Kupatan Kendeng Ajak Solidaritas di Tengah Gelap Demokrasi
Penulis : Aryo Bhawono
Semen
Senin, 07 April 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Masyarakat Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) menggelar kegiatan budaya rutin tahunan Kupatan Kendeng pada 4-5 April 2025 lalu. Tema Kupatan Kendeng kali ini adalah Urip-Urup, mengajak warga saling menguatkan di tengah gelapnya demokrasi.
Tiga buah ‘gunungan’ dari ketupat digelar di tengah lapangan Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada Sabtu (05/04/2025). Hari itu, tepat pembukaan Kupatan Kendeng 2025, ratusan warga dari berbagai daerah yang tergabung dalam JM-PPK memenuhi gelaran ini.
Mereka mengarak gunungan ketupat diiringi di jalanan dengan iringan barongsai dan barongan khas Blora.
Kupatan berarti “ngaku lepat” atau mengaku bersalah adalah ungkapan permintaan maaf atas segala kesalahan secara sadar dan ikhlas untuk terus menjaga persaudaraan dan solidaritas. Permintaan maaf ini bukan hanya kepada sesama manusia, namun juga kepada alam karena menjaga alam sekaligus bentuk penguatan tekad untuk selalu menjaga kelestarian alam, khususnya di Pegunungan Kendeng.

Tema Kupatan Kendeng kali ini adalah “Urip Urup Kanggo Bumi” yang menjadi refleksi selama beberapa tahun terakhir. Joko Prianto, dari JM-PPK, menyebutkan tahun-tahun belakangan masyarakat dipaksa menerima sepaket pembahasan kebijakan super cepat dan tanpa partisipasi bermakna seperti revisi UU TNI, revisi UU Minerba, Omnibuslaw hingga revisi UU KPK.
Alhasil rakyat menggelar gelombang protes dan mendapat balasan berupa tindak kekerasan dari aparat.
“Urip Urup adalah ajakan untuk terus menyala ditengah gelap demokrasi Indonesia. Masyarakat yang harus terus kuat dan terhubung satu sama lain sebagai bagian dari senasib sepenanggungan seperjuangan atas ulah negara yang lalai terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya,” ucap dia melalui rilis pers yang diterima redaksi pada Minggu (7/4/2025).
Kupatan tahun ini, masyarakat Kendeng mengundang perwakilan kecil masyarakat yang masih berjuangan di Jawa Tengah seperti Pracimantoro Wonogiri, Rembang, Pati, Blora dan jaringan seperti LBH Semarang, YLBHI, JATAM, Trend Asia, Taring Padi, aktivis Dandhy Laksono dan lainnya. Mereka menggelar rembuk kampung untuk bertukar persoalan dan pembelajaran penting dari perjuangan-perjuangan antar daerah.
Masyarakat Wonogiri misalnya, terancam oleh rencana ekspansi tambang dan pabrik semen yang berpotensi merusak ekosistem kawasan bentang alam karst (KBAK) Gunungsewu. Warga Wonogiri yang hadir belajar dan menguatkan dukungan dari Kendeng dan masyarakat lainnya yang sudah lama dan memiliki pengalaman dalam perjuangan penolakan pabrik semen.
Rembang, khususnya Kendeng, mengalami perluasan pertambangan yang cukup masif. Perubahan kebijakan tata ruang baik di Provinsi maupun Kabupaten telah mengakomodir potensi gelombang kerusakan alam secara masif atas dasar pertumbuhan ekonomi dan perluasan kantong-kantong kawasan industri.
“Parahnya Pemkab Rembang justru tidak peduli dengan kondisi itu, munculnya Perda terkait dengan penarikan retribusi tambang baik yang legal maupun ilegal menunjukkan watak rakus atas sumber daya alam yang harusnya dijaga bukan diobral habis-habisan,” ucap Joko.
Tambang untuk bahan baku semen di Kendeng sendiri telah diikuti bencana seperti longsor, banjir, kekeringan, dan potensi krisis lainnya. Mereka mendesak moratorium perlu dilakukan jika ingin cita-cita kedaulatan pangan akan tercapai.
Situasi nasional pun tidak jauh berbeda. Berlanjutnya program PSN, food estate, ditambah dengan adanya revisi UU TNI, revisi UU Minerba menunjukkan rezim kian galak menghadapi protes masyarakat.