Dalih Kapolda Malut Soal Pengamanan Tambang Haltim Dikecam
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Senin, 05 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengecam sikap Kapolda Maluku Utara yang menggunakan dalih regulasi kehutanan untuk mengatasi konflik warga Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur dengan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS). Mereka meminta pemerintah memberikan surat perlindungan terhadap penolak tambang di Maba Tengah.
Pasca aksi penolakan tambang nikel milik PT STS di Maba Tengah, Halmahera Timur, yang berujung penembakan gas air mata, Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol Waris Agono, menjelaskan keberadaan tambang itu perlu dilihat dari sudut pandang regulasi kehutanan.
Ia menyebutkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Tahun 2012 mengkategorikan status hutan menjadi tiga, yakni Hutan Hak, Hutan Negara, dan Hutan Adat.
“Negara telah mengakui keberadaan Hutan Adat, sepanjang wilayah tersebut juga mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA),” ujar Waris, Selasa, 29 April 2025.

Sedangkan pengakuan masyarakat adat dapat dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur atau Bupati/Wali Kota.
Jatam beranggapan pernyataan Waris ini menyesatkan. Kepala Divisi Hukum Jatam, Muh Jamil, menyebutkan pengakuan hak adat tidak bergantung pada Perda atau SK kepala daerah. Menurutnya konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional telah mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat secara inheren.
Negara tidak boleh menjadikan keterlambatan birokrasi sebagai alasan untuk melegalkan perampasan wilayah adat. Penundaan pengakuan administratif tidak boleh menjadi dasar pengingkaran hak.
“Pernyataan ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mengabaikan substansi konflik yang sedang dihadapi warga: perampasan tanah, pencemaran lingkungan, dan kekerasan negara,” kata dia pada Rabu (30/4/2025).
Soal status hutan, menurut Jamil, Kapolda Maluku Utara keliru menafsirkan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Putusan tersebut secara tegas memisahkan Hutan Adat dari kategori Hutan Negara. Artinya, wilayah tersebut berada di bawah otoritas masyarakat hukum adat, bukan negara atau korporasi.
Menurutnya aksi penolakan tambang PT STS yang dilakukan warga pada Sabtu (26/4/2025) merupakan hak yang dijamin oleh Konstitusi Pasal 28E ayat (3) dan dilindungi dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005), UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Pasal 23 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Namun polisi melakukan tindak kekerasan dengan menembakkan gas air mata dari jarak dekat, 4-5 meter dari massa aksi, sehingga menimbulkan luka-luka.
Parahnya polisi lantas memanggil 20 warga yang terlibat aksi dengan tuduhan menghalangi usaha pertambangan.
“Sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa surat panggilan tersebut adalah bentuk kriminalisasi dan SLAPP, yang melibatkan kolusi antara aparat kepolisian dan korporasi tambang perusak ruang hidup rakyat,” kata dia.
Padahal warga justru memperjuangkan lingkungan hidup dan seharusnya dilindungi dengan UU Perlidnugnan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ia pun menduga jika polisi justru menjadi alat bagi perusahaan tambang untuk menggusur ataupun menindak aksi penolakan tambang.
Seharusnya polisi mendalami dugaan operasi PT STS yang dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat. Padahal persetujuan ini penting untuk memenuhi prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent).
Dinamisator Jatam Malut, Julfikar Sangaji, mengungkapkan lembaganya mendesak penghentian aktivitas PT STS di Halmahera Timur dan lakukan proses hukum atas semua kejahatan yang dilakukan. Polisi juga harus menghentikan intimidasi dan kriminalisai dan segera menarik pasukannya.
Seluruh polisi yang terlibat dalam pengamanan aksi demonstrasi sebelumnya juga harus diperiksa karena pelanggaran prosedur.
“Kami juga mendorong Komnas HAM dan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan untuk segera mengeluarkan surat perlindungan terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini merupakan mandat konstitusional dan amanat hukum, sebab para pejuang lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata atas perjuangan tersebut,” ucap dia.
Mereka juga menuntut Kepolisian, pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ESDM Republik Indonesia melakukan audit dan investigasi atas kelengkapan izin operasi PT STS.