonesia untuk meneruskan program serupa di desa lain. Florianus mengatakan saat ini pihaknya tengah membangun kelompok tani baru di desa lain, dengan konsep yang sama di Rana Kolong. “Kami percaya ini bisa berlanjut, bahwa ketahanan pangan itu bisa dimulai dari pekarangan rumah,” katanya. 

Aktivitas KWT Melati Desa Rana Kolong di lahan pertanian pekarangan rumah. Dok. Istimewa