Saksi Ahli Paparkan Pelanggaran HAM di Karhutla Sumsel
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Minggu, 13 April 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Tiga saksi ahli memaparkan pelanggaran HAM dalam kasus kebakaran hutan dan lahan Sumatera Selatan di konsesi tiga perusahaan di bawah kendali Grup Sinar Mas. Selaku pemilik konsesi di lahan gambut, mereka bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ini.
Paparan ini diungkapkan dalam sidang pemeriksaan saksi ahli di Pengadilan Negeri Palembang pada Kamis (10/4/2025). Tiga saksi ahli yang diajukan penggugat untuk memberikan kesaksiannya adalah Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana; Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Iman Prihandono; dan ahli gambut yang juga guru besar ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Azwar Maas, yang hadir secara virtual.
Mereka menyebutkan pelanggaran hukum dan HAM di balik kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries–tiga perusahaan kayu Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas).
Azwar Maas menyebutkan lahan gambut memiliki karakteristik suka air (hydrophilic), sehingga tidak mungkin menjadi kering dengan sendirinya. Ketika gambut kemudian dibuka untuk saluran air, maka kandungan air dalam lahan gambut akan menguap. Proses inilah yang dapat mengeringkan lahan gambut dan mengubah karakteristiknya berubah menjadi takut air (hydrophobic).

“Kondisi ini berbahaya, karena akan membuat lahan gambut mudah terbakar. Jika sampai terbakar, maka kebakaran yang terjadi akan terus berlanjut, karena akan sangat sulit untuk membasahi area yang luas,” kata Azwar.
Andri Gunawan Wibisana membeberkan tentang pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dalam penegakan hukum lingkungan, yang juga telah tertuang dalam Pasal 88 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Menurutnya, para penggugat menuntut pertanggungjawaban mutlak atas kerugian mereka akibat aktivitas para tergugat yang ditengarai memicu kabut asap berulang.
Kabut asap yang dipersoalkan lewat gugatan ini, kata dia, perlu dilihat dalam relasi kausalitas dengan kebakaran hutan dan lahan gambut. Ia juga menjelaskan tentang aktivitas berbahaya (dangerous activity) yang ditengarai telah dilakukan para tergugat sebagai penyebab kebakaran.
“Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan atau usahanya. Pengeringan gambut dengan membangun kanal-kanal, seperti yang didalilkan penggugat, merupakan dangerous activity yang tidak bisa dikurangi risikonya bahkan dengan tindakan kehati-hatian, karena menimbulkan risiko dan peluang terjadinya kebakaran,” ujar Andri.
Saksi lainnya, Iman Prihandono, menerangkan tentang tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia (HAM). Ini merupakan salah satu pilar dalam prinsip-prinsip United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Melalui prinsip ini, perusahaan memiliki responsibility to respect atau menghormati HAM.
“Perusahaan semestinya tahu bahwa pembuatan kanal yang mereka lakukan akan berdampak mengeringkan gambut, memicu kebakaran, hingga memicu kabut asap yang lantas merenggut hak masyarakat atas udara serta lingkungan yang bersih dan sehat,” kata Iman.
Konsesi perusahaan kayu PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries berada di ekosistem Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL). Pada rentang 2001-2020, luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL. Sebagian di antara angka tersebut, sebanyak 46 persen atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare.
Tim Kuasa Hukum Penggugat, Sekar Banjaran Aji, menyebutkan alih fungsi lahan gambut menjadi kebun hutan tanaman industri (HTI) berdampak mengikis keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, yang ujungnya berdampak memperparah pemanasan global.
Gugatan yang diajukan kliennya menyoroti kerusakan ekosistem gambut yang punya dampak begitu besar. Dampak asap yang berbahaya, meluas dengan durasi yang lama dan bagaimana kasus kabut asap akibat karhutla ini telah menyalahi hukum lingkungan serta merenggut hak asasi masyarakat Sumatera Selatan.
"Kesaksian ahli, dan para pakar hukum yang kredibel serta independen, makin menguatkan argumen kami bahwa para tergugat harus bertanggung jawab mutlak atas dampak kabut asap akibat aktivitas berbahaya mereka mengeringkan gambut hingga memicu kebakaran,” kata dia.
Sementara itu belasan orang dari kelompok mahasiswa dan komunitas di Sumatera Selatan membentangkan banner bertuliskan “Belum Merdeka dari Asap” dan sejumlah poster di depan Pengadilan Negeri Palembang, sebagai bentuk dukungan untuk mengawal gugatan ini.
Greenpeace Indonesia sendiri duduk menjadi penggugat intervensi dan meminta majelis hakim menghukum ketiga tergugat untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di lahan konsesi mereka.