Uji Formil UU KSDAHE: Suara Masyarakat Adat Tak Didengar DPR
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Rabu, 07 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Minimnya partisipasi publik dan tertutupnya pembahasan revisi UU KSDAHE terkuak dalam sidang uji formil UU No 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Buramnya proses ini dianggap sebagai biang keladi absennya pelibatan masyarakat adat dalam upaya konservasi pada UU itu.
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan pemeriksaan perkara No 132/PUU-XXII/2024 terkait pengujian formil UU KSDAHE pada Jumat (2/5/2025). Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan sebagai kuasa hukum pemohon menghadirkan dua orang saksi, yaitu Putu Ardana, perwakilan masyarakat adat Dalem Tamblingan, Bali dan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC).
Para pemohon uji formil ini adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai NTT, Mikael Ane.
Putu Ardana bercerita mengenai muasal kekecewaannya terhadap proses partisipasi yang dijalankan oleh DPR. Ia hadir sebagai narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan Komisi IV DPR RI pada 10 April 2023.

“Saya kaget sekaligus bangga, karena sebagai orang kampung, saya dilibatkan untuk ikut berperan serta dalam urusan negara. Jadi saya semangat sekali untuk datang ke Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan punya harapan yang sangat tinggi, karena saya menganggap banyak sekali praktik-praktik dan manajemen konservasi yang dilakukan negara itu sangat tidak sesuai dan tidak tepat dilaksanakan di Indonesia,” ungkap Putu Ardana.
Namun rasa bangga itu berubah jadi kecewa. Ruang rapat tempatnya hadir hanya diisi hanya 4 orang anggota komisi yang hadir. Segelintir anggota DPR yang hadir pun tidak ada yang menanggapi. Selain itu, ia hanya diberi waktu 10 menit.
“Dan sangat disayangkan setelah undangan tersebut saya tidak pernah mendapat update perkembangan. Tiba-tiba undang-undang ini sudah disahkan,” ucap dia.
Ia pun merasa keterlibatannya hanya bersifat simbolis—sekadar memenuhi formalitas partisipasi publik. Apalagi pandanganya yang disampaikan sama sekali tidak diakomodasi dalam UU KSDHAE yang disahkan.
Lain cerita yang disampaikan Koordinator Advokasi Parlemen IPC, Arif Adiputro. Ia memaparkan hasil pemantauan IPC terhadap minimnya transparansi dalam keseluruhan proses legislasi UU KSDAHE—mulai dari penyusunan naskah akademik hingga pengesahan.
Arif mengaku keterbukaan informasi atas dokumen pembahasan dan risalah rapat buruk. Prinsip akuntabilitas dalam proses pembentukan undang-undang tersebut pun tak dipenuhi. Tahap penyusunan naskah akademik, baik draf naskah akademik maupun masukan masyarakat terhadap draft tersebut tidak pernah dipublikasikan secara terbuka, baik melalui situs web resmi DPR maupun kanal YouTube DPR.
“Di web DPR hanya muncul dokumen naskah akademik saja,” ucap dia.
IPC mengidentifikasi, dari 18 kali rapat penyusunan naskah akademik, hanya satu dokumen laporan singkat yang dipublikasikan. Catatan rapat dan risalah rapat yang semestinya terbuka sesuai Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tidak tersedia sama sekali di kanal resmi DPR.
Lebih jauh, Arif juga menjelaskan bahwa IPC telah mengirimkan permintaan informasi publik kepada DPR—meliputi dokumen laporan singkat, risalah rapat, daftar hadir, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), hingga dokumen Tim Panja. Namun seluruh upaya tersebut tidak membuahkan hasil; baik ditanggapi dengan informasi yang tidak dapat diakses, maupun ditolak secara langsung tanpa penjelasan yang memadai.
“Kami menerima nota dinas dari DPR berisi link, tetapi link tersebut tidak bisa diakses. Permintaan dokumen Tim Panja pun ditolak,” jelasnya.
Majelis Hakim MK pun memerintahkan pemerintah menyerahkan seluruh dokumen yang terkait pembahasan UU KSDAHE, termasuk daftar kehadiran peserta rapat, sebagai bagian dari pembuktian dalam perkara ini.
Sementara Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan, Muhammad Arman, meminta MK menghadirkan dan mendengarkan keterangan DPD. Menurutnya DPD memiliki peran penting dalam pembahasan rancangan perundangan yang menyangkut sumber daya alam.
“Supaya kami juga minta kepada Yang Mulia, untuk menghadirkan DPD. Karena berdasarkan Pasal 278 Undang-Undang MD3 disebutkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk menyampaikan DIM yang berkaitan dengan otonomi daerah dan juga sumber daya alam. Itu dua hal itu, Yang Mulia. Terima kasih banyak,” ucap dia.