Perempuan dan PSN, Antara Harapan dan Kehancuran
Penulis : M. Novan Prasetya, SOPHIA NUSANTARA PAPUA SELATAN
OPINI
Selasa, 06 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
"KAMI terlahir di hutan, kami hidup di hutan, dan saat kami mati, kami kembali ke hutan. Namun saat ini hutan kami telah tiada. Lantas, bagaimana kami akan terlahir, di mana kami akan hidup, dan apakah kami masih bisa mati dengan layak? Karena kini kami dipaksa untuk mati lebih awal, sebab rumah kami telah dimusnahkan."
Kesaksian ini disampaikan Mama Yasinta Moiwend, seorang perempuan adat Malind, dalam dokumenter Dilema Food Estate yang diproduksi oleh Sophia Nusantara bersama Pulitzer Center. Kata-katanya mengungkap rasa duka yang mendalam akibat hilangnya hutan dan ruang hidup mereka.
Suara pilu dari Kampung Wanam ini hanyalah satu dari sekian banyak jeritan masyarakat adat di berbagai penjuru Indonesia yang menjadi korban Proyek Strategis Nasional (PSN). Di Papua Selatan, proyek food estate yang semula digadang sebagai solusi ketahanan pangan justru menjadi sumber penghancuran ekosistem, perampasan tanah adat, dan pemiskinan struktural terhadap masyarakat lokal, terutama perempuan.
Dalam perspektif interseksionalitas, perempuan adat menjadi kelompok paling rentan terdampak. Mereka kehilangan akses atas tanah, air, dan hutan yang merupakan sumber utama pangan, obat, dan identitas budaya mereka. Seperti dituturkan seorang Mama di sana, Elisabet Ndiwaen, sebelum proyek food estate, hutan adalah tempat mereka mencari sagu, ikan, buah hutan, dan tanaman obat. Kini, semua itu nyaris musnah, digantikan tanaman monokultur asing yang tidak mereka kenal dan tidak bisa menopang kebutuhan hidup sehari-hari.

Kerusakan yang terjadi di Papua Selatan mencerminkan pola lebih besar dari proyek PSN di seluruh Indonesia. Sejak keluarnya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan PSN, alih-alih membawa kesejahteraan, proyek ini justru memicu maraknya konflik agraria, perampasan tanah, dan pelanggaran HAM. Laporan Komnas HAM mencatat, sepanjang 2020-2023, terdapat lebih dari 100 kasus aduan terkait PSN yang diduga kuat melanggar hak-hak masyarakat, dengan ribuan perempuan kehilangan sumber penghidupan.
Deklarasi yang disuarakan dalam pertemuan Konsolidasi Solidaritas Merauke pada Maret 2025 mempertegas tuntutan rakyat, yaitu penghentian total semua proyek PSN yang merampas ruang hidup, serta pemulihan hak-hak masyarakat yang telah dikorbankan atas nama "kepentingan nasional". Solidaritas ini menjadi tonggak perlawanan baru melawan praktik gastrokolonialisme dan kekerasan negara-korporasi.
Tulisan ini berangkat dari penelitian kami pada program Pulitzer Center ISF 2024 untuk memperdalam pemahaman tentang dilema food estate dan perlawanan perempuan sebagai benteng terakhir perlawanan. Suara mereka, perjuangan mereka, bukan sekadar soal isi perut. Ini adalah perjuangan untuk hak hidup, martabat budaya, dan menjaga "mama" terakhir mereka yaitu hutan.
perempuan adat Papua saat beraksi menuntut pemerintah untuk mengakui hutan dan hak masyarakat adat.
Dalam satu dekade terakhir, proyek-proyek pembangunan berskala besar seperti Food Estate, tambang, bendungan, dan infrastruktur energi dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN) terus meluas ke berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Papua Selatan. Di balik klaim peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek ini justru kerap menyisakan kerentanan, terutama bagi perempuan adat dan kelompok marginal lainnya.
Salah satu contoh nyata adalah konflik pembangunan proyek geotermal di Poco Leok, Wae Sano, dan Mataloko di Pulau Flores. Di sana, perempuan adat tidak hanya kehilangan tanah ulayat, tetapi juga menghadapi tekanan psikologis, kekerasan verbal, bahkan kekerasan seksual saat mempertahankan hak atas ruang hidupnya. “Bagi perempuan adat, tanah bukan hanya perihal ekonomi dan sosial, tetapi mengenai keberlangsungan hidup generasi masa depan”, ucap Grace Graciela Walhi NTT. Mirisnya, meskipun angka kemiskinan ekstrem di NTT masih mencapai 20% (BPS 2021), proyek-proyek strategis justru terus digencarkan tanpa memperhatikan hak-hak dasar masyarakat lokal. Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Geotermal melalui Kepmen ESDM No. 2268K/30/MEM/2017 misalnya, telah membuka 28 titik eksplorasi geotermal di wilayah-wilayah adat, memicu ketegangan baru antara masyarakat dan negara.
Kondisi serupa juga mulai terjadi di Papua Selatan, khususnya di Merauke, di mana perempuan adat Malind menghadapi tantangan serupa akibat ekspansi Food Estate yang mengancam tanah adat, sumber pangan tradisional, dan keberlanjutan budaya mereka. Pengalaman ini menunjukkan bahwa proyek strategis nasional sering kali tidak netral gender dan justru memperparah ketidakadilan struktural yang selama ini dihadapi perempuan adat.
Pembangunan seharusnya tidak mengorbankan mereka yang paling rentan. Ketika proyek-proyek strategis mengabaikan keadilan gender dan ekologis, maka pembangunan kehilangan maknanya. Suara perempuan adat harus menjadi dasar kebijakan, bukan hanya menjadi catatan pinggiran yang diletakkan sebagai pelengkap.