Terminal Laut Tambang Nikel di Haltim Diduga Ilegal

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Selasa, 06 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kontroversi aktivitas pertambangan nikel PT STS di Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara (Malut), terus bermunculan di permukaan. Setelah dianggap merampas tanah adat dan menuai penolakan dari warga setempat, perusahaan tersebut juga diduga melakukan pembangunan terminal khusus atau jetty secara ilegal.

Menurut laporan Salawaku Insitute, pada 13 April 2025, PT STS secara diam-diam memobilisasi alat berat ke kawasan pesisir Memeli, Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, untuk membangun jetty guna mendukung aktivitas pertambangan nikel. Tapi, aktivitas korporasi ini dilakukan tanpa sosialisasi kepada warga, tanpa persetujuan pemilik lahan yang sah, serta tanpa dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal).

M. Said Marsaoly, dari Salawaku Institute, mengungkapkan, lebih dari sepekan, dari 13 April 2025 hingga 1 Mei 2025, pembangunan jetty itu tetap berlangsung meski perusahaan hanya menawarkan ganti rugi sebesar Rp10.000 hingga Rp15.000 per meter persegi kepada warga. Namun warga menganggap nilai tersebut tidak layak, dan menolak lahannya digunakan untuk pembangunan jetty.

“Penolakan warga tak digubris, proyek tetap berjalan dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan preman sewaan. Ironisnya, tidak ada transaksi hukum formal yang dilakukan, memperkuat dugaan penyerobotan lahan,” kata Said, Minggu (4/5/2025).

Tampak sejumlah alat berat dan kendaraan truk yang diduga dimobilisasi untuk pembangunan jetty oleh PT STS. Foto: Salawaku Institute.

Said menjelaskan, pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Haltim, telah turun ke lokasi dan memerintahkan penghentian kegiatan pembangunan jetty, pada 22 April 2025. Dinas menegaskan bahwa proyek jetty di Memeli tidak tercantum dalam dokumen Amdal PT STS yang telah disahkan, sehingga dianggap melanggar peraturan perundang-undangan lingkungan. Namun, meskipun telah diberi peringatan, PT STS tetap melanjutkan aktivitas di lokasi hingga 1 Mei 2025.

Said menuturkan, tindakan perusahaan ini diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, di antaranya Pasal 22, 36, 69, dan 109 Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Juga terdapat unsur dugaan pelanggaran pidana berupa penyerobotan lahan (KUHP Pasal 385), penggunaan wilayah pesisir tanpa izin (UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014), hingga pelanggaran wilayah adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) dan regulasi turunannya.

Tak hanya itu, imbuh Said, PT STS juga terindikasi beroperasi tanpa analisis dampak lalu lintas (Andalalin) pada jalan utama yang menghubungkan Buli dengan Bandara serta membawa alat berat ke luar wilayah konsesi resmi tambang, melanggar UU Minerba No. 3 Tahun 2020 dan UU Tata Ruang No. 26 Tahun 2007.

Said bilang, Salawaku Institute juga memandang hasil pertemuan yang dimediasi oleh Pemerintah Maluku Utara dan Pemerintah Haltim pada 30 April 2025 di Sofifi sebagai bentuk pengabaian terhadap substansi pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh PT STS.

“Pertemuan tersebut gagal menjawab pokok permasalahan dan justru terkesan hanya ingin meredam kemarahan masyarakat yang telah bertahun-tahun menyaksikan ketidakadilan di wilayahnya sendiri,” ujar Said.

Atas situasi ini, masih kata Said, pihaknya mendesak Kepolisian Resor Haltim untuk segera mengambil tindakan tegas, di antaranya yakni menghentikan seluruh aktivitas ilegal PT STS, memasang garis polisi di lokasi proyek dan menyita alat berat yang digunakan, dan menjalankan semua proses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelumnya, aktivitas PT STS di Kecamatan Maba Tengah juga mendapat penolakan dari warga setempat. Penolakan tersebut disampaikan di depan umum dalam sebuah aksi demonstrasi yang digelar pada 28 April 2025. Sayangnya, aksi demonstrasi itu mengakibatkan tindak kekerasan terhadap warga.

Saat itu, sekitar 300 warga yang berasal dari Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, berkumpul di Desa Pekaulang dan berjalan menuju kantor perwakilan PT STS di Desa Baburino, Kecamatan Maba, untuk menyampaikan penolakan aktivitas pertambangan di tanah adat mereka. Mereka mendesak pencabutan izin perusahaan tambang nikel tersebut. 

Warga menuntut penghentian pertambangan yang merusak lingkungan, pencabutan  izin usaha pertambangan PT STS, memulihkan hak masyarakat adat, lingkungan, dan bertanggung jawab atas penggusuran lahan kebun kelapa mereka di Dusun Memeli, Desa Pekaulang.

Namun aksi ini dibalas dengan pengerahan puluhan personel Polres Haltim yang di-back up oleh sekitar 20-30 anggota Brimob. Setelah terlibat adu mulut dan saling dorong dengan aparat kepolisian, sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob melepaskan tembakan gas air mata sebanyak 10 kali ke arah warga yang sedang berkumpul. Tembakan gas air mata ini, diarahkan langsung kepada kerumunan warga tanpa adanya peringatan terlebih dahulu.

Beberapa warga mengalami luka-luka akibat tembakan gas air mata tersebut. Warga Wayamli, Mulyadi Palangi, terkena tiga tembakan di bahu dan lengan atas; Riski Boway terkena tembakan di kaki; dan Sulandra Asri di jemari tangan. Tindakan ini juga menyebabkan trauma psikologis bagi perempuan dan anak-anak yang ikut dalam aksi.