Babat Kalimantan Demi Ekspor Pulp ke China 

Penulis : Aryo Bhawono

SOROT

Kamis, 01 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Ekspor pulp PT Phoenix Resources ke China diduga berasal dari perusahaan pelaku deforestasi hutan alam di Kalimantan. Perusahaan pemasok pabrik bubur kayu itu terdata sebagai perusak hutan Kalimantan. 

PT Phoenix telah melakukan ekspor bubur (pulp) ke China sejak awal 2025. Penelusuran Auriga Nusantara menunjukkan setidaknya hingga bulan Maret 2025 terdapat sembilan transaksi pengiriman pulp dari perusahaan itu ke China dengan total 65.500 ton.

Transaksi pada bulan Februari 2025 dilakukan empat kali, yakni tiga kali pada 15 Februari, masing-masing 19.111 ton, 5.092 ton, dan 2.042 ton. Satu transaksi dilakukan pada 25 Februari sebanyak 17.678 ton.

Seluruh pengiriman tersebut menuju Pelabuhan Changshu, China. 

Pabrik kayu PT Phoenix Resources International di Tarakan Kalimantan Utara. Foto: Bagus Sugiharto

Pada Maret 2025 terdapat lima kali transaksi. Empat transaksi dilakukan pada 13 maret 2025, masing-masing adalah 1.363 ton, 4.062 ton, 9.119 ton, dan 6.662 ton. Satu transaksi dilakukan pada 21 Maret, yakni 476 ton. 

Pengiriman dilakukan menuju Pelabuhan Shanghai, China. 

Pengiriman di kedua pelabuhan ini dilakukan untuk memenuhi importir yang sama, yakni Recursos Trading FZCO, yang berbasis di Uni Emirat Arab. 

Pabrik kayu PT Phoenix Resources International di Tarakan Kalimantan Utara. Foto: Bagus Sugiharto

Direktur Hutan Auriga Nusantara, Supintri Yohar, menduga produksi dan ekspor PT Phoenix ini berasal dari perusahaan pelaku deforestasi hutan alam di Kalimantan. 

“Beberapa perusahaan itu terdata dalam laporan Status Deforestasi Indonesia (STADI) 2023-2024,” ucapnya dalam perbincangan pada Rabu (23/4/2025).

Sedangkan menurut penelusuran Supin – melalui data Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) – menunjukkan setidaknya delapan perusahaan yang memasok ke PT Phoenix hingga Desember 2024. Mereka memasok jenis kayu eukaliptus merah. 

Perusahaan itu diantaranya adalah PT Bakayan Jaya Abadi (BJA) sebanyak 24.130 meter kubik pasokan, PT Industrial Forest Plantation (IFP) sebanyak 42.469 m3, PT Mahakam Persada Sakti (MPS) sebanyak 47.033 m3, PT Permata Hijau Khatulistiwa (PHK) sebanyak 9.571 m3, PT Inhutani I (Semaras) sebanyak 11.906 m3, PT Santan Borneo Abadi (SBA) sebanyak 8.327 m3, dan PT Sendawar Adhi Karya (SAK) sebanyak 4.747 m3.

Sementara satu perusahaan, PT Permata Borneo Abadi (PBA) terdata sebagai pemasok namun hingga Desember 2024 belum mengirimkan kayu ke pabrik itu. 

Laporan Babat Kalimantan menelusuri deforestasi di rantai pasok Royal Golden Eagle (RGE Group) dan kaitan RGE dengan pabrik pulp baru di Kalimantan Utara, yakni PT Phoenix. Namun Stakeholder Advisory Committee (SAC) Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) – yang pernyataannya turut dimuat dalam laporan Babat Kalimantan – menyebutkan bahwa pihaknya tidak mengetahui adanya hubungan antara PT Balikpapan Chip Lestari dan PT Phoenix, dengan perusahaan - perusahaan dalam grup RGE.

Laporan ini sendiri disusun oleh beberapa lembaga seperti Environmental Paper Network, Auriga Nusantara, Greenpeace, Wood and Wayside International, dan Rainforest Action Network.

Tampak dari ketinggian land clearing hutan alam di konsesi PT Industrial Forest Plantation (IFP) di

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, menyebutkan bahwa data ekspor dan operasi PT Phoenix ini  menunjukkan bahwa kekhawatiran laporan Babat Kalimantan telah terbukti. Potensi deforestasi sangat besar untuk memenuhi kebutuhan kayu pabrik itu. 

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Phoenix – yang dituliskan dalam Babat Kalimantan – menyebutkan dua lini produksi pulp pabrik, masing-masing akan membutuhkan 1.680.000 metrik ton hijau (GMT) kayu untuk menghasilkan 850.000 ton/tahun pulp semi-kimia. 

Pabrik diproyeksikan akan mengoperasikan jalur pulp pertama dengan kapasitas penuh mulai 2024 dengan konsumsi 1.680.000 GMT per tahun kayu pulp. Pada tahap kedua, lini pulp diproyeksikan akan mulai beroperasi pada tahun 2027 dan akan mencapai kapasitas penuh pada tahun berikutnya. Asumsinya kedua lini pulp adalah pulp semi-kimia dan beroperasi pada tingkat efisiensi yang sama, pabrik diproyeksikan membutuhkan 3.360.000 GMT per tahun kayu pulp mulai tahun 2028 dan seterusnya.

Selama periode sembilan tahun, 2024–2032, pabrik Phoenix diproyeksikan mengkonsumsi kayu hampir 25,0 juta GMT untuk menghasilkan 12,5 juta ton pulp semi-kimia. Pada tingkat konversi 1.142 meter kubik (m3) per GMT, ini setara dengan 28,5 juta meter kubik kayu.

Kebutuhan besar akan kayu inilah yang memunculkan kekhawatiran deforestasi. Refki menyebutkan untuk produksi sebesar itu maka akan dibutuhkan banyak sekali kayu yang berdampak pada hutan di Indonesia, khususnya Kalimantan.

“Ekspor yang sudah dilakukan membuktikan bahwa kekhawatiran Babat Kalimantan terjadi. Dengan produksi yang besar, selama ini PT Phoenix tidak terbuka dalam dua hal, pertama rantai pasoknya. Pada dokumen AMDAL yang kami peroleh hanya disebutkan 12 pemasok, tapi disebutkan  perusahaannya,” ucapnya.

Hal ini, kata dia, sangat penting karena pasokan kayu besar harus diawasi. Pasokan ini terkait dengan deforestasi karena membutuhkan lahan yang besar untuk produksinya.

Ketidakterbukaan kedua adalah soal kepemilikan. Ia menyebutkan penelusuran kepemilikan PT Phoenix mengindikasikan keterhubungan pabrik kayu itu dengan perusahaan kayu raksasa RGE/ APRIL. 

Keterhubungan ini dibantah oleh RGE melalui keterangan resminya. Mereka menyebutkan tidak ada asosiasi dalam bentuk apapun juga berlaku antara RGE dan pemegang sahamnya serta PT Phoenix Resources International. 

“Bantahan ini, meski diragukan, menunjukkan kepemilikan PT Phoenix masih gelap. Data yang kami telusuri menunjukkan perusahaan itu terhubung dengan perusahaan di negara-negara surga pajak. Data di negara itu sangat tertutup,” ujarnya. 

Dua perusahaan pemasok kayu ke PT Phoenix juga tercatat dalam laporan STADI Auriga Nusantara. PT IFP di Kalimantan Tengah – pemasok kayu sebanyak 42.469 m3 kepada PT Phoenix hingga Desember 2024 – terdata sebagai ranking keempat dalam 10 besar perusahaan pelaku deforestasi di konsesi kebun kayu di Kalimantan Tengah. Luas deforestasi hutan alam yang dilakukan perusahaan tersebut mencapai 1.105 hektare.

Perusahaan lainnya adalah PT PBA – yang terdata sebagai pemasok PT Phoenix namun belum melakukan pengiriman hingga Desember 2024 – tercatat sebagai ranking tujuh pelaku deforestasi hutan alam dengan luas 786 ha di konsesi kebun kayu Kalimantan Timur.  

Sementara PT Phoenix sendiri tak memberikan tanggapan atas data ekspor dan rantai pasok ini. Humas PT Phoenix, Mansyur Kayantara, sempat merespons kiriman pesan redaksi dan menyatakan akan koordinasi dengan pihak manajemen atas permintaan konfirmasi. Namun hingga berita ini dikirimkan tidak ada jawaban atas permintaan konfirmasi.   

Pada Januari 2025, Manajer Enviro and License PT Phoenix, Juwendi Jamal, mengungkapkan targetnya perusahaan itu akan melakukan produksi pada akhir Januari atau awal Februari 2025. Dikutip dari Radar Berau, perusahaan itu akan menyuplai bahan baku pulp dengan kualitas food grade untuk tujuan ekspor. 

Sementara bahan akan diambil dari Kalimantan Timur untuk memenuhi produksi pulp sebesar 1.200 ton per hari.