Aliansi Raflesia Tuntut Komitmen Lingkungan Gubernur Bengkulu

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Minggu, 27 April 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Hari Bumi 2025 di Bengkulu diperingati dengan aksi demonstrasi oleh sejumlah organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil, di depan Kantor Gubernur Bengkulu. Dalam aksi itu, massa aksi menuntut Gubernur Bengkulu berkomitmen terhadap lingkungan, salah satunya soal penindakan tegas terhadap perusakan lingkungan.

Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Raflesia Mekar itu menganggap Bengkulu saat ini mengalami darurat lingkungan. Salah satu isu yang mereka angkat dalam aksi ini adalah  operasi PLTU Teluk Sepang.

Mereka menganggap PLTU ini menghasilkan energi kotor yang menjadi salah satu faktor terjadinya krisis iklim dunia, serta berdampak mencemarkan lingkungan seperti gas emisi karbon yang menyebabkan global warming. Massa aksi berpendapat agar operasional PLTU batu bara ini dievaluasi.

Selain itu, mereka juga membawa isu pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai, yang menyebabkan krisis pangan, melonjaknya harga komoditas hingga tiga kali lipat dan keterisolasian masyarakat di sana. Mereka menyebut, pendangkalan ini disebabkan akumulasi sedimentasi alamiah dan minimnya pemeliharaan serta pengawasan dermaga yang baik.

Aliansi Raflesia Mekar menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Bengkulu, pada peringatan Hari Bumi 2025, 22 April 2025. Foto: Walhi Bengkulu.

Massa aksi menuntut agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu bertanggung jawab atas permasalahan tersebut secepat mungkin. Tuntutan yang sama juga dialamatkan kepada PT Pelindo dan KSOP yang menjadi penyelenggara pemeliharaan dermaga Pulau Baai.

Selanjutnya, masa aksi juga meminta Pemprov Bengkulu mengevaluasi perusahaan perkebunan yang izin usaha serta Hak Guna Usaha-nya tidak jelas. Karena, menurut mereka, banyak perusahaan sudah melakukan penyerobotan atas tanah masyarakat, juga kriminalisasi petani pemilik tanah di sekitar perusahaan.

Dalam hal ini, massa aksi juga menuntut agar Pemprov Bengkulu segera menyelesaikan konflik agraria yang terjadi. Mereka beranggapan Pemprov Bengkulu harusnya melindungi rakyat bukan melindungi korporasi.

Isu strategis lainnya yang diangkat oleh masa aksi adalah soal penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi di Bukit Sanggul, Kabupaten Seluma, terkait proyek tambang emas di Bukit Sanggul.

Mereka berpendapat, dampak yang dapat ditimbulkan oleh proyek ini sangat serius seperti hilangnya habitat flora/fauna endemik Sumatera, punahnya sumber mata air bagi persawahan masyarakat dan pencemaran daerah aliran sungai Seluma.

Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu, Dodi Faisal, menyampaikan pertambangan emas PT ESDM di Bukit Sanggul sudah masuk sejak 2010 sampai pada masa peningkatan perizinan pada Januari 2025. Walhi Bengkulu, kata Dodi, menyayangkan Pemprov Bengkulu yang tidak memiliki dokumen penting terkait tambang emas tersebut.

“Seharusnya sebagai pemilik kawasan dan pengambil kebijakan Pemprov Bengkulu mengetahui situasi di daerahnya,” kata Dodi, 22 April 2025.

Terkait tambang emas itu, massa aksi menuntut Gubernur Bengkulu menolak permohonan rekomendasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diajukan perusahaan tambang emas. Sebab rekomendasi itu hanya akan menjadi jalan mulus perusakan lingkungan hidup di Provinsi Bengkulu.

Koordinator aksi, Teo Ramadhan, merasa kecewa Gubernur Bengkulu tidak hadir dalam penyampaian aspirasi massa aksi ini. Ia bilang, Aliansi Raflesia Mekar memberi waktu 7 hari untuk Pemprov Bengkulu menindaklanjuti tuntutan massa aksi.