Jerat Utang di Balik Pembangunan Infrastruktur Gas - Riset
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Kamis, 08 Mei 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pengembangan infrastruktur gas berpotensi memerangkap Indonesia dalam berbagai konsekuensi, seperti krisis iklim, korupsi, hingga terjerat utang. Demikian menurut laporan terbaru yang dirilis debtWATCH dan Trend Asia.
Menurut laporan tersebut, selain menghambat Indonesia memenuhi Perjanjian Paris akibat emisi gas rumah kaca yang tinggi, pengembangan infrastruktur gas juga membuat Indonesia menerima pembiayaan tidak langsung maupun dalam bentuk utang. Diketahui, pengembangan proyek gas disokong oleh institusi keuangan seperti Multilateral Development Banks (MDBs), seperti seperti Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group.
Karenanya, debtWATCH dan Trend Asia menilai pengembangan proyek gas yang investasinya mencapai USD32,4 miliar bukan investasi strategis, melainkan skema utang yang membahayakan kedaulatan energi dan ekonomi nasional.
“Proyek-proyek gas, seperti infrastruktur Liquified Natural Gas (LNG), justru menjerumuskan Indonesia ke dalam ketergantungan pada skema pembiayaan global yang merugikan. Kami melihat bahwa pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia,” ujar Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia, dalam keterangan tertulis, pada 29 April 2025.

Laporan bertajuk Investasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim ini menemukan 18 proyek gas, baik LNG maupun PLTG, dengan berbagai tahapan operasional yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satunya, Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang menerima sokongan dana dari ADB, JBIC, dan IFC dengan estimasi USD 8 miliar.
Secara umum, pengembangan proyek gas tersebut mencerminkan ambiguitas komitmen iklim bank-bank yang telah menerbitkan kebijakan untuk menyetop pembiayaan proyek berbahan bakar fosil.
Upaya transisi energi bersih juga terancam. Sebab gas masih dipromosikan sebagai bentuk transisi energi yang didukung Kebijakan Energi Nasional (KEN), dengan pemanfaatan dalam bauran energi primer akan terus meningkat hingga 2060. Selain itu, pemerintah juga memprioritaskan pendanaan proyek migas dalam gelombang pertama BPI Danantara sebagai langkah mempercepat pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
“Di saat urgensi dunia untuk mencapai Perjanjian Paris dengan bertransisi ke energi terbarukan yang berkeadilan, pemerintah malah melakukan sebaliknya, mendorong penggunaan gas hingga berdekade ke depan. Upaya kita mencapai tujuan tersebut terancam gagal,” ujar Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia.
Diana menambahkan, Kebutuhan biaya yang besar untuk pengembangan infrastruktur gas berpotensi membuka celah korupsi yang besar. “Dana miliaran dolar yang terus mengalir untuk proyek LNG lebih banyak menciptakan risiko utang, korupsi, dan pencemaran lingkungan dibanding memberikan manfaat bagi rakyat. Kasus korupsi pengadaan LNG menunjukkan investasi LNG adalah area yang rawan penyelewengan dana dan tidak memberikan manfaat nyata bagi ketahanan energi Indonesia,” katanya.
Tak hanya itu, debtWATCH dan Trend Asia juga mencatat pengembangan proyek gas rentan akan sengketa geopolitik. Proyek LNG Blok Tuna di Laut Natuna Utara yang dikelola Premier Oil berdekatan dengan Laut Cina Selatan yang menjadi area sengketa antara Tiongkok dan Indonesia. Premier Oil memulai pengeboran pada 2021, tapi kapal penjaga pantai Tiongkok mendekati lokasi pengeboran dan Indonesia merespons dengan mengerahkan kapal perang untuk berpatroli.
Pencemaran di wilayah eksplorasi proyek yang mengakibatkan kerusakan ekosistem dan hilangnya sumber ekonomi masyarakat setempat terjadi di Desa Cilamaya, Karawang. Puluhan petani kehilangan mata pencaharian akibat bergantinya lahan sawah menjadi lahan proyek PLTG Jawa 1—yang disebut sebagai pembangkit listrik terbesar di ASEAN yang menggunakan LNG. Selain itu, area tangkap dan penghasilan nelayan menurun akibat ekosistem laut yang rusak.
“Dampak krisis iklim sudah terjadi dan ekspansi penggunaan gas hanya akan membawa kita pada bencana iklim yang tak berkesudahan dan multidimensi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil ini harus segera disudahi dan bertransisi ke energi terbarukan adalah solusinya,” ujar Novita.
Diana berpendapat, apabila miliaran dolar untuk proyek gas ini dialokasikan untuk energi terbarukan, Indonesia dapat mempercepat transisi energi yang sejati, menciptakan lapangan kerja hijau serta mengurangi emisi yang memperburuk krisis iklim global.